”Reality Show”
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 11 Juni
2016
Jujur saja, sampai
hari ini nyaris tak ada berita politik yang lebih seksi dibandingkan dengan
berita tentang Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Fenomena ”Ahokmania”
mungkin telah menyaingi ”Jokowimania” beberapa tahun lalu.
Padahal, pemilihan
gubernur (pilgub) DKI baru akan berlangsung tahun depan. Namun, hebohnya
sudah terasa sejak beberapa bulan terakhir dan sampai saat ini. Ketegangan
itu, termasuk pengumpulan fotokopi KTP oleh Teman Ahok untuk memenuhi
persyaratan mengikuti pilkada dari jalur perseorangan, diperkirakan akan
makin meningkat sampai pelaksanaan pilgub pada Februari 2017.
Sepak terjang Basuki
di media massa selalu cepat diperbarui dan bertalu-talu selama 24 jam sehari,
tujuh hari seminggu. Jangan tanya bagaimana di media sosial, Anda pasti tidak
ketinggalan mengikuti isu demi isu secara saksama.
Kita sudah lama
memasuki era reality show. Istilah
ini merujuk pada program televisi yang menyajikan kehidupan sehari-hari tokoh
publik atau selebritas terkenal.
Kini, Basuki jadi
pemeran utama reality show yang mungkin berjudul Ahokmania. Para pemeran
pembantunya berderet, antara lain para bakal calon gubernur, sejumlah ketua
umum partai politik, politisi kunci di DPRD DKI, Komisi Pemberantasan
Korupsi, perusahaan-perusahaan pengembang, dan Teman Ahok.
Jika reality show ini
berlangsung sekali sepekan, skenario atau plotnya berjibun sehingga sutradara
enak menggantinya dengan cepat. Pekan ini, ceritanya soal dugaan korupsi
Rumah Sakit Sumber Waras, pekan depan misteri reklamasi, pekan berikutnya
rumor penggusuran Masjid Luar Batang, dan seterusnya.
Reality show ini penuh
konflik, suspense, dan kadang juga
fitnah yang memecah. Oleh sebab itulah, ia menciptakan keterbelahan antara
”Ahok lovers” atau ”Ahokers” melawan para ”haters”.
Suka atau tidak,
memang muncul anggapan bahwa Basuki masuk dalam kategori figur yang cenderung
memecah belah dukungan secara tajam. Ibaratnya, ia mudah berteman, tetapi
gampang pula membuat musuh.
Dalam pemahaman
Ahokers, Basuki hanya ingin bekerja sebaik-baiknya untuk warga Ibu Kota.
Sebaliknya, para haters juga tak keliru ketika melihat dengan attitude problem yang diperlihatkan
Basuki, terutama lewat mulutnya.
Dan, sebenarnya
Ahokers ataupun haters meributkan hal-hal yang membuat pusing tujuh keliling
publik awam. Tak banyak warga Jakarta yang paham diskresi atau kontribusi
tambahan yang berkaitan dengan reklamasi pantai utara Jakarta.
Warga lebih
memperhatikan ternyata pada musim hujan kali ini Jakarta yang tidak lagi
kebanjiran. Setidaknya, genangan air di sejumlah tempat hilang dalam beberapa
jam saja dibandingkan pada masa lalu yang bisa berhari-hari.
Tak ada lagi wartawan
televisi yang nyemplung ke dalam banjir sambil melaporkan kondisi kekinian
dengan embel-embel ”Breaking News”. Juga jarang terlihat pula perahu-perahu
karet yang masuk ke permukiman miskin untuk mengungsikan warga yang sakit
atau uzur.
Dan, jujur saja, ke
mana pun Anda pergi, Ibu Kota relatif telah bersih. Ini semua berkat kerja
keras pasukan oranye dan juga berkat ketua RW/RT yang memanfaatkan aplikasi
Qlue untuk melaporkan kondisi lingkungan masing-masing.
Terlalu banyak untuk
disebutkan satu per satu prestasi Basuki, juga Jokowi sebagai gubernur, yang
telah dinikmati oleh warga Jakarta. Oleh sebab itu, sejumlah survei
memperlihatkan, sampai saat ini Basuki memiliki kemungkinan terpilih kembali
memimpin Ibu Kota untuk periode 2017-2022.
Ini semua menguak
sebuah fakta positif tentang demokrasi kita yang terhitung baru lahir tahun
1998. Ternyata demokrasi kita tak lagi sekadar prosedural dan terkonsolidasi,
tetapi juga mulai berkualitas.
Kualitas yang dimaksud
adalah prestasi sejumlah pemimpin, dalam hal ini kepala daerah, dalam membenahi
kabupaten/kota dan provinsi masing-masing. Dan, ternyata, respons publik
semakin hari semakin apresiatif terhadap para pemimpin masing-masing.
Publik tidak lagi
seperti obat nyamuk yang lebih banyak bengong saja mengikuti kemauan pemimpin
mereka seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Publik secara perlahan-lahan
menikmati kualitas demokrasi tersebut dengan kesadaran akan hak-haknya dan,
tentu saja, kewajiban-kewajibannya sebagai warga yang baik.
Tidak ada lagi
fenomena publik yang too dumb to be governed karena para pemimpin tidak lagi
too dumb to govern. Oleh sebab itu, nikmati saja reality show sekali sepekan
yang berjudul Ahokmania itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar