Memanfaatkan,
Bukan Memiliki
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 01 Desember
2016
PARA pengelola korporasi “era lama”, termasuk dari kalangan
BUMN, perlu belajar dari cara “orang-orang muda” mengelola bisnis. Bagi mereka,
di era akses dan peradaban open platform ini, “memiliki” sama sekali tidak
penting. Sebaliknya mereka malah lebih memilih berbisnis dengan konsep
berbagi resources, atau kita menyebutnya sharing economy.
Mereka juga menjalin kerja sama saling menguntungkan dengan para
pemilik aset dan menjadikannya sebagai mitra. Ini disebut juga dengan istilah
collaborative economy. Sebagian orang menganggap sharing economy dan
collaborative economy sekadar cara baru dalam jual-beli. Salah besar! Konsep
itu bukan sekadar cara baru, tapi justru sebuah perubahan besar.
Dulu, melalui media sosial, kita hanya bisa saling berbagi
konten. Kini media sosial sudah menjadi medium bagi kita untuk saling berbagi
barang, jasa, transportasi, ruang, dan bahkan uang. Semuanya terjadi dalam
skala massif dan dengan kecepatan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Bayangkan, kini kita tak lagi hanya menjadi konsumen, tetapi sekaligus juga
produsen, penjual atau distributor.
Inilah lanskap bisnis baru yang membuat “memiliki” menjadi tidak
relevan lagi dan malah bisa berubah menjadi beban. Anak-anak muda tadi
mengajarkan bahwa jauh lebih penting saling berbagi, saling memanfaatkan dan
berkolaborasi, ketimbang memiliki.
Era Baru
Di lingkungan BUMN, pernah pada masanya kita menyaksikan betapa
hasrat memiliki yang begitu besar pada akhirnya membuat banyak aset menjadi
mangkrak alias idle. Lahan puluhan hektar hanya menjadi semak belukar.
Bangunan rusak dan tidak terawat.
Alat-alat produksi yang dibeli dengan harga mahal kini berkarat
karena tidak pernah dipakai. Manusia yang berada di dalamnya tidak menjadi
sumber daya, karena tak pernah diberdayakan. Dan, masih banyak lagi potret
buram sekadar karena ingin memiliki lainnya.
Tapi ini bukan hanya BUMN, kebanyakan orang yang berlebih juga
sama saja. Kata kawan saya, filosofi mereka nice to have. Mau diapakan
aset-aset tersebut? Banyak pengelola aset negara yang tak tahu mesti berbuat
apa. Birokrasi didesain begitu rumit, sehingga membuat para eksekutifnya
takut melangkah dan tidak berani mengambil keputusan.
Sementara, jajaran di atasnya juga sudah terlalu lama hidup
dalam tradisi “menunggu petunjuk”. Akhirnya seiring berjalannya waktu,
aset-aset pun tadi berubah menjadi liabilities.
Kini kita hidup di era baru. Era MEA atau Masyarakat Ekonomi
ASEAN, era global. Persaingan mengalir deras. Setiap tetesan keringat harus
membuahkan hasil. Setiap aset harus diberdayakan. Maka, tak sepantasnya lagi
ada aset-aset negara yang mangkrak, apalagi berubah menjadi beban.
Itu sebabnya saya berharap bahwa apa yang dilakukan oleh
anak-anak muda tadi—yang lebih mementingkan berbagi dan berkolaborasi, dan
berbisnis tentu saja, ketimbang memiliki atau menguasai—bisa memberi banyak
inspirasi untuk mengelola korporasi dengan cara-cara baru. Baiklah apa yang
dilakukan oleh anak-anak muda? Saya cuplik saja beberapa kisahnya.
Anda tahu Airbnb? Sebagian besar anak muda paham benar bisnis
ini, Brian Joseph Chesky mendirikan perusahaan aplikasi pemesanan kamar/rumah/vila
secara online ketika usianya baru 28 tahun.
Ia mendirikan Airbnb pada Agustus 2008. Lewat konsep kolaborasi,
dalam waktu hanya delapan tahun, Airbnb sudah mengelola 1,2 juta unit
kamar/rumah/vila. Jauh melebihi Hilton, Grup InterContinental atau Marriott
yang masing-masing “hanya” mengelola kurang dari 700.000 kamar hotel.
Padahal, InterContinental atau Marriott sudah mengelola
bisnisnya lebih dari 50 tahun. Bahkan, kini usia Hilton sudah mendekati satu
abad.
Iya, Airbnb kini menjadi perusahaan hospitality terbesar di
dunia. Ini berkat konsepnya memberdayakan aset-aset idle. Chesky
mempertemukan para pemilik kamar/rumah/vila yang ruangnya tidak terpakai
dengan mereka yang membutuhkan penginapan dengan harga terjangkau.
Kini, bisnis Airbnb hadir di lebih dari 34.000 kota di 190
negara. Kata Chesky, “Kalau Marriott dalam waktu setahun ke depan mau
menambah 30.000 kamar, Airbnb sanggup melakukannya hanya dalam waktu dua
minggu.” Pongah, tetapi itu sangat mungkin.
Kisah Travis Kalanick dengan Uber Taxi pun serupa. Kalanick
mendirikan Uber pada Maret 2009, saat usianya baru 33 tahun. Hanya dalam
waktu tujuh tahun, Uber menjelma menjadi perusahaan dengan pendapatan USD1,5
miliar atau lebih dari Rp20 triliun. Uber kini beroperasi di 507 kota di 66
negara dan mempekerjakan 6.700 karyawan.
Melalui Uber Taxi, Kalanick mempertemukan para pemilik mobil
yang kursi di sebelah atau belakangnya kosong dengan mereka yang membutuhkan
tumpangan. Memang tidak gratis, tapi tarifnya terjangkau. Kalanick pun memungut
komisi dari jasanya itu.
Kisah serupa kita temukan pada Grab Taxi, Grab Bike atau GoJek,
yang semuanya sudah beroperasi di Indonesia, dan dalam waktu singkat tumbuh
besar, mendominasi pasar, dan melibatkan ribuan pekerja.
Seandainya
Saja
Hanya, yang merepotkan, bisnis mereka memang men-disrupsi
bisnis-bisnis sejenis yang lebih dahulu hadir dan mapan. Maka, tak heran
kalau kehadiran mereka memicu penolakan—meski tidak dari para penggunanya. Di
Bali, Airbnb membuat pasar bisnis perhotelan turun hingga 35%. Hadirnya Uber
Taxi dan Grab Car membuat bisnis taksi terpangkas 20%.
Beberapa pengamat yang sinis menyebut bisnis ala Airbnb atau
Uber sebagai kapitalisme gaya baru atau neo-capitalism. Sebutan yang
menggambarkan betapa kita sudah terlalu lama hidup dalam suasana saling
curiga, atau kita tahunya hanya ekonomi klasikal saja. Padahal dunia sudah
berubah, dikotomi juga berubah. Sebagian lain menyebut persaingannya tidak
fair, karena platform bisnisnya tidak sama. Dan, lain sebagainya.
Kita lupakan saja debat tersebut. Bagi saya, itulah risiko
sebagai pembaharu, dalam bidang apa pun. Namun, konsep berbisnis mereka
membuat saya merenung, “Seandainya saja
BUMN kita dan lembaga-lembaga lainnya bisa meniru konsep bisnisnya,
memanfaatkan aset-aset idle, saling berbagi dan berkolaborasi. Mungkin banyak
perusahaan kita dalam waktu singkat bisa menjadi raksasa-raksasa baru dan
masuk dalam daftar Fortune Global 500. Seandainya saja…..” Tapi punyakah
mereka porsi kaum muda yang cukup? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar