Pertarungan
Para Konsultan Politik
Abdur Rofi ; Dosen
Fakultas Geografi UGM
|
KOMPAS, 02 Desember
2016
Membaca pertarungan Pilkada DKI Jakarta (dan pilkada lain di
Indonesia), fokus perhatian kita seharusnya tidak hanya kepada para kandidat
dan partai dan tokoh utama pendukungnya.
Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta misalnya, fokus perhatian kita
cenderung kepada Agus-Silvy, Basuki (Ahok)-Djarot, dan Anies-Sandiaga.
Pembacaan media dan pengamat kemudian hanya melebar bahwa ketiga pasangan
kandidat ini merefleksikan pertarungan antara Susilo Bambang Yudhoyono,
Megawati, dan Prabowo. Kita cenderung
mengabaikan tokoh penting di balik pertarungan yang terjadi, yakni para
konsultan politik.
Dennis W Johnson dalam bukunya No Place For Amateurs: How Political
Consultants Are Reshaping American Democracy (2001) menggambarkan bagaimana
peran konsultan politik profesional dalam bekerja, memoles, dan
mengampanyekan kandidat. Berbeda dengan para amatiran politik, konsultan
politik profesional boleh jadi mengabaikan prinsip-prinsip pribadinya yang
mungkin bertentangan dengan kandidat.
Namun, hal itu bisa diabaikan sepanjang mereka dibayar secara
profesional. Konsultan politik bisa bekerja dalam satu waktu untuk
mengerjakan banyak pekerjaan terkait kegiatan politik.
Calon akan datang dan pergi, tetapi konsultan akan berada di
sana untuk membimbing politikus dan para penerus melalui proses
pemilihan. Mereka orang- orang yang
sangat berpengaruh dan menentukan, tetapi sering tidak terlihat. Majalah Time
bahkan pernah menjuluki Dick Morris,
konsultan politik Bill Clinton, sebagai orang swasta paling
berpengaruh di Amerika.
Pengaruh dan peran para konsultan politik profesional ini dapat dilihat pada
Pilkada DKI Jakarta. Tidak semua
konsultan politik secara terang-terangan mengakui di belakang para
kandidat. Dari pengamatan penulis
terhadap hasil publikasi survei pilkada, cara penyampaian dan pembacaan hasil
survei, status di Twitter, setidaknya dapat dipetakan para konsultan politik
dari kandidat masing-masing. Denny JA
(LSI) bekerja sebagai konsultan politik Agus-Silvi; Yunarto Wijaya (Charta Politika), Saiful
Munjadi (SMRC), Cyrus Network menjadi konsultan dari Basuki-Djarot; Eep
Saefulloh (PolMark) menjadi konsultan dari Anies-Sandiaga.
Di luar nama-nama itu, ada beberapa konsultan politik lain yang
terlibat dalam Pilkada DKI Jakarta. Sebagian nama dan lembaga yang saya
sebutkan, masuk ke dalam sembilan lembaga survei yang sudah terdaftar di KPU
DKI Jakarta. Sebagian besar para konsultan politik tersebut adalah pemain
lama yang sudah terlibat dalam pemilu Indonesia dan pilkada DKI sebelumnya.
Deny JA (LSI) misalnya, sudah mengklaim memenangkan 26 gubernur dan 55
bupati/wali kota di Indonesia. Belum
lagi dihitung jumlah anggota legislatif yang meminta jasa konsultannya.
Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta sebelumnya, Eep Saefulloh Fatah
adalah konsultan politik Jokowi-Basuki dan Denny JA adalah konsultan
politiknya Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, yang saat itu dimenangi Jokowi-Basuki.
Saat ini Eep Saefulloh harus berhadapan dengan Basuki yang dulu menjadi
kliennya.
Mengelola isu
pertarungan
Sebagaimana Johnson
(2001) tulis, setiap kampanye memiliki keadaan, peristiwa, dan
dinamikanya yang unik. Meskipun demikian,
pola-pola kampanye merupakan proses daur ulang yang mirip. Ketika
konsultan politik telah bekerja dalam puluhan pemilihan, pola kampanye dapat
diprediksikan: bagaimana pesan dan
tema, isu-isu, dan taktik akan dimunculkan, mengambil sedikit variasi dan
tikungan baru. Konsultan yang berpengalaman dapat menyelamatkan calon dari
membuat kesalahan, membaca peluang dengan cepat, dan mengambil keuntungan
dari keadaan yang berubah.
Bagaimana hasil survei dan membuat strategi yang menguntungkan
klien terlihat jelas dalam mengolah isu suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) di Jakarta. Awal Oktober, Populi merilis hasil temuannya bahwa
elektabilitas Basuki-Djarot 45,5 persen, dan pemilih Muslim menyumbang 42
persen suara pasangan Basuki-Djarot berdasarkan kategori agama. Populi ingin
mengesankan bahwa isu agama tidak
berpengaruh signifikan dalam Pilkada DKI Jakarta.
Berbeda dengan Populi, LSI membaca temuannya berbeda. Meski
persentase Muslim yang mendukung Basuki lebih dari 40 persen, tetapi itu
hanya disumbang oleh 27,7 persen dari seluruh pemilih Muslim. Mengapa 27,7
persen dari total pemilih Muslim bisa memberikan kontribusi 42 persen
terhadap total suara Basuki menurut kategori agama? Jelas karena populasi
penduduk Muslim di DKI adalah mayoritas, yakni 85 persen dari total pemilih
Jakarta. Data adalah data, tapi cara
membaca data bisa membuat informasi berbeda, dan kesan yang ingin ditonjolkan
para konsultan politik berbeda. Satu ingin mengatakan, isu SARA tak penting,
yang lain penting.
Cara membaca data hasil survei dan strategi memenangkan kandidat
terlihat jelas bagaimana isu agama diolah, dipoles, dan dipromosikan dalam
memengaruhi massa. Selama satu bulan lebih, dan didukung peristiwa pidato
Basuki di Kepulauan Seribu, isu agama mewarnai Pilkada DKI Jakarta. Dari
sekian banyak konsultan politik dan lembaga survei yang terdaftar, sejauh ini
Deny JA (LSI) yang paling banyak merilis beberapa kali hasil survei Pilkada
DKI.
Sebelum video Basuki di
Kepulauan Seribu yang bermasalah diunggah di Youtube (3/10/2016), Denny JA
(LSI) merilis hasil survei "Ahok Potensial Kalah? Agus Harimuri
Yudhoyono Kuda Hitam?". Setelah video Basuki itu viral di media, Deny JA
(LSI) merilis survei tanggal 6/10/2016 dengan judul "Isu Agama Kalahkan
Ahok?"
Dengan menggunakan data survei sebelumnya, LSI melihat bahwa
penduduk Muslim Jakarta sangat besar (85 persen), ada indikasi bahwa jumlah
pemilih Muslim yang tak ingin gubernur non-Muslim bergeser dari 40 persen
(Maret) ke 55,6 persen (Oktober). Pada awal November, Denny JA (LSI) merilis
surveinya, "Mayoritas Publik Salahkan Ahok Soal Al-Maidah".
Temuannya, jumlah pemilih Muslim yang tidak ingin gubernur
non-Muslim meningkat dari 55,6 persen (Oktober) ke 63,4 persen
(November). Selain itu, Denny JA
menulis, "Pilkada DKI: Agama Yes, Kekerasan No" (22/10/2016), yang ingin menegaskan,
penggunaan politik identitas adalah dibenarkan sejauh tidak melakukan
kekerasan.
Siapa yang
akan menang?
Hasil survei LSI menunjukkan, dalam satu bulan elektabilitas
Basuki-Djarot turun 6,8 persen, turun dari 31,1 persen pada awal Oktober menjadi
24,6 persen pada awal November. Meskipun demikian, penurunan elektabilitas
Basuki ternyata belum diikuti kenaikan elektabilitas Anies-Sandiago dan
Agus-Silvi meskipun Agus-Silvi sudah mulai menggeser ke posisi kedua.
Menariknya, pemilih Basuki-Djarot hanya pindah ke mereka yang tak mau
menjawab/belum menentukan, meningkat
dari 28,2 persen ke 34,5 persen.
Politik, seperti olahraga, zero-sum game: seseorang menang,
seseorang kehilangan. Kesuksesan konsultan politik itu ditentukan menang atau
kalah. Namun, kemenangan ini tidak cukup.
Persepsi dan kilau juga penting bagi konsultan politik. Kasus Pilkada
DKI Jakarta merupakan pertarungan yang sulit dan menempatkan sebuah
pertarungan yang dapat mempertaruhkan reputasi para konsultan politik di masa
datang.
Setelah demo 411 dan ditetapkannya Basuki sebagai tersangka
(16/11/2016), pertarungan konsultan politik memasuki babak baru. Bagaimana konsultan politik akan mengolah
isu ditetapkannya Basuki ini sebagai bahan jualan. Apakah Yunarto Wijaya (Charta Politika),
Saiful Munjadi (SMRC), dan Cyrus Network bisa mengelola isu tersangkanya
Basuki dalam meraih simpati pemilih dan mengembalikan pemilih Basuki? Atau,
apakah Eep Saefulloh (PolMark) bisa
menerobos di tikungan, menonjolkan Anies sebagai penengah di antara
kandidat? Waktu tiga bulan ke depan
yang akan menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar