Puasa, Lebaran, dan Ajaran Baru
Razali Ritonga ;
Kepala Pusdiklat BPS RI
|
MEDIA INDONESIA,
07 Juni 2016
MENINGKATNYA
harga pangan di bulan puasa dan menjelang Lebaran tampaknya menjadi fenomena
rutin tahunan di Tanah Air. Kenaikan harga pangan itu menyebabkan beban
pengeluaran bertambah sehingga berpotensi melemahkan daya beli masyarakat,
terutama bagi penduduk miskin dan berpendapatan rendah. Lebih jauh, kenaikan
harga pangan akan menyebabkan penduduk hampir miskin (near poor) rentan terjerembab jatuh miskin. Sementara bagi
penduduk miskin, kenaikan harga pangan akan memperparah derajat
kemiskinannya.
Fakta
itu sekaligus mengisyaratkan bahwa pemerintah perlu melakukan respons
secepatnya agar penduduk yang tidak miskin menjadi miskin dan bagi penduduk
miskin derajat kemiskinannya tidak semakin bertambah parah. Secara faktual,
menurunnya daya beli akibat kenaikan harga pangan di bulan puasa dan
menjelang Lebaran akan bertambah parah manakala ada aspek lain yang turut
membebaninya. Pada tahun ini, misalnya, puasa dan Lebaran hampir bersamaan
waktunya dengan tahun ajaran baru.
Coping strategy
Dengan
beban pengeluaran yang kian bertambah berat, penduduk miskin dan
berpendapatan rendah umumnya akan melakukan coping strategy guna mempertahankan
hidup. Upaya yang kerap dilakukan ialah berutang dan menjual barang berharga.
Dengan berutang, penduduk miskin akan semakin sulit keluar dari kemiskinan,
apalagi sumber berutang dari rentenir. Demikian pula dengan menjual barang
berharga produktif yang biasa digunakan untuk melakukan usaha, seperti lahan
pertanian, dan tempat usaha, akan mengakibatkan keparahan kemiskinan kian
bertambah.
Upaya
lain yang juga kerap dilakukan penduduk miskin dan berpendapatan rendah ialah
mengubah pola konsumsi agar terjangkau, yakni dengan menurunkan kualitas
pangan yang dikonsumsi. Bahkan, tak jarang selain menurunkan kualitas pangan
juga mengurangi takaran pangan yang dikonsumsi. Fenomena ini akan semakin
menurunkan kualitas gizi, terutama pada anak-anak sehingga akan kian menambah
kasus anak kekurangan gizi di Tanah Air.
Selain
berutang dan mengubah pola konsumsi pangan, untuk mempertahankan hidup,
penduduk miskin dan berpendapatan rendah juga kerap mengorbankan pendidikan
anak sehingga terpaksa putus sekolah dan tidak bersekolah. Kasus ekstrem
turunnya partisipasi sekolah pernah terjadi saat krisis ekonomi 1997,
terutama pada anak usia 13-15 tahun. Berdasarkan hasil Susenas 1998,
diperoleh keterangan partisipasi sekolah anak usia 13-15 tahun turun dari
77,3% sebelum krisis menjadi 75,8% setelah krisis.
Celakanya,
tidak sedikit dari mereka yang putus sekolah dan tidak bersekolah itu
diberdayakan dengan bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Dari hasil
Susenas 1998 itu juga diperoleh data bahwa sekitar 20,10% penduduk miskin
menyuruh anaknya bekerja guna membantu orangtuanya memperoleh penghasilan.
Upaya penanggulangan
Atas
dasar itu, untuk mencegah meningkatnya penduduk miskin dan keparahan
kemiskinan, serta meningkatnya anak-anak yang tidak bersekolah dan putus sekolah,
diperlukan upaya sedikitnya dua hal.
Upaya
pertama ialah pengendalian harga agar kembali ke harga normal sehingga daya
beli masyarakat tidak mengalami penurunan. Upaya ini mencakup kecukupan
pasokan pangan, kelancaran distribusi pangan, dan tata niaga pangan.
Dalam
konteks tata niaga pangan, sebenarnya pemerintah telah memiliki instrumen
berupa pengendalian harga, yakni UU No 7 Tahun 2014. Berdasarkan
undang-undang itu, Kementerian Perdagangan memiliki kewenangan untuk
mengendalikan ketersediaan bahan kebutuhan pokok dan pengendalian harga.
Upaya
kedua ialah memberlakukan bantuan bersifat ad hoc atau kondisional. Bantuan
ad hoc itu selama ini diberlakukan untuk meningkatkan daya beli akibat krisis
atau kebijakan tidak populis, seperti kenaikan harga BBM. Namun, bantuan
belum pernah diberlakukan atas kenaikan harga yang bersifat ad hoc, seperti
puasa dan Lebaran, serta kebutuhan menghadapi ajaran baru.
Bantuan
kondisional itu barangkali bisa diintegrasikan dengan bantuan sosial. Langkah
ini sekaligus memperjelas alokasi penggunaan anggaran bantuan sosial yang
kini cukup rawan diselewengkan, terbukti telah menyeret sejumlah kepala
daerah ke pengadilan.
Patut
dicatat, dalam menghadapi situasi rawan menurunnya daya beli jelang puasa,
Lebaran dan ajaran baru, nasib penduduk miskin dan berpendapatan rendah tidak
seberuntung nasib aparatur sipil negara (ASN). Sebab, di samping telah
memperoleh gaji secara rutin setiap bulannya, ASN juga memperoleh bantuan
pendidikan dan Lebaran berupa gaji ke-13 dan ke-14.
Selain
melakukan pengendalian harga atau bantuan kondisional, pemerintah perlu
secara berkesinambungan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya
bagi penduduk miskin dan berpendapatan rendah.
Hal
ini mengingat penurunan angka kemiskinan belakangan ini kian melambat. Bahkan,
pada periode September 2014-Maret 2015 angka kemiskinan naik sebanyak 860
ribu orang, yakni dari 10,96% pada September 2014 menjadi 11,22% pada Maret
2015.
Fakta
itu sekaligus mengisyaratkan bahwa dengan adanya fenomena meningkatnya harga
pangan di bulan puasa, dan Lebaran, serta tambahan pengeluaran untuk anak
sekolah pada ajaran baru, upaya penurunan angka kemiskinan akan kian
bertambah berat.
Maka,
untuk itu diperlukan upaya mempertahankan daya beli masyarakat, antara lain,
melalui upaya pengendalian harga dan memberlakukan bantuan kondisional. Dengan
upaya itu, target penurunan angka kemiskinan yang dicanangkan pemerintah dari
10,96% pada September 2014 menjadi 7-8% pada September 2019 diharapkan tidak
mengalami hambatan.
Bahkan,
upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat akan mendongkrak konsumsi
masyarakat sehingga berpotensi menurunkan ketimpangan pendapatan dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar