Butuh
Mitra Kuat
untuk
Memajukan Pedagang Kelontong
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 15 Desember
2016
SAYA merasa senang melihat geliat semangat
dan kegigihan UMKM, namun kadang juga sedih. Senang karena bisa bertemu
inang-inang yang menjual bumbu masak khas Batak yang berhasil menyekolahkan
anaknya hingga S2 di luar negeri, atau pedagang batik yang anak-anaknya
menjadi mahasiswa saya di Universitas Indonesia (UI).
Mereka hebat, tahan banting, bahkan mengaku
tak pernah sakit. Kalaupun sakit mereka mengaku amat cepat sembuh kembali.
Maklum, sewa kiosnya dihitung harian, dan kalau sehari saja tutup, bukan saja
dapur bisa tidak ngepul, tetapi pelanggan bisa pindah ke orang lain. Mereka
sadar betul tentang kesehatan lahir batin. Makanya mereka selalu ceria dan
berpikir positif.
Sedihnya kalau bertemu di pameran usaha
mikro dan UMKM, kok mengapa saya harus ketemu mereka lagi? Mestinya mereka
sudah tidak di sini, tetapi sudah menjadi pengusaha kelas menengah atau
besar. Bukankah sebagian besar pengusaha besar kita dulunya juga banyak yang
mulai dari lapak di kaki lima? Banyak yang kini sudah naik kelas.
Saya jadi bertanya-tanya, apa yang membuat
mereka sulit naik kelas dari pengusaha skala menengah ke pengusaha besar?
Begitu pula ke lapis bawahnya, apa yang membuat mereka sulit naik kelas dari
pengusaha kecil ke menengah, atau usaha mikro ke usaha kecil?
Tapi baiklah saya ajak Anda melihat
bagaimana BUMN menjalankan misi, bukan saja bisnis tetapi juga membangun
kemandirian UMKM. Ini menjadi penting karena bank-bank besar swasta dan asing
umumnya lebih tertarik dengan nasabah korporat dan prioritas di kota-kota ‘’gemuk’’
seperti Jakarta, Surabaya dan Medan.
Saatnya
Mengajarkan Kemandirian
Dalam ilmu manajemen, rasanya sudah sering
kita membahas perusahaan-perusahaan asing seperti Kodak, Toyota, General
Electric (GE), Nokia, Apple dan Google. Juga sudah biasa kita angkat
pengusaha lokal bermerk seperti Sido Muncul dan Mustika Ratu. Kali ini saya
ajak Anda berkenalan dengan ibu Hamsinah, pemilik toko kelontong dan alat-
alat pancing di kawasan kampung nelayan di Jayapura, Papua.
Bukannya apa-apa, kita baru saja punya bank
BUMN yang dihubungkan meggunakan teknologi satelit. Jadi saya ingin tahu apa
manfaatnya bagi rakyat kecil.
Sebagai pedagang kelontong, omzet Hamsinah
biasanya mencapai Rp10 juta per bulan. Lumayan. Namun, bank BUMN kita, BRI
tak ingin menjadikan dia sekadar nasabah. Maka jadilah Hamsinah agen
BRILink.
Di sini Hamsinah belajar sedikit soal
teknologi yang amat sederhana. Namun di balik alat yang sederhana itu ada
elemen teknologi yang rumit dan padat modal. Ini tentu butuh kerja keras dan
kewirausahaan tingkat tinggi.
Di luar dugaan, berkat teknologi dan
pendekatan ini, bisnis Hamsinah mengalami lompatan. Omzetnya naik 70% menjadi
Rp17 juta per bulan. Luar biasa, bukan?
Saya ajak Anda berkenalan lagi dengan
pengusaha skala UMKM lainnya. Kali ini seorang bapak, namanya Dinar.
Bisnisnya menjual pulsa selular, di Cipondoh, Tangerang. Semula omzet bisnis
Dinar hanya Rp2 juta per bulan. Semenjak menjadi agen BRILink, kini omzetnya
menjadi Rp8 juta, atau tumbuh 300%!
Saya punya beberapa contoh lagi dari
sejumlah pengusaha UMKM yang omzetnya meningkat setelah menjadi agen BRILink.
Misalnya, ada Sutarno, pengelola toko kelontong di Atambua, daerah yang
berbatasan dengan Timor Leste, yangomzetnya naik lebih dari 30%.
Lalu ada UD Farma, berdagang sembako, di
Desa Kuala Bangka, Medan, yang bisnisnya tumbuh hingga 130%. Juga, UD Bagus
Prima di Gubeng, Surabaya, yang omzetnya melonjak 150%. Dan, masih ada
puluhan ribu pengusaha UMKM lainnya yang kalau melihat omzetnya terbukti
berhasil naik kelas.
Archipelago
Butuh Teknologi
Anda tahu kita hidup di atas dua keunikan
besar dunia: di atas cincin api (volcano) dan sekaligus archipelago
terpanjang dan terbanyak di dunia. Saingan kita cuma Jepang dan Filipina,
tapi itu jauhlah. Jauh lebih sedikit.
Karena itu wajar, negeri ini butuh sentuhan
teknologi satelit, bukan cuma pesawat dan kapal laut saja. Untuk Anda
ketahui, BRILink adalah produk bank BUMN kita. Bankir-bankir asing yang
mengajak saya diskusi mengaku tak akan mampu turun sejauh itu. Mereka sering
minta advice karena tahu potensi bisnisnya besar akibat dari volumenya.
Tapi untuk turun sampai ke pelosok-pelosok
di bawah, menemui nasabah ‘’gurem’’ itu bagi mereka too costly. Tapi BRI sudah mulai dari puluhan tahun lalu, saat
teknologi belum dikenal. Kini, melalui satelit, bank ini mampu merekrut
nasabah-nasabahnya yang tersebar di berbagai pelosok daerah untuk menjadi
agen-agen dari bank tersebut.
Sang agen ini—entah dia pedagang kelontong,
penjual pulsa atau sembako—sambil tetap mengelola bisnisnya, bisa memberikan
layanan perbankan ke masyarakat sekitarnya secara real time dan online.
Konsep bisnisnya adalah sharing fee.
Agen ini bisa memberikan layanan tarik
tunai, menerima dana tabungan dari masyarakat atau menyalurkan kredit skala
kecil. Juga, ada jasa berbagai pembayaran, seperti tagihan telepon, PLN,
kartu kredit, berbagai cicilan dan bahkan pembelian tiket pesawat.
Selain mesin EDC, melalui aplikasi T-Bank,
agen-agen tadi juga menyediakan layanan keuangan digital atau uang
elektronik. Untuk bisa memperoleh layanan keuangan ini, masyarakat cukup
mendaftarkan nomor ponselnya yang akan menjadi nomor rekening tabungan.
Jadi, bagi yang ingin menabung, mereka tak
perlu repot-repot datang ke bank. Itulah “bisnis sampingan” yang dikelola
oleh para pengusaha UMKM. Hasilnya?
Anda bisa lihat sendiri, bukan? Omzet
mereka meningkat jauh di atas sebelumnya. Bagi saya, hanya tinggal soal waktu
bagi para pengusaha UMKM tadi untuk naik kelas.
Sejumlah potret tadi, menurut saya,
sekaligus menepis anggapan soal betapa sulitnya pengusaha UMKM kita untuk
naik kelas. Memang tidak mudah, dan tidak pernah mudah. Tapi, ada jalannya.
Saya berharap dari mereka-merekalah, lahir
pengusaha kelas menengah dan besar yang mandiri. Bukan yang cuma besar karena
mampu menggerogoti APBN dengan menjadi mafia tender APBD. Masa itu harusnya
sudah kita lewati dan berganti dengan mereka yang kuat karena spirit
kewirausahan, kegigihan dan tentu saja didukung partner yang hebat.
Setelah itu mereka baru mendatangkan
konsultan manajemen, apalagi kalau anak-anak sudah lulus sekolah dan mau ikut
mengelola perusahaan. Itu pasti baik bagi perekonomian kita. Mereka inilah
yang sulit digempur kekuatan disruption
yang menjadi fenomena besar tahun depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar