Masa
Depan HAM
Max Regus ; Sedang
Menyelesaikan Disertasi "Human Rights Culture in Indonesia" di The
Graduate School of Humanities, Tilburg University, Belanda
|
KOMPAS, 16 Desember
2016
“Kekuatan
HAM membuatnya mungkin untuk memperluas jumlah orang, orang seperti saya,
meraih kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan.”
Navanethem
Pillay, Komisioner Tinggi Komisi HAM PBB, 2008-2014
Laporan hasil jajak pendapat harian umum
Kompas (5/12) bertajuk "HAM di Tengah Kebebasan Berpendapat" dapat
menjadi satu pokok permenungan terkait Hari Hak Asasi Manusia Internasional
ke-68 yang kita rayakan baru-baru ini, Sabtu (10/12). Ini berhubungan rapat
dengan kegelisahan mendasar kita saat ini.
Membesarnya kebebasan berpendapat di satu
sisi justru tidak berbanding lurus dengan "rasa aman" sebagian
warga bangsa. Hal yang sama juga ada pada laporan Freedom House yang saban
tahun memosisikan persoalan kebebasan sipil di Indonesia. Ini menjadi tantangan serius bagi masa
depan HAM di negeri ini.
Jajak Pendapat Kompas juga menyebut rasisme
sebagai sumbu utama perusakan HAM. Kita berhadapan dengan mesin pembunuh
kemanusiaan bernama rasisme sosial. Penghinaan sosial atas dasar ras menjadi
sebentuk penodaan serius terhadap HAM. Rasisme membentuk mata rantai
perusakan terhadap kemanusiaan. Yang terus mengherankan kita adalah kebencian
rasial seolah menjadi bagian dari kegemaran sosial.
Sepertinya, banyak orang dengan mudah
terisap ke dalam arus serangan rasial terhadap kelompok lain. Kebencian sosial
terpompa dari ranah rasisme dan termuntahkan secara brutal ke dalam amuk
kekerasan sosial. Sebetulnya, jika dirunut lebih ke dalam lagi, meredupnya
rasa respek terhadap kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan juga diakibatkan
melemahnya pemerkayaan nilai-nilai utama demokrasi.
Alasan
politis
Memang, pada kenyataannya, politik dan
kekuasaan turut menyumbang hal buruk
terhadap prospek perlindungan HAM. Kerakusan akan kekuasaan telah menjadikan
basis apresiasi sosial kian compang-camping. Semestinya, publik dapat membuka
mata bahwa serangan brutal terhadap kesetaraan sosial sebagian besar justru
bertolak dari ruang politik.
Ironisnya, justru ruang politik ini niscaya
membutuhkan legitimasi yang berasal dari publik. Namun, ruang tersebut telah
mengalami pendangkalan sekadar sebagai arena kontestasi kesombongan para
elite. Ketika "ruang penampungan" itu melebihi ambang batas kontrol
sosial, reproduksi penghinaan rasial selalu memiliki alasan politis. Politik
yang untuk sekian waktu terlalu banyak berselimutkan kegemerlapan popularitas
telah berhasil mendaur ulang keangkuhan rasial.
Di titik ini, publik berhadapan dengan
"latensi" politik yang berbahaya. Hal itu terjadi ketika keangkuhan
rasial menyisir dan mengaduk sisi emosional publik. Itu dijadikan tameng
kukuh dalam menutupi sesat pikir politik dan kekuasaan. Muaranya, publik
diserang racun sosial berupa perusakan kemanusiaan sebagian warga bangsa,
sementara kelas elite menangguk keuntungan politik.
Dedikasi
Semestinya peringatan Hari HAM Internasional
tahun ini dapat membesarkan kembali ingatan bersama kita akan kesetaraan
dalam ruang kebersamaan sosial. Kita juga harus merasa terpanggil untuk
menunjukkan "dedikasi" yang lebih kentara dalam membangun mekanisme
perlindungan HAM. Ini harus menjadi kesadaran sosial dan politik bersama.
Itikad yang sama dalam membangun tata kelola politik yang beradab juga tidak
kalah penting.
Pada sisi lain, lembaga-lembaga sosial,
pejuang HAM, akademisi, dan intelektual niscaya mengambil bagian aktif dalam
memekarkan HAM, terutama dalam membongkar cara pikir yang keliru tentang HAM,
dan membantu banyak warga agar bisa menikmati hak-hak dasar dalam keseharian
hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar