Meluruskan Ekonomi Ramadhan
Ali Mutasowifin ;
Dosen Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB
|
KOMPAS, 11 Juni 2016
.
Dalam
sebuah rapat kabinet terbatas belum lama ini, Presiden Joko Widodo
memerintahkan agar harga bahan kebutuhan pokok, yang selalu naik menjelang
dan selama Lebaran, tahun ini dapat dijungkirbalikkan keadaannya menjadi
turun harga. Banyak yang ragu kehendak Presiden itu mampu diwujudkan.
Keraguan
itu beralasan mengingat fenomena yang rutin berulang menjelang Lebaran.
Bahkan, jauh sebelum Ramadhan tiba, lazimnya harga beragam komoditas pangan
merangkak naik, dan akan terus meningkat hingga perayaan Idul Fitri berakhir.
Fenomena
tersebut dicatat Bank Indonesia dalam studi tentang pola inflasi, yang
menunjukkan laju inflasi semakin kencang selama Ramadhan, saat Idul Fitri,
serta satu bulan sesudahnya. Peningkatan konsumsi masyarakat juga
terkonfirmasi dari persiapan perbankan menghadapi puasa Ramadhan dan Idul
Fitri. Kalangan perbankan, termasuk bank sentral, senantiasa menyiapkan uang
tunai lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Peluang
meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat juga ditangkap PT Pegadaian, yang
selalu mencanangkan omzet lebih tinggi sepanjang bulan Ramadhan hingga
Lebaran. Peningkatan kredit yang disalurkan Pegadaian biasanya digunakan
nasabah sebagai modal usaha musiman, seperti berjualan baju, hidangan takjil,
kue, dan makanan. Setelah Lebaran, barang yang digadaikan akan ditebus
kembali.
Secara
umum, AC Nielsen menyimpulkan, saat bulan puasa, penjualan barang konsumsi di
Tanah Air, termasuk makanan, meningkat 9,2 persen. Angka ini
merepresentasikan adanya peningkatan konsumsi warga.
Gagal kendalikan diri
Peningkatan
konsumsi masyarakat selama bulan Ramadhan, saat separuh hari dilarang makan dan
minum, patut dipertanyakan. Seolah-olah, waktu makan dan minum yang lebih
singkat di malam hari dimanfaatkan guna "balas dendam" dengan makan
dan minum lebih banyak, mengompensasikan saat-saat lapar dan dahaga di siang
hari.
Padahal,
salah satu makna puasa Ramadhan justru untuk meningkatkan kemampuan
pengendalian diri, yang seharusnya dicerminkan dengan konsumsi yang melemah
atau setidaknya stabil. Sebaliknya, peningkatan konsumsi masyarakat
mengindikasikan kegagalan pengendalian diri selama berpuasa.
Geliat
ekonomi yang meningkat juga tampak dari aktivitas masyarakat menyambut Idul
Fitri. Bahkan, saat Ramadhan baru mulai, pusat perbelanjaan modern dan pasar
tradisional sudah diramaikan masyarakat yang berbelanja beragam kebutuhan
Lebaran. Menangkap animo berbelanja masyarakat yang meningkat, pusat
perbelanjaan tak jarang menunda jam tutupnya. Padahal, pada masa itu umat
Islam sesungguhnya didorong untuk lebih meningkatkan kualitas ketakwaan
dengan beragam kegiatan ibadah.
Selain
itu, kesibukan berbelanja, acara makan-makan, serta beragam aktivitas
sejenisnya terasa kurang sejalan dengan hikmah puasa agar lebih mampu
berempati kepada kelompok masyarakat yang tidak beruntung secara ekonomi.
Keriuhan masyarakat menyambut Idul Fitri lebih tampak bagai perayaan
kebebasan setelah sebulan penuh dikekang beragam larangan.
Godaan sebagai ujian
Apabila
ada yang kurang bergembira menyambut Ramadhan dan Idul Fitri, barangkali
adalah tempat hiburan seperti karaoke, sanggar dangdut, pertunjukan musik
hidup, restoran/kafe, tempat permainan biliar, tempat permainan ketangkasan
seperti dingdong, TV game, permainan ketangkasan berbau judi, dan panti
pijat. Sebab, banyak pemerintah daerah melarang tempat hiburan beroperasi
selama Ramadhan. Mereka harus mencari sumber penghidupan pengganti selama
sebulan tempat kerjanya ditutup. Lokalisasi juga diperintahkan tidak
beroperasi.
Kepatuhan
terhadap larangan operasi tempat hiburan tidak hanya diawasi aparat resmi
pemerintah, juga oleh organisasi-organisasi masyarakat yang, meskipun tanpa
kewenangan, rajin melakukan sweeping sehingga tidak jarang menimbulkan
konflik horizontal dengan kelompok masyarakat lain.
Sesungguhnya,
logika penutupan tempat hiburan itu tak mudah dipahami. Jika berpuasa
sepanjang Ramadhan dianggap sebagai latihan agar terbentuk pribadi yang lebih
mampu mengendalikan diri dari beragam godaan, maka penutupan tempat hiburan
yang dianggap mengganggu kekhusyukan ibadah puasa dapat diibaratkan orang
berlatih tinju melawan mitra tanding yang kedua belah tangannya diikat ke
belakang. Hasil latihan semacam itu tentu tak akan banyak membantu
meningkatkan kualitas diri menghadapi pertandingan sesungguhnya ketika
"masa latihan" usai.
Lagi
pula, jika tempat hiburan, panti pijat, dan lokalisasi dinilai tidak layak
beroperasi selama Ramadhan, apa yang membuatnya berubah menjadi sesuai dan
layak beroperasi kembali setelah Ramadhan usai? Apakah tempat-tempat itu
berhukum haram saat Ramadhan, tetapi berganti menjadi halal seusai Ramadhan?
Pengalaman
penulis beberapa tahun tinggal di negeri di mana suara azan tak pernah
terdengar sebagai penanda awal dan akhir puasa, di saat siang musim panas
terasa sangat terik dan panjang, orang-orang berbusana terbuka menggoda,
serta makanan dan minuman menantang selera, menjalani puasa di tengah kondisi
seperti itu justru terasa lebih syahdu. Godaan terasa lebih nyata. Latihan
pun terasa lebih paripurna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar