Penambahan Hukuman Kebiri pada
Pelaku Kekerasan Seksual
Nur Rasyid ; Kepala
Departemen Urologi FKUI RSCM Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
31 Mei 2016
MEREBAKNYA kasus kekerasan seksual pada
anak di RI sangat meresahkan. Angka kekerasan seksual pada anak selalu
meningkat setiap tahun. Berdasarkan data KPAI, terdapat 2.178 kasus kekerasan
pada 2011, 3.512 kasus pada 2012, dan 5.066 kasus pada 2014. Selain itu,
Komnas PA mencatat 21.689.987 aduan pelanggaran hak anak selama 5 tahun
terakhir dan lebih dari setengahnya merupakan kasus kejahatan seksual.
Begitu daruratnya kasus kekerasan pada anak
mendorong pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No 1/2016 tentang perubahan kedua UU No 23/2002
tentang Perlindungan Anak. Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku
kejahatan seksual, yakni hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, hukuman
maksimal 20 tahun, dan minimal 10 tahun. Perppu juga mengatur tiga sanksi
tambahan, kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat
deteksi elektronik.
Kebiri
dalam perspektif medis
Kastrasi, atau lebih dikenal sebagai
kebiri, sebenarnya merupakan salah satu pilihan terapi dalam dunia
kedokteran, seperti pengobatan kanker prostat stadium lanjut. Tujuan terapi
itu menurunkan kadar hormon laki-laki, atau yang lebih dikenal dengan testosteron.
Pada laki-laki normal, biasanya kadar
testosteron akan berkurang seiring dengan semakin tuanya usia. Kondisi ini
biasa kita kenal dengan istilah andropause. Kadar testosteron yang rendah
pada seorang laki-laki dapat menyebabkan penurunan hasrat seksual, disfungsi
ereksi, dan rasa panas. Selain itu, juga dapat ditemukan ginekomastia
(pembesaran payudara), penurunan densitas tulang, dan perubahan komposisi
tubuh (peningkatan berat badan, penurunan massa otot, dan peningkatan kadar
lemak tubuh) yang dapat menyebabkan hipertensi, diabetes, atau penyakit
jantung. Namun, kondisi itu lebih jarang terjadi.
Saat ini kastrasi dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu kastrasi secara operatif dan kimia. Kastrasi secara operatif
dilakukan dengan mengambil isi kedua buah zakar/testis melalui prosedur
operasi tindakan dalam kedokteran disebut orchidectomy
subcapsular. Pengangkatan jaringan testis yang memproduksi hormon
testosteron dan spermatozoa (bibit anak) dengan tetap meninggalkan kapsul
pembungkus testis membuat ukuran testis mengecil dan fungsi normal testis
akan hilang secara permanen.
Kastrasi kimia menggunakan umumnya
obat-obatan LHRH agonis atau antagonis yang akan membuat testis tidak
memproduksi hormon testosteron dan spermatozoa. Dengan demikian, itu menurunkan
kadar testosteron yang akan menyebabkan hilangnya nafsu seksual (libido) dan
kemampuan ereksi sehingga tidak akan mampu melakukan kekerasan seksual
menggunakan alat kelamin. Obat-obatan ini dapat disuntikkan setiap 3-12 bulan
sekali. Namun, saat ini hanya obat 3 bulan sekali yang sudah diberikan izin
penjualan oleh Badan POM di Indonesia.
Kedua cara ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kastrasi kimia lebih baik apabila kita melihat sisi
reversibilitasnya. Artinya fungsi seksual dan hasrat seksual dapat kembali
seperti semula setelah obat dihentikan. Namun, studi terbaru memperlihatkan
efek samping pada kastrasi kimia lebih sering terjadi jika dibandingkan
dengan kastrasi operatif pada pasien kanker prostat.
Kastrasi secara operatif lebih murah sehingga
akan lebih menguntungkan secara ekonomi bagi pemerintah dalam menganggarkan
pelaksanaan kastrasi. Kastrasi kimiawi menggunakan obat suntik yang tersedia
di Indonesia yang diulang setiap 3 bulan sekali, yaitu Zoladex (goserelin
acetate) dan Tapros (leuproline acetate). Zoladex dan Tapros dijual dengan
harga sekitar Rp4,5 juta. Artinya, untuk setiap pelaku kekerasan seksual yang
akan diberi kastrasi kimia, pemerintah memerlukan dana Rp36 juta per orang (2
tahun) sesuai dengan pidana tambahan maksimal untuk kastrasi kimia.
Penerapan di negara lain
Beberapa negara sudah menerapkan kastrasi
sebagai hukuman bagi pelaku kekerasan, terutama kekerasan seksual. Di Asia,
Korea Selatan ialah negara pertama yang menerapkan hukuman kastrasi tersebut.
India, Inggris, Jerman, negara-negara Skandinavia, dan beberapa negara bagian
di AS juga telah menerapkan kastrasi sebagai hukuman, baik kastrasi kimia
maupun kastrasi secara operatif. Namun, di beberapa negara, kastrasi bukan
suatu hukuman yang bersifat memaksa, melainkan dapat dipilih pelaku. Dengan
memilih kastrasi, hukuman pelaku dapat dikurangi.
Pemberatan hukuman di Indonesia berupa
kastrasi kimiawi sebaiknya disesuaikan dengan kondisi. Apabila pelaku
melakukan kekerasan seksual terhadap lain jenis kelamin, kastrasi kimiawi
sebaiknya dilakukan setelah ia dibebaskan dari penjara, bersamaan pengawasan
mental pelaku.
Namun, apabila kekerasan seksual dilakukan kepada sesama
jenis, kastrasi kimiawi dilakukan bersamaan dan sesudah dibebaskan dalam
jangka waktu yang sudah ditentukan.
Menurut saya, keputusan kastrasi kimia
menjadi salah satu hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual sudah tepat
karena kekerasan seksual sudah siaga I. Alasan ini didasarkan pada banyaknya
studi yang menunjukkan kastrasi dapat menurunkan angka kekerasan seksual.
Bahkan, studi di negara-negara Skandinavia menunjukkan kastrasi dapat
menurunkan angka kekerasan berulang menjadi 5% dari 40%.
Selain itu, studi gabungan yang dilakukan
Losel dan Schmucker menunjukkan kastrasi operasi dan kimia memiliki efek yang
lebih besar terhadap pelaku penyerangan seksual daripada intervensi
psikososial. Namun, diperlukan keterlibatan dokter spesialis kesehatan jiwa
sebagai kriteria penyaringan pelaku untuk diberi kebiri kimia agar hukuman
efisien.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki
kepribadian antisosial dan merupakan pelaku pemerkosaan berulang apakah
memerlukan kebiri kimiawi? Berdasarkan Perppu No 1/2016, pelaku kasus itu
dapat diberi kebiri kimia sebagai hukuman tambahan karena berisiko tinggi melakukan
penyerangan berulang apabila tidak diobati. Namun, studi memperlihatkan,
karena kepribadian antisosial pelaku, kebiri kimia tidak memiliki efek
terhadap orang itu.
Lain halnya apabila ada laki-laki berusia
55 tahun yang melakukan kekerasan seksual pada anak dan itu merupakan pertama
kalinya. Berdasarkan Perppu No 1/2016, pelaku di atas tidak masuk kriteria
pelaku yang dapat diberi hukuman kebiri kimia. Berdasarkan studi, pelaku itu
memiliki risiko penyerangan berulang yang rendah apabila tidak diobati.
Selain itu, permasalahan kasus kekerasan seksual ini perlu diselesaikan
secara komprehensif, tidak hanya melalui hukuman, tapi juga pencegahan,
seperti pendidikan seksual dan perilaku serta mengembalikan ketaatan pada
agama secara konsisten.
Pendapat beberapa pengurus IDI Pusat yang
menganggap dokter melakukan penyuntikan untuk kastrasi kimia bertentangan
dengan kode etik masih bisa diperdebatkan karena memberikan pengobatan pada
pasien gangguan jiwa yang agresif akan menyebabkan perubahan perilaku menjadi
pasif. Namun, demi keamanan orang lain agar tidak terancam dapat dibenarkan
dan dilakukan, menghilangkan perilaku agresif predator kekerasan seksual yang
disertai terapi rehabilitasi dapat dibenarkan. Karena itu, saya yakin banyak
juga dokter yang mempunyai keyakinan sama bahwa kastrasi kimia untuk indikasi
yang tepat tidak bertentangan dengan etika kedokteran sendiri.
Saya berharap pemerintah memiliki komitmen
besar terhadap keputusan yang telah dikeluarkan. Pemerintah harus segera
membuat pedoman pelaksanaan kastrasi kimia yang mencakup kriteria pelaku yang
mendapatkan kastrasi kimia serta mengundang pihak yang dapat berperan,
seperti spesialis kesehatan jiwa. Pemerintah juga harus menyediakan obat
suntik 12 bulan sekali yang digunakan sebagai kastrasi kimia karena lebih
memudahkan dan mengurangi beban ekonomi.
Pemerintah pun harus melakukan
program pemantauan dan pencegahan efek samping kepada setiap pelaku kekerasan
seksual yang menerima kastrasi kimia karena ada potensi efek samping yang
berat, walaupun hal itu jarang terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar