Brexit,
Trump, Duterte, dan Kita
Ginandjar Kartasasmita ; Guru
Besar Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
|
KOMPAS, 02 Desember
2016
Selagi kita sibuk dengan kontroversi sekitar proses demokrasi di
Jakarta, kita juga mengikuti beberapa proses demokrasi di dunia. Perhatian
dunia pada pilpres di Amerika Serikat besar sekali karena siapa pun yang
terpilih akan berpengaruh bukan hanya terhadap masa depan negara itu,
melainkan juga wilayah-wilayah dunia lain. Pilpres kali ini menampilkan agenda
dan kebijakan para capres yang bertolak belakang satu sama lain. Hillary
Clinton pada posisi melanjutkan kebijakan presiden sebelumnya, Barack Obama.
Sementara Donald Trump menjanjikan perombakan total. Kampanye kedua kandidat
saling membongkar keburukan satu sama lain dengan berbagai skandal yang
menjatuhkan kredibilitas pribadi mereka sehingga siapa pun yang menang
merupakan figur yang cacat di mata publik. Seorang penulis menyebut proses
pilpres di AS kali ini sebagai democracy
disrupts itself.
Kampanye Trump penuh nuansa rasial dan etnis, dan ia sangat
didukung warga kulit putih. Trump berjanji membatasi masuknya imigran, antara
lain dengan membuat tembok di perbatasan Meksiko, serta memperketat masuknya
pendatang beragama Islam yang dicurigai sebagai sumber teroris. Untuk
menggerakkan ekonomi, Trump akan memangkas pajak, terutama pajak progresif,
terhadap pembayar pajak besar. Trump akan meninjau kembali semua perjanjian
perdagangan, tidak akan masuk Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), menarik modal AS
di luar negeri, dan mengenakan penalti kepada perusahaan AS yang memberi
pekerjaan kepada bangsa lain. Semangatnya adalah kembali ke proteksionisme
dengan slogan America first. Trump tak percaya perubahan iklim (climate change), disebutnya
akal-akalan Tiongkok untuk membuat produk AS bertambah mahal dan tak mampu
bersaing. Tiongkok disebutnya manipulator mata uang.
Inti kampanye Trump adalah sistem pemerintahan AS sudah bobrok (broken) dan hanya bisa diperbaiki oleh
orang yang tak pernah terlibat di dalamnya. Trump menyebut dirinya orang luar
itu, berjuang untuk rakyat tertinggal, yang kehilangan pekerjaan dan
dirugikan kebijakan pemerintah pusat (Washington DC). Tema-tema di atas
membawanya pada kemenangan, meski bagaimana pelaksanaannya setelah menang,
masih tanda tanya.
Kalau kita melihat perkembangan akhir-akhir ini, gerakan populis
dan anti kemapanan seperti itu telah menjalar ke mana-mana. Ada pengamat
menamakan gejala ini sebagai great
reaction.
Brexit dan
Duterte
Fenomena itu sudah muncul sebelumnya di Inggris dengan Brexit.
Berbagai sebab membuat mayoritas orang Inggris ingin keluar dari Uni Eropa;
defisit demokrasi di Brussels (ibu kota UE) atau lemahnya ekonomi sebagian
negara di zona euro. Namun, isu yang utama adalah arus pendatang dari negara-negara
UE yang menjadi pesaing dalam lapangan kerja, serta masuknya gelombang besar
imigran Islam melalui pintu negara Eropa lain akibat konflik di Timur Tengah.
Gejala great reaction bukan hanya di Inggris dan AS, melainkan
juga menjalar di negara Eropa lain. Di Italia, Austria, dan Jerman, partai
yang menyerukan semboyan populis kian kuat dapat dukungan. Di Perancis,
pemimpin partai populis haluan kanan menguasai polling opini publik
menghadapi pilpres Mei 2017. Di negara Balkan, seperti Kroasia dan Bosnia-Herzegovina,
partai populis telah mengambil kekuasaan, demikian pula di Bulgaria.
Di wilayah kita sendiri, di Filipina telah tampil sebagai
Presiden RodrigoDuterte.Duterte dapat sorotan internasional karena sikapnya
terhadap AS di luar garis kebiasaan. Hubungan kedua negara terganggu karena
kritik AS terhadap kebijakan Duterte memerangi narkoba di luar jalur hukum
(extrajudicial killing) yang dianggap Duterte campur tangan urusan dalam
negeri. Duterte menyatakan berpisah dengan AS; meski bukan berarti pemutusan
hubungan, tetapi kebijakan luar negeri Filipina tak akan lagi terikat dengan
Washington DC. Duterte membatalkan latihan militer bersama AS-Filipina dan
mempertimbangkan mengakhiri perjanjian pertahanan kedua negara. Ia juga
mengesampingkan sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan dengan Tiongkok dan
mengisyaratkan mencari penyelesaian damai.
Duterte sebelumnya Wali Kota Davao, ibu kota Provinsi Mindanao,
wilayah yang politik dan demografinya sangat pelik dan penuh konflik. Sejak
muda, Duterte, yang neneknya dari Mindanao dan beragama Islam, punya
pandangan yang kental anti AS serta sistem politik yang dikuasai kelompok
bisnis dan dinasti politik di Manila. Sistem ini dijanjikan Duterte untuk
dirobohkan.Duterte mengingatkan kita pada Bung Karno. Bung Karno mencanangkan
go to hell with your aid terhadap AS dan menyatakan Indonesia keluar dari
PBB. Romantisisme yang sama tatkala Duterte menyatakan three of us against
the world— China, Philippines, and Russia.
Refleksi bagi
kita
Perkembangan di atas patut jadi refleksi bagi kita. Pertama,
pilpres 2016 di AS menunjukkan wajah buruk proses demokrasi yang menampilkan
orang-orang bermasalah menjadi calon pemimpin. Di kita pun telah berkembang
persepsi hasil pemilu legislatif dan pilkada tak menghasilkan pemimpin
mumpuni. Proses perekrutan yang tertutup, dikuasai mereka yang memiliki modal
atau didukung oleh yang memiliki modal, menghasilkan politisi yang jauh di
bawah standar, baik moral, kapasitas, maupun kompetensinya.
Kekecewaan terhadap demokrasi yang kita adopsi dengan reformasi
itu telah menimbulkan keinginan untuk kembali ke UUD 1945 asli. Namun, untuk
itu perlu ada konsensus nasional yang baru, yang tidak mudah dapat terbentuk.
Saya jadi teringat akan ucapan Winston Churchill, democracy is the worst
system devised by wit of man, except for all the others.
Maka, menurut pendapat saya, yang penting harus kita lakukan
adalah memperbaiki cara kita berdemokrasi, menghilangkan ”hambatan masuk”
agar rakyat dapat memilih putra-putri terbaik untuk menjadi pemimpin. Namun,
perbaikannya harus dimulai dari ujung tombak demokrasi itu sendiri, yaitu
partai politik.
Emansipasi
teknologi
Kalau kondisi ini terus berlarut, bisa saja sentimen anti
demokrasi seperti yang sekarang sedang kita terapkan makin meluas. Suasana
anti kemapanan (baca: elite yang berkuasa) makin menguat, mendorong
berkembangnya gerakan populis. Sesungguhnya, menurut pandangan saya, gerakan
populis telah terjadi tatkala seorang wali kota dari kota yang relatif kecil,
Solo, dalam waktu yang singkat menjadi presiden. Kurang lebih seperti
Duterte. Memang Joko Widodo melewati tahap Gubernur DKI, tetapi itu sebagai
transit untuk menjadikan figur lokal menjadi figur nasional.
Dapatkah proses serupa itu terjadi lagi? Menurut hemat saya bisa
saja kalau ada figur dan tema yang tepat.Pasalnya telah berkembang norma
politik baru bahwa upaya memengaruhi atau memperoleh dukungan konstituen
sudah bergeser dari dimensi fisik ke media elektronik dan media sosial. Hal
ini sejalan dengan emansipasi teknologi di masyarakat dan makin lekatnya
kelas menengah dengan telepon pintar sebagai sumber informasi dan pernyataan
sikap. Sekarang lebih mudah untuk mengumpulkan dan membangun opini massa
serta mengembangkan isu; seperti big bang dari kosong atau hanya setitik
sekejap meledak memenuhi ruang.
Terhimpunnya dalam waktu singkat sekitar 500.000 orang dalam
demonstrasi 4 November 2016 menunjukkan fenomena itu. Saya tak ingin terseret
isi polemiknya. Saya hanya ingin coba membaca gelagat yang sedang terjadi.
Demo atas dasar platform agama sering terjadi, tetapi tidak
pernah sebesar ini. Banyak spekulasi: sebagai revival umat Islam, anti
sekularisme (sering dibaca anti NKRI), ingin menjadikan Indonesia negara
Islam, dipengaruhi konflik di Timur Tengah dengan Negara Islam di Irak dan
Suriah (NIIS)-nya. Saya tidak sependapat dengan sudut pandang ini. Saya yakin
tak ada ancaman terhadap NKRI apalagi Pancasila, dan kita tak boleh
terperangkap isu itu. Upaya mengubah dasar negara sudah berkali-kali
dilakukan sepanjang sejarah kita, baik dengan cara konstitusional maupun
kekerasan, tak ada yang bisa berhasil. Tidak ada alasan kenapa sekarang,
dalam keadaan bangsa kita lebih maju dan lebih ”kosmopolitan”, usaha ini akan
berhasil.
Pasca demo 4 November merebak berbagai teori konspirasi sampai
pada makar menggulingkan Presiden Jokowi. Kita memang harus waspada, jangan
lengah, tetapi jangan merespons ke arah yang keliru. Sejarah kontemporer kita
menunjukkan bahwa perubahan rezim di Indonesia, baik pada 1966 maupun 1998,
seperti juga di banyak wilayah dunia lain, tak terjadi hanya karena isu
politik. Isu politik bisa saja menjadi sekamnya, tetapi api yang memicunya
adalah masalah ekonomi.
Potret kondisi
sosial-ekonomi
Maka, marilah kita melihatnya dari sisi lain. Apakah di bawah
permukaan demo besar ini ada isu-isu sosial atau ekonomi yang laten dan tidak
terungkap? Apakah tidak mencerminkan juga rasa frustrasi masyarakat
Indonesia, dalam hal ini yang diwakili masyarakat beragama Islam yang memang
mayoritas? Saya coba membacanya sebagai ungkapan kerisauan, yang memudahkan
orang bersimpati terhadap gerakan populis dan anti kemapanan atau disebut di
atas great reaction.
Ketimpangan yang melebar, globalisasi yang menguatkan penguasaan
ekonomi oleh segelintir kelompok bisnis, kesempitan lapangan pekerjaan,
penurunan kemiskinan yang melambat, masuknya pekerja asing, produksi dalam
negeri yang terdesak oleh impor, utang yang terus membubung, keseimbangan
fiskal yang rentan adalah sekadar potret dari kondisi sosial- ekonomi yang
banyak dikeluhkan masyarakat dari tingkat bawah sampai atas. Rasanya iniyang
harus menjadi perhatian pemangku kepentingan politik di negara kita.
Tentu masalah-masalah itu tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang baru berjalan dua tahun, banyak masalah
yang diwariskan oleh masa lalu. Namun, harapan dan frustrasi tak bisa
dilemparkan ke masa lalu. Pemerintah sekarang yang harus memikul bebannya.
Apalagi dalam kampanye pilpres Jokowi-Kalla yang saya ikuti, sebagai
sukarelawan karena partai saya mendukung pasangan lawannya, banyak janji yang
tidak begitu saja hilang dari ingatan orang. Untuk itu, kita perlu memberi
kesempatan kepada pemerintah agar dapat bekerja dengan tenang dan fokus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar