Mengelola
Relasi Pemerintah-Kiai
Abdul Kadir Karding ; Sekretaris
Jenderal DPP PKB; Ketua Fraksi PKB MPR
|
REPUBLIKA, 29 November
2016
Setelah
peristiwa demo besar-besaran 411, Presiden Joko Widodo tampak disibukkan oleh
konsolidasi dengan berbagai kalangan. Mantan wali kota Solo dan gubernur DKI
Jakarta ini sepertinya ingin menguatkan jaringan untuk mencegah tindakan yang
melemahkan pemerintahan. Isu akan adanya upaya makar menjadi bumbu yang
menguatkan Jokowi untuk menjaga pemerintahannya.
Selain
ketua-ketua partai pendukung pemerintah, Jokowi juga menemui kalangan kiai
dan ulama. Tak hanya di Jakarta, akhir-akhir ini setiap kali Jokowi ada
kunjungan ke daerah juga sekalian bertemu dengan para kiai dan ulama.
Pertemuan
Jokowi dengan para kiai diharapkan bisa mendinginkan suasana. Kita tahu ada
sekelompok umat Islam yang berkonsolidasi dengan agenda tertentu. Unjuk rasa
411 bagian dari gerakan sekelompok umat Islam yang juga perlu diperhitungkan.
Meski pintu masuknya melalui kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Jokowi mengkhawatirkan gerakan ini.
Sepertinya, Jokowi juga berpikir jika tak melakukan komunikasi dengan
kiai/ulama, gerakan pendemo Ahok bisa liar sehingga potensi melebar ke
berbagai gerakan yang bakal sulit dikendalikan.
Atas
situasi seperti itulah, Jokowi bersilaturahim dengan ulama dan kiai. Kita
tahu para kiai/ulama merupakan tokoh strategis yang memiliki pendukung
militan di akar rumput. Hingga kini, banyak sekali masyarakat yang selalu bersikap
sami'na wa ato'na (siap mendengar dan taat) terhadap para kiai.
Dalam
sejarah bangsa Indonesia, peran kiai dalam bernegara juga tak bisa
diremehkan. Pada era kemerdekaan, para kiai mengobarkan jihad untuk mengusir
para penjajah. Sedangkan di era orde lama, orde baru hingga orde reformasi
saat ini, para kiai selalu memberikan kontribusi kepada pemerintahan.
Selama
ini para kiai/ulama selalu menjadi penjaga moral bangsa. Banyak sekali
kiai/ulama di pelosok negeri ini, yang merawat budaya bangsa di tengah
masifnya budaya asing. Banyak juga kiai, terutama kiai NU, selalu
menggelorakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI harga mati
menjadi slogan yang selalu disuarakan. Peran ini sangatlah penting karena ada
kelompok umat Islam yang secara terbuka menyuarakan khilafah.
Kita
tahu, bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku agama ras dan golongan.
Jika ada kelompok yang menginginkan sistem khilafah, bisa mengancam NKRI.
Jadi, para kiai yang mencegah adanya sistem khilafah itu menjadi bagian jihad
untuk terus menjaga NKRI. Para kiai bukanlah birokrat, tak mendapat gaji
bulanan, tak mendapatkan uang pensiun, tetapi peran mereka dalam menjaga NKRI
sungguh sangat luar biasa. Meski perannya sangat besar, para kiai itu luput
dari ingar-bingar pemberitaan. Sebab, para kiai itu biasanya melakukan
tindakan kebaikan dengan cara tanpa pamrih.
Peran
strategis para kiai ini harusnya "dimanfaatkan" pemerintah sebagai
potensi yang tak ternilai dengan materi. Para kiai bagaikan fondasi yang
memperkuat kehidupan bangsa Indonesia. Jika pemerintah bisa merangkul para
kiai/ulama, negara kita juga akan solid dan kuat.
Untuk
itulah, ke depan Jokowi harus memperbaiki pola relasi dengan para kiai/ulama.
Sudah seharusnya, pemerintah mendekat ke para kiai/ulama. Untuk apa? Untuk
mendengarkan suara umat. Suara kiai bagai representasi suara umat. Apa yang
menjadi perkataan kiai bagian dari perkataan umat. Namun, pemerintah juga
harus bisa mempetakan figur kiai. Sebab, tak juga bisa dimungkiri kadangkala
masih ada kiai yang tak memikirkan umat.
Selain
mendengar suara umat, kiai juga bagian dari golongan "manusia
langka". Mereka paham tentang ilmu agama. Mereka memiliki pengalaman
yang bisa menjadi pelajaran dan hikmah bersama. Dan yang paling penting, dari
tangan para kiai/ulamalah kita bisa mendapatkan berkah.
Atas
dasar peran strategis para kiai/ulama itulah, Partai Kebangkitan Bangsa
menyelenggarakan Halaqah Tabayun Konstitusi di Jakarta, Senin-Selasa (28-29
November 16). Tabayun konstitusi bagian dari upaya para kiai untuk
memperjelas posisi konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para
kiai/ulama diharapkan bisa memberi masukan kritis terhadap arah kebijakan
yang kurang baik.
Para
ulama harus dilibatkan dalam membahas persoalan-persoalan kebangsaan. Tak hanya
pemerintah pusat, pemerintah di daerah-daerah juga mesti melibatkan
kiai/ulama dalam pengambilan keputusan. Di era otonomi daerah seperti saat
ini, banyak kebijakan di daerah yang menentukan nasib umat. Kiai merupakan
stakeholder penting sehingga harus didengarkan aspirasinya.
Pemerintahan
bisa memilah dan ikut menganalisis ide dan gagasan dari para kiai untuk
perbaikan bangsa. Jika memang tak baik, silakan dikritisi. Jika baik,
pemerintah harus menindaklanjuti ide itu.
Namun,
pemerintah juga harus berpikir bahwa jika seseorang sudah memiliki atribut
ulama/kiai, biasanya mereka tidak memiliki motif duniawi. Maka itu, ide dan
gagasannya murni untuk kemaslahatan umat. Bukan untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Agar
relasi pemerintahan-kiai bisa intensif dan berjangka kepentingan panjang,
pemerintah juga perlu menempatkan orang yang bisa menjadi komunikator antara
dua pihak ini. Pemerintah perlu orang yang paham atau bisa membantu membangun
komunikasi intensif dengan para kiai rakyat.
Sudah
saatnya pemerintah bersedia mendengarkan ide-ide para kiai untuk meneguhkan
pembangunan yang sudah baik. Pemerintah tak hanya menjadikan ulama/kiai
sebagai pemadam kebakaran: baru dilibatkan saat sudah muncul gejolak sosial.
Tapi, pemerintah harus sedini mungkin melibatkan kiai rakyat dalam
pengambilan kebijakan-kebijakan strategis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar