Kewaspadaan
atau Gejala Paranoia?
Firman Noor ; Peneliti
LIPI dan Research Fellow CSSIS,
University of Exeter, Inggris
|
KORAN SINDO, 15 Desember
2016
DEWASA ini kondisi di Tanah Air sulit untuk
dikatakan mengindikasikan telah berubahnya pemerintahan menjadi rezim
otoriter apalagi diktaktor. Di sisi lain, sulit pula untuk mengatakan bahwa
pihak berkuasa di Indonesia tidak menunjukkan gelagat kekhawatiran yang
berlebihan atau paranoia.
Jika kita tinjau sejenak, apa yang terjadi
dalam sebulan belakangan ini sedikit banyak menunjukkan telah hadirnya gejala
paranoia itu—yang justru mengingatkan kita pada apa yang terjadi di masa-masa
lalu.
Gejala
Kekhawatiran Berlebihan
Sebelumnya perlu disampaikan bahwa
pemerintahan saat ini sesungguhnya telah menguasai hampir seluruh unsur dan
sumber-sumber kekuasaan di negeri ini. Sebut saja misalnya kekuatan parlemen
yang hanya tinggal meninggalkan dua (atau tiga) saja oposisi dari 10 fraksi
yang ada. Pihak angkatan bersenjata (TNI) dan kepolisian (Polri) semuanya
menunjukkan kesetiaan yang tinggi pada Presiden yang notabene panglima
tertinggi.
Sebagian besar media mainstream juga telah
menjelma menjadi ”corong pemerintah”. Beberapa di antaranya diakui oleh
beberapa kalangan sampai pada level telah kehilangan objektivitas.
Kelompok-kelompok bisnis besar utama di negeri ini pun telah memperlihatkan
gelagat yang sama, terdorong utamanya oleh kepentingan membangun
simbiosis-mutualisme.
Namun, uniknya perilaku pemerintah
belakangan ini seolah menegasikan kenyataan politik tersebut. Kekuatan besar
yang dimilikinya itu seolah tidak cukup membuatnya percaya diri.
Pada akhir Oktober gelagat kekhawatiran
tampak dengan kesibukan Presiden sebagai pimpinan pemerintahan melakukan
manuver mendekati banyak kalangan, terutama sekali kepada mereka yang
dipandang memiliki pengaruh di tengah masyarakat.
Presiden beberapa kali mendatangi
ormas-ormas besar Islam berpengaruh seperti Muhammadiyah dan NU, dan
melakukan pertemuan dengan berbagai kalangan, termasuk MUI, sembari
menawarkan beberapa imbauan dan pernyataan.
Kesibukan yang sama terjadi pada para
pendukung presiden. Mereka beraksi terutama melalui media sosial, ”mengingatkan”
akan tekanan kaum radikal yang akan memecah persatuan dan keutuhan bangsa.
Itulah mengapa bagi mereka yang menolak
ikut aksi 4/11 aksi tersebut setali tiga uang dengan mendukung perpecahan dan
kekerasan. Dalam upaya untuk mencegah aksi ini kerap argumentasi dan ajakan
itu diiringi dengan komentar pedas.
Setelahnya isu makar pun mulai diembuskan.
Hal itu sembari sesekali diselingi isu didanainya aksi unjuk rasa yang
dimotori oleh GNPF-MUI oleh pihak-pihak tertentu, terutama sekali oleh mantan
Presiden SBY. Bahkan dengan tuduhan bahwa dana aksi tidak lain berasal dari
hasil korupsi sepuluh tahun pemerintahannya.
Belum cukup dengan itu, dimunculkan pula
tuduhan adanya ”aktor politik” di balik aksi umat Islam. Sehubungan dengan
itu, kelompok-kelompok simpatisan pemerintah dalam berbagai kesempatan juga
menekankan dan terus menggemakan bahwa Presiden Jokowi adalah presiden
konstitusional.
Pada acara Parade Bhinneka Tunggal Ika,
misalnya, pernyataan itu juga diembuskan. Hal yang menjadi persoalan adalah
bukan isi dari pernyataan, yang tentu saja benar bahwa Jokowi adalah presiden
konstitusional, melainkan momentum dinyatakannya pernyataan itu yang seolah
mengingatkan bahwa aksi-aksi belakangan yang terkait dengan Ahok, nantinya
akan terkait pula dengan tindakan yang membahayakan posisi Jokowi sebagai
presiden yang sah.
Selain itu, sikap Presiden yang tidak
bersedia menerima demonstran 4/11 dengan alasan klasik ”jalan macet”
menunjukkan memang ada upaya menghindar. Bahasa lain mungkin menyelamatkan
simbol negara, karena kecurigaan terhadap motif sesungguhnya aksi para
demonstran itu. Atau dapat pula sebagai ekspresi dari ketidaksetujuan
Presiden atas langkah kelompok ”radikal” yang dipandang hendak menekannya.
Meski sikap Presiden seolah terkoreksi dengan
bersedia hadir dalam salat Jumat, 2 Desember 2016, sebagai presiden yang
menyatakan diri ”rindu didemo” dan rajin blusukan, adanya sikap kurang hangat
dan terkesan berjarak dengan para demonstran jelas tidak wajar.
Sekadar catatan tambahan, meski pergantian
ketua DPR terkait dengan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Ade
Komoruddin (Akom), setidaknya itulah pernyataan formal MKD, namun upaya untuk
makin memastikan genggaman kekuatan pemerintah pada lembaga legislatif adalah
sebuah tujuan pula. Sudah menjadi rahasia umum Akom dirasa lebih akomodatif
terhadap kalangan kritis atau demonstran dan mengingat pula dia bukan
termasuk faksi dalam Golkar yang benar-benar disukai pemerintah.
Menjelang hari H Aksi Bela Islam III,
terasa kembali upaya-upaya untuk melakukan pencegahan aksi, yang kembali
diyakini oleh pemerintah akan ditunggangi kelompok makar atau dimanfaatkan
oleh ISIS. Yang belakangan adalah isu lain yang juga diembuskan untuk
mencegah aksi.
Dengan bantuan kalangan ”moderat”
dilemparkan pula isu tidak sahnya melakukan salat Jumat di jalan. Sebuah isu
yang cukup potensial mengganggu keyakinan peserta aksi atas sah tidaknya akan
apa yang mereka nanti mau lakukan itu, meski terbukti pandangan kaum
”moderat” itu tidak banyak digubris.
Secara teknis, hambatan dilakukan dengan
mempersulit arus masuk ke Jakarta. Muncullah kemudian fenomena long march yang dipicu oleh para
santri dari Ciamis. Tidak itu saja, disebarkan pula selebaran untuk imbauan
tidak mengikuti aksi beberapa hari sebelumnya, yang banyak mengingatkan kita
pada aksi Inggris/NICA menjelang terjadinya pertempuran heroik 10 November
1945.
Makar?
Khusus dalam soal makar ini, gejala
paranoia itu terasa mengingat tidak ada alasan untuk para tersangka melakukan
makar secara riil. Makar setidaknya membutuhkan beberapa kondisi, seperti
adanya agensi atau tokoh utama pemersatu yang artikulatif dan dipercaya oleh
banyak orang sebagai pemimpin makar. Tidaklah harus sekelas Fidel Castro atau
Khomeini, tapi tokoh berskala nasional semacam ini harus ada.
Kemudian harus ada alasan kuat (reason) yang didukung secara militan
oleh sekumpulan orang dengan jumlah signifikan, termasuk dari kalangan
bersenjata. Selain itu mutlak adanya jaringan dan simpul-simpul
(networks/groups) yang terkonsolidasi dengan solid di level masyarakat dan
telah melakukan kegiatan test case beberapa kali.
Pada prinsipnya makar itu harus merupakan
sebuah ancaman besar, yang direncanakan dan diorganisasikan secara matang.
Kalau sekadar berwacana kritis untuk melakukan pergantian pemerintahan
sebagai jawaban atas kesulitan bangsa ini tentu penangkapan atas mereka hanya
merupakan bukti lain dari paranoia itu. Selain itu, tampaknya ada persoalan
besar pada aspek analisis lingkar dalam penguasa mengenai soal makar ini.
Gejala paranoia ini tentu saja berpotensi
meluas. Untuk itu, ada baiknya pemerintah dan kelompok di sekitarnya segera
mengatasinya. Jika tidak, situasi ini hanya akan makin menimbulkan banyak
sekali pertanyaan dan kesan yang tidak elok di kemudian hari. Sikap untuk membeda-bedakan
perlakuan di depan hukum antara kalangan yang masuk dalam in group dengan mereka yang out group sedikit banyak merupakan ekspresi dari gejala paranoia.
Untuk itu, agar pemerintah tidak semakin
terpojok karena citranya sebagai rezim paranoia, ada baiknya bersikaplah
lebih banyak menyerap aspirasi dengan membuka dialog lebih luas dengan rakyat
(grass root) bukan dengan broker,
analis-rekanan, apalagi elite pendukung saja.
Dialog layak pula dilakukan terutama oleh
kalangan yang disangka akan memecah belah bangsa dan melakukan makar itu. Hal
ini agar pemerintah lebih paham dan bijak dalam melihat apa yang sesungguhnya
telah terjadi.
Kemudian bersikaplah wajar dan demokratis.
Perlakukanlah oposisi, kalangan kritis, atau mereka yang berupaya ambil
bagian dalam mengontrol pemerintah secara elegan.
Kenyataannya, kalangan seperti itu akan
selalu (dan harus) ada dalam kehidupan demokrasi. Jika memang pemerintah
sungguh-sungguh meyakini makna demokrasi, sudah amat pantas jika kalangan
tersebut diberikan ruang yang cukup. Menjaga kewaspadaan jelas penting, namun
tanpa harus berubah menjadi paranoia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar