Ramadan dan Harga Daging
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
31 Mei 2016
ANOMALI kembali
terjadi pada pasar daging sapi. Sejak April 2016, harga daging merangkak
naik. Memasuki awal Mei 2016, harga daging sapi terseret oleh tren kenaikan
harga yang hampir merata di semua daerah. Bahkan, kenaikan harga juga terjadi
di daerah sentra produksi sapi. Harga daging sapi naik Rp5.000-Rp10 ribu per
kilogram. Akibatnya, harga daging berkisar Rp115 ribu-Rp120 ribu per
kilogram. Padahal, puasa masih sebulan lagi. Kini, setelah Ramadan akan
dijelang, harga mungkin kian tinggi.
Tidak ingin terjebak
rutinitas dan kelaziman kenaikan harga, tahun ini Presiden Jokowi ingin harga
kebutuhan pokok tidak naik. Sebaliknya, harga harus turun. "Kita ubah
rutinitas. Tahun ini kita jungkir balikkan harga (pangan) menjadi turun,
terutama daging sapi, beras, dan minyak goreng," kata Jokowi, 26 April
2016. Presiden ingin harga daging sapi tidak lebih Rp80 ribu per kg. Sebulan
berlalu, ketika tak ada tanda-tanda penurunan harga, Jokowi mengulangi
kembali perintahnya pada 23 Mei 2016. Mengapa harga daging sapi bertahan
tinggi?
Mungkinkah harga bisa ditekan?
Untuk menekan harga
daging sapi, pemerintah masih saja memakai cara-cara lama: men-sweeping
pedagang sapi dan feedloter (perusahaan penggemukan sapi), menerbitkan izin
impor buat BUMN (PT Berdikari), dan operasi pasar. Tidak ada terobosan baru.
Seolah-olah dengan semua itu masalah bisa selesai. Padahal, kondisi di
lapangan cukup rumit dan tidak mudah. Misalnya, realisasi izin impor daging
sapi kepada PT Berdikari memerlukan waktu. Sementara itu, kenaikan harga
memerlukan langkah segera. Akibatnya, operasi pasar tidak bisa segera
dilakukan. Belum lagi soal efektivitasnya.
Kenaikan harga daging
kali ini sulit dijelaskan dari faktor fundamental. Dari sisi pasokan,
pemerintah menjamin tambahan kuota pasokan. Dari sisi permintaan, tak ada
tekanan permintaan. Hampir bisa dipastikan, salah satu penyebab fluktuasi
harga daging sapi ialah inkonsistensi kebijakan pemerintah dan masalah
akurasi data. Untuk mengendalikan pasokan, pemerintah membatasi pasokan di
sisi hulu. Impor hanya untuk menutup kekurangan kebutuhan domestik. Namun, di
hilir perdagangan daging sapi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Logis apabila harga tak terkendali.
Akurasi data tidak
kalah pelik. Ketika kuota impor ditetapkan tentu didasarkan data yang akurat,
baik data kebutuhan maupun produksi dalam negeri. Jika data tidak akurat,
kebijakan yang diambil bukan hanya tidak akurat, melainkan juga bisa
menyengsarakan banyak orang dan bahkan membuka ruang terjadinya moral hazard.
Misalnya, kebutuhan daging pada 2015 sebesar 654 ribu ton setara 5,45 juta
ekor sapi. Populasi sapi yang ada berjumlah 15,5 juta ekor, terdiri dari 5,5
juta ekor sapi siap potong, 6 juta ekor sapi bakalan, dan 4 juta ekor sapi
indukan. Dari pasokan, seolah-olah jumlah sapi cukup.
Berbeda dengan di
Australia, lebih dari 98% ternak di Indonesia dikuasai 6,5 juta peternak
kecil dengan skala kepemilikan 2-3 ekor per peternak. Ternak dipelihara di
belakang rumah. Peternak memberi makan di sisa waktu setelah usaha pokoknya
selesai. Hanya kurang dari 2% sapi ternakan dikuasai perusahaan ternak besar
di Indonesia. Yang dipelihara pun sapi bakalan dari Australia.
Bagi peternak,
terutama di Jawa, ternak dianggap 'rojo brono'. Kosakata itu kira-kira sama
dengan tabungan atau aset yang likuid. Mereka tidak akan menjual ternak meski
harga di pasaran sedang tinggi. Mereka baru melepas ternak bila ada kebutuhan
mendesak. Dalam kondisi demikian, berbeda dengan usaha ternak skala
industrial, ternak rakyat tidak responsif terhadap pasar. Mengandaikan jumlah
sapi siap potong bisa memenuhi kebutuhan domestik tentu salah.
Untuk memastikan
pasokan, pemerintah telah melakukan deregulasi. Dalam Paket Kebijakan Ekonomi
IX, 27 Januari 2016, salah satu titik tekannya ialah relaksasi sumber pasokan
daging: dari semula berbasis negara jadi zona bebas penyakit mulut dan kaki.
Ini kelanjutan deregulasi dalam Paket Kebijakan Ekonomi I, 9 September 2015. Relaksasi
itu akan memperluas sumber pasokan daging impor. Jika ketersediaan daging
terjamin dan harganya terjangkau, itu tidak akan menciptakan instabilitas di
pasar. Harga daging yang stabil akan membantu pemerintah dalam mengendalikan
inflasi. Namun, paket deregulasi ini belum terasa dan terlihat dampaknya
dalam menekan harga daging.
Bahkan, efektivitas
deregulasi impor dalam mendorong dan memberikan insentif kepada peternak
untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kini dipertanyakan. Relaksasi
impor yang longgar belum tentu akan membawa manfaat bagi sektor peternakan
sapi. Hampir bisa dipastikan, relaksasi aturan ini akan berujung pada
liberalisasi impor daging sapi. Jika hal itu yang terjadi, pelonggaran bukan
hanya kontraproduktif, melainkan juga menjauhkan dari cita-cita mencapai
swasembada daging sapi.
Agar itu tidak
terjadi, pemerintah diharapkan segera mengatasi defisit induk sapi Indonesia
sekitar 1,3 juta ekor. Ada dua solusi: apakah diimpor atau mengembangkan
indukan berbasis sejumlah breed
lokal unggul? Cara pertama sifatnya instan dan hanya cocok untuk solusi
jangka pendek. Dalam jangka panjang, cara kedua merupakan pilihan terbaik.
Namun, untuk bisa
mengembangkan model breeding modern
sejumlah syarat harus dipenuhi, yakni tersedianya sejumlah infrastruktur
peternakan modern mulai industri pakan, pembesaran, pemotongan, cold storage untuk pelayuan hingga
distribusi.
Dalam jangka pendek, hampir bisa dipastikan mustahil
menekan harga daging di bawah Rp80 ribu per kg. Kebijakan dan instrumen yang
ada tidak memberikan peluang itu terjadi. Apa yang perlu dilakukan
pemerintah? Sebaiknya pemerintah memusatkan perhatian membenahi logistik dan
rantai pasokan dari peternak ke pasar.
Bukan hanya data dan
memperlancar jalur distribusi, yang tak kalah penting ialah administrasi di
rumah pemotongan hewan, feedloter
dan cold storage. Pada saat yang
sama, pemerintah dan KPPU bisa bekerja sama untuk memastikan tidak ada pelaku
dominan yang mengail di air keruh mengeruk keuntungan di tengah derita
konsumen yang tercekik harga tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar