Tumbangnya NIIS
Ibnu Burdah ;
Pemerhati Timur Tengah dan
Dunia Islam;
Dosen KTT Pascasarjana UIN
Yogyakarta
|
KOMPAS, 11 Juni 2016
Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS) dikabarkan terdesak di hampir semua front. Baik menghadapi
Peshmerga Kurdi (Irak Utara), Kurdi Suriah, oposisi-oposisi
"moderat", milisi Syiah Irak, tentara Irak, tentara rezim Assad,
tentara Turki, serta koalisi serangan udara regional dan internasional
pimpinan AS, plus Rusia.
Dalam pertempuran
terakhir, mereka sudah demikian terdesak di Fallujah. Pertimbangan
kemanusiaan mendorong pengambilalihan Fallujah ditunda sementara. Kota Manbij
di Suriah yang sangat strategis untuk menopang ibu kota Raqqa juga menghadapi
serangan hebat pejuang Kurdi. Jika kedua kota ini jatuh, kemungkinan agenda
pembebasan Mosul dan Raqqa menjadi prioritas selanjutnya.
Sebelumnya, mereka
telah kehilangan kontrol atas wilayah Hims, Tadmur, Ramadi. Kota-kota
penting, seperti Ramadi, Sinjar, Tal Abyadh, Kobani, dan Tikrit juga sudah
lebih dahulu dibebaskan. Mereka juga kehilangan kekuasaan di wilayah-wilayah
yang jadi sumber perekonomian, terutama di timur Suriah dan perbatasan
Irak-Suriah.
Ini masih diperparah
dengan banyaknya korban tewas dari kombatan mereka. Tak ada data yang cukup
netral dan dapat dipercaya tentang jumlah kombatan NIIS yang tewas dalam
beberapa pertempuran terakhir. Namun, para analis memperkirakan angka ribuan,
dan yang jelas melampaui jumlah angka- angka sebelumnya. Bahkan, dua bulan
lalu, beberapa pemimpin teras mereka dikabarkan tewas, seperti Abu Muslim
al-Turkmani orang kedua NIIS, Abu Sayyaf, dan John al-Jihadi.
Pandangan bahwa
beberapa bulan ke depan adalah waktu tumbangnya NIIS semakin kuat. Semua
indikasi yang disebutkan di atas menguatkan kesimpulan tersebut. Di samping
itu, pasukan NIIS dikabarkan juga meninggalkan banyak sisi pertempuran tanpa
perlawanan, sesuatu yang tak biasa mereka lakukan.
Hal yang sering
terdengar adalah mereka akan menghukum dengan cara paling keji (dibakar
hidup-hidup) terhadap tentara yang mundur dari pertempuran. Mereka
mendoktrinkan bahwa wilayah teritorial mereka harus dibela dengan nyawa.
Perkembangan ini menimbulkan spekulasi hebat tentang mulai ambruknya
"pemerintahan" negara horor ini.
Wilayah-wilayah yang
tak memiliki sumber daya ekonomi signifikan dan jarang populasinya juga
mereka tinggalkan tanpa pertempuran. Sementara wilayah yang menjadi sumber
minyak dan padat populasi masih mereka pertahankan. Keduanya penting bagi
perjuangan mereka untuk bertahan dan survive.
Pengetatan secara luar
biasa setiap negara terhadap mereka yang berkunjung ke Turki atau Suriah
jelas menghambat perekrutan kombatan-kombatan baru itu. Padahal, selama ini
mereka sangat mengandalkan para jihader baru yang segar dan masih memiliki
militansi luar biasa. Para kombatan lama tentu memiliki mental berbeda.
Mereka sudah merasakan bagaimana kenyataan hidup di negara yang mereka idealkan itu. Mereka bisa menilai
kebenaran propaganda NIIS selama ini.
Masih "survive"
Namun, benarkah negara
yang berdiri di atas ideologi tawakhkhusy (kekejian) ini benar-benar di
ambang keruntuhan? Sulit menilai mengenai kebenaran informasi-informasi
tentang NIIS. Apakah pemimpin tertinggi mereka, Abu Bakar al-Baghdadi, masih
hidup atau sudah tewas, seperti pernah dispekulasikan?
Apakah Abu Muslim
al-Turkmani, orang kedua NIIS, benar-benar telah tewas sebagaimana banyak
diberitakan, atau ternyata hanya terluka? Berapa jumlah kombatan kelompok ini
yang tewas dalam keterdesakan beberapa bulan terakhir? Berapa kerugian
materiil mereka akibat serangkaian kekalahan itu? Apa respons mereka terhadap
fakta baru itu? Satu hal yang jelas, semua sumber pemberitaan yang tersebut
di atas tak ada konfirmasi dari media yang biasa digunakan negara horor itu.
Namun, potensi ancaman
mereka, bagaimanapun, masih sangat besar dan tak bisa dianggap remeh.
Pertama, puluhan wilayat (provinsi NIIS) yang tersebar di mana-mana. Di
Wilayah-wilayah konflik, NIIS berhasil mendirikan basis teritorial baru,
seperti di Libya; Sinai, Mesir; Yaman, bahkan di sekitar Pakistan-Afganistan.
Bagi mereka, kekuasaan baru itu disebut dengan provinsi, yang menjadi basis
teritorial mereka. Wilayat-wilayat ini berpotensi menjadi ibu kota negara NIIS yang baru jika mereka
tak mampu mempertahankan diri di Irak dan Suriah.
Kedua, sumber daya
manusia yang ada dalam kekuasaan teritorial NIIS sangat besar, yakni sekitar
8 juta jiwa. Inilah konon yang terus mereka eksploitasi untuk membangun
kombatan-kombatan baru yang militan. Karena itu, berita yang tersebar adalah
bahwa NIIS sekarang mengeksploitasi secara paksa para pemuda yang ada dalam
wilayah teritorialnya.
Populasi padat di
kota-kota besar itu bukan hanya sumber tenaga perang bagi NIIS, tetapi juga
perisai hidup yang setiap saat dapat digunakan untuk mempertahankan diri. Ini
akan menjadi persoalan serius dalam perang "akhir" terhadap negara
NIIS itu nanti.
Ketiga, faktanya
mereka masih menguasai sejumlah kota besar dan menjalankan pemerintahannya di
wilayah itu. Hingga saat ini, Mosul dan di Irak seperti belum tersentuh,
Fallujah dan Manbij sedang dibebaskan. Raqqa dan Dayr Zur di Suriah juga
masih utuh dalam genggaman mereka. Mosul dan Raqqa selama ini dipandang
sebagai ibu kota negara horor ini.
Semua kemajuan itu
sangat penting dalam upaya menumbangkan negara teror NIIS. Namun, mereka
masih memiliki kemampuan dan kekuasaan yang cukup besar untuk bertahan.
Perang terhadap NIIS bisa saja tiba-tiba mengalami kemunduran lagi, dan lagi,
ketika pertempuran multifron kembali melanda Suriah atau Arab Saudi-Iran
kembali bersitegang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar