Moratorium
UN dan Penilaian Otentik
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel;
Anggota Badan Akreditasi Provinsi
Sekolah/Madrasah (BAP S/M) Jatim
|
REPUBLIKA, 29 November
2016
Pemerintah
berencana untuk melakukan moratorium pelaksanaan ujian nasional (UN). Rencana
ini pun memicu pro kontra. Sebagian pihak menyayangkan karena sejauh ini UN
telah menjadi ukuran untuk menilai ketercapaian sekolah dalam memenuhi
standar nasional pendidikan (SNP). Sementara pihak lain menilai positif
penghentian UN. Kelompok ini menginginkan penilaian siswa menjadi tanggung
jawab guru. Karena masih mengundang kontroversi, pemerintah harus
berhati-hati dalam menentukan kebijakan UN.
Sebelumnya,
menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy telah
menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk melakukan kajian
terhadap ujian nasional (UN). Persoalan yang perlu dikaji di antaranya,
apakah UN harus dilaksanakan setiap tahun? Sementara biaya yang harus
dikeluarkan untuk UN mencapai ratusan miliar. Padahal dalam dua tahun
terakhir, UN tidak lagi menentukan kelulusan siswa. Fungsi UN sekadar menjadi
alat memetakan mutu pendidikan.
Dalam
perspektif teori evaluasi pendidikan, moratorium UN sangat positif. Itu
karena UN selalu diwarnai insiden ketakjujuran (dishonesty). Pemerintah
sejatinya mengakui praktik ketakjujuran tersebut. Buktinya, variasi soal UN
diperbanyak hingga 20 paket dari sebelumnya yang hanya lima paket.
Ketakjujuran seakan menjadi anak kandung UN. Padahal perhatian pemerintah
terhadap UN sungguh luar biasa. Sumber daya sipil dan militer dikerahkan
untuk mengamankan UN. Rasanya tidak ada negara di dunia ini yang memiliki
perhatian begitu tinggi terhadap UN, sebagaimana negeri tercinta.
Yang
lebih menghebohkan, UN juga menjadi perhatian pejabat publik mulai Presiden,
Wakil Presiden, menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan kepala dinas
pendidikan. Mereka menaruh perhatian karena keberhasilan UN bisa menjadi alat
pencitraan. Tidak mengherankan jika banyak kepala daerah yang memberikan
target pada kepala dinas pendidikan untuk meningkatkan kelulusan siswa.
Kepala dinas pendidikan pun mengundang kepala sekolah dengan tujuan
menyukseskan UN.
Karena
mendapat perintah atasan, kepala sekolah tidak mau kalah. Mereka membentuk
tim suskses yang melibatkan guru-guru di sekolah. Strategi menyukseskan UN
pun diatur begitu rupa. Berbagai cara ditempuh, mula yang wajar hingga yang
tidak wajar. Cara yang wajar, misalnya, memperbaiki proses belajar mengajar.
Sekolah juga memperbanyak try out soal-soal UN. Kepala sekolah juga
menyelenggarakan doa bersama untuk memperkuat spiritualitas siswa. Maka,
tidak mengherankan jika menjelang UN terjadi peningkatan religiositas siswa.
Di
samping itu, ada juga cara yang menunjukkan kearifan lokal (local wisdom)
masing-masing sekolah. Misalnya, sekolah mengajak siswa ke kuburan wali atau
tempat keramat lainnya. Juga ada kejadian siswa diminta minum air atau
membawa pensil yang telah dibacakan doa-doa tertentu. Bahkan, ada yang
menempuh jalan pintas dengan membeli bocoran soal dan kunci jawaban.
Selanjutnya, bocoran soal dan kunci jawaban itu diperjualbelikan pada siswa.
Cara-cara ini jelas bisa menodai UN.
Jika
dilihat proses penentuan kebijakannya, UN merupakan produk politik. Kebijakan
UN merupakan kesepakatan pemerintah dan legislatif sehingga harus ditunaikan.
Alokasi biaya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga
disiapkan. Alasan ini selalu dikemukakan pemerintah saat merespons tuntutan
penghapusan UN. Karena merupakan produk politik, untuk menghentikan UN pasti
membutuhkan lobi-lobi politik. Pihak-pihak yang selama ini diuntungkan secara
ekonomis pasti akan sangat kehilangan jika UN benar-benar tidak dihentikan.
Karena
itu, pemerintah harus mematangkan kebijakan revitalisasi fungsi UN. Pada
konteks inilah lontaran Mendikbud mengenai moratorium UN layak diapresiasi.
Presiden pun akan mengambil keputusan mengenai moratorium UN dalam waktu
dekat. Persoalannya kini adalah mampukah Mendikbud meyakinkan Presiden, Wakil
Presiden, dan legislatif, bahwa revitalisasi UN merupakan langkah terbaik
untuk memperbaiki mutu pendidikan. Apalagi, kini sekolah dalam kondisi siap
UN.
Langkah
selanjutnya yang juga penting adalah meyakinkan jajaran Kemendikbud mulai
pusat hingga daerah. Langkah ini penting agar rancangan kebijakan Mendikbud
menjadi kenyataan. Beberapa langkah ini harus segera dilakukan karena waktu
terus berjalan. Jangan sampai waktu yang ada dihabiskan untuk sekadar
berwacana. Harus diingat bahwa posisi semua pejabat publik, termasuk
Mendikbud, berbeda dengan pengamat yang bisa bebas berwacana. Semua dinas
pendidikan di daerah kini pasti menunggu panduan skema Kemendikbud mengenai
UN dan ujian sekolah.
Karena
tujuan UN semata-mata untuk memetakan mutu pendidikan, otomatis kelulusan
siswa menjadi wewenang guru. Rasanya sudah saatnya, masyarakat memberikan
kepercayaan pada guru. Apalagi, guru-guru sejatinya telah memiliki pengalaman
menilai siswa dengan penilaian otentik (authentic assessment). Melalui
kegiatan ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester,
penugasan, dan mengobservasi perilaku siswa setiap hari, guru sebenarnya
telah melakukan penilaian yang benar-benar otentik.
Penilaian
otentik jelas lebih kredibel dari pada hasil UN. Syaratnya, guru-guru menilai
siswa dengan jujur dan apa adanya. Dengan hasil yang sangat terpercaya,
fungsi UN benar-benar bisa dikembalikan pada tujuan awalnya, yaitu pemetaan
mutu pendidikan. Berdasarkan hasil UN itulah pemerintah dapat memetakan mutu
pendidikan, memberi penghargaan sekolah yang berhasil, dan secara intensif
membina sekolah yang kurang berhasil. Komponen terpenting yang harus terus
dibina adalah guru. Hal itu karena guru merupakan ujung tombak pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar