Benturan Antar-keyakinan di Indonesia
Ahmad Suaedy ;
Wakil Ketua Lakpesdam PBNU;
Anggota Ombudsman RI
|
KOMPAS, 10 Juni 2016
Banyak
orang tidak menyadari sesungguhnya ada Wahabisme ala Indonesia. Setidaknya ia
telah lahir sejak awal abad ke-20, dan berbenturan dengan Wahabisme yang
lahir di Arab Saudi.
Wahabisme
Indonesia dinisbatkan kepada KH Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri
Nahdlatul Ulama (NU) bersama dengan KH Hasyim Asy'ari.
Boleh
jadi karena kelemahan dalam tradisi intelektual di kalangan santri dan
pesantren sendiri, mereka tidak tercatat secara tertulis dalam sejarah
sebagai perintis ide nasionalisme di awal-awal abad ke-20. Namun, jika
menengok naskah deklarasi atau Piagam Nahdlatul Wathon kalangan santri yang
bertitel 1916 (Munim DZ, 2014), maka kalangan santri telah mendeklarasikan
cinta Tanah Air berhadapan dengan penjajah Belanda untuk menuju kemerdekaan
ketika itu. Piagam tersebut tidak lain merupakan reformulasi dan ringkasan
dari syair ciptaan KH Wahab Chasbullah jauh sebelumnya yang berjudul "Ya
Lal Wathon", yang artinya "Wahai Bangsa (Indonesia)".
Beberapa
bait dari syair itu perlu dikutip di sini, Ya lal wathon ya lal wathon ya lal
wathon/hubbul wathon minal iman/wala takun minal hirman/inhadlu alal wathon
(Wahai saudara sebangsa/cinta tanah air adalah bagian dari iman/jangan
halangkan nasibmu/bangkitlah hai bangsaku).
Jelaslah
bahwa syair itu mendahului deklarasi piagam kebangsaan. Kalangan santri
(ketika itu organisasi NU belum berdiri secara resmi) telah memiliki ide
tentang nasionalisme Indonesia yang harus diperjuangkan. Ide ini jelas
berbeda dengan ide nasionalisme Pan-Arabisme maupun Pan-Islamisme yang
berkembang di Timur Tengah (Kahin, 1995), misalnya. Lebih-lebih dengan
Wahabisme yang dinisbatkan pada Muhmmad Ibn Abdul Wahab (wafat 1206 H/1793
M), pendiri aliran Wahabi di Arab Saudi. Dua tahun sebelumnya, aliran itu
menundukkan Hijaz, wilayah Saudi, dan melakukan pembersihan terhadap tradisi
Islam yang hidup dan penghancuran terhadap berbagai warisan sejarah Islam
dengan alasan pemurnian.
Wahabisme
Arab Saudi bukan saja berbasis pada pemurnian ajaran Islam dengan
anti-tradisi dan intelektual, juga menjadi basis gerakan anti-nasionalisme
atau kebangsaan modern. Justru berdirinya NU sebagai organisasi secara resmi
dipicu oleh gerakan Wahabisme internasional dalam sebuah Kongres Islam
internasional tahun 1926 yang diinisiasi oleh Raja Saudi. Kalangan santri
tidak diundang dan diikutkan dalam kongres itu karena dianggap bukan bagian
dari Islam versi mereka. Hanya kelompok yang dianggap sepaham dengan mereka
yang diundang mewakili Islam kawasan Hindia-Belanda.
KH
Wahab Chasbullah dengan restu KH Hasyim Asy'ari ketika itu memelopori protes
dengan membentuk Komite Hijaz untuk menemui Raja Saudi, inisiator pertemuan
internasional tersebut, dengan tiga tuntutan. Yaitu, (1) tidak menghancurkan
makam Nabi Muhammad SAW dan warisan kebudayaan Islam; (2) melindungi amalan
agama yang telah menjadi tradisi dan paham klasik yang saat itu menjadi
target serangan gerakan Wahabi; (3) perbaikan pelayanan ibadah haji secara
tidak diskriminatif.
Aswaja dan nasionalisme
Pandangan
Wahab Chasbullah tentang Islam, nasionalisme, dan dinamika politik
internasional itulah yang kemudian jadi basis dan mendasari seluruh dinamika
pemikiran dan gerakan NU dalam menghadapi perkembangan dan tantangan sejarah
berikutnya. Sebelum lahirnya Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dari Belanda dan Inggris yang membonceng Sekutu pada peristiwa 10
November 1945 di Surabaya, yang mengilhami lahirnya Hari Pahlawan, NU telah
mendeklarasikan Hindia-Belanda-yang kemudian jadi wilayah Republik
Indonesia-sebagai negara Islam dengan segala tradisi, budaya, dan
pluralitasnya pada Muktamar 1935 di Banjarmasin. Sikap ini diulang lagi pada
Muktamar 1938 di Menes, Jawa Barat.
Jelaslah
bahwa ide nasionalisme dan rekognisi akan eksistensi Indonesia yang bineka
dan plural bagi kalangan NU tak lahir setelah kemerdekaan, tapi jauh
sebelumnya. Setidaknya di awal abad ke-20 bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme
di kelompok-kelompok lain. Dinamika tersebut ternyata bukan hanya mendasari
dalam ideologi dan politik, juga dalam teologi.
Sejauh
penulis tahu, hanya NU kelompok Islam di seluruh dunia yang mengakomodasi
empat mazhab fikih klasik (Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali) sekaligus,
meskipun dalam amalan individu diharuskan untuk memilih salah satu dan
menghindari eklektisisme. NU juga mengakomodasi aliran-aliran pemikiran
klasik, termasuk di dalamnya tasawuf dan teologi atau tauhid Islam. Basis dari
akomodasi ini adalah metodologi Ahlussunnah wal Jamaah atau Aswaja.
Aswaja
dalam versi NU adalah sebuah metodologi dan produk intelektual yang
memberikan solusi dan mengeluarkan umat Islam dari konflik yang mendalam dan
berkepanjangan, dengan melibatkan kekuasaan otoritarian untuk melegitimasi
aliran dan paham tertentu dengan cara menindas dan menghabisi paham dan
kelompok lain. Abu Hasan Al-Asyari (wafat 324 H/935 M) dan Abu Mansur Al
Maturidi (wafat 333 H/944 M) adalah dua intelektual di balik lahirnya
metodologi Aswaja tersebut.
Abus
Hasan Al Asy'ari yang semula pengikut Mu'tazilah tampil memberikan solusi
intelektual dan metodologi baru dengan menghindari legitimasi dari kekuasaan
tertentu dan membebaskan dari penindasan. Dan, dalam waktu yang sama, memberikan
sanad atau rujukan yang kuat pada Al Quran dan Sunah di bawah kenabian
Muhammad SAW. Salah satu ciri Aswaja model ini adalah penghargaan yang tinggi
terhadap konteks dan dinamika tradisi di dalam ide maupun praktik Islam serta
sumber Islam klasik. Jika bidah bagi kalangan puritan seluruhnya dianggap
sesat dan diharamkan, maka bagi Aswaja, bidah ada yang dlolalah (sesat dan
merugikan Islam karena itu haram) dan ada yang hasanah (baik) yang perlu
terus dipelihara dan dikembangkan. Dalam hal ini, nasionalisme modern adalah
bidah hasanah.
Islam dan Pancasila
Dalam
argumen penerimaan Pancasila sebagai asas NU, 1984, Rois Am PBNU KH Ahmad
Siddiq menyatakan, pengakuan Indonesia sebagai negara kesatuan dan Pancasila
sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia oleh NU adalah tanpa
syarat dan didasarkan pada teologi yang jadi pegangan NU. Karena itu, ide
tentang Islam Nusantara di dalam NU, misalnya, bukan hanya terbatas dinamika
ideologi dan nasionalisme yang sering dipandang sekuler, melainkan melibatkan
teologi. Dengan kata lain, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa NU adalah
Islam Indonesia atau Islam Nusantara itu sendiri, tanpa mengabaikan
penghargaan pada kelompok-kelompok Islam yang lain.
Ketika
dilema masih membuncah di kalangan gerakan-gerakan agama, bukan hanya Islam,
di Indonesia tentang asas tunggal Pancasila, NU segera memberikan solusi
dengan mengubah AD/ART-nya: menempatkan Islam sebagai akidah dan Pancasila
sebagai asas (1984), yang kemudian terkenal dengan Khittah NU 1926. Tidak heran
jika ketika Pancasila dan eksistensi negara RI diganggu oleh kelompok
tertentu, NU akan selalu tergugah tampil membela dengan mendahului
pemerintah, dan bahkan dilakukan oleh generasi muda yang lahir sangat
belakangan.
Kini
pertarungan antar-Wahabisme itu-pertarungan harus dan selayaknya tidak
diartikan sebagai kekerasan, apalagi fisik, melainkan diskursus dan
gerakan-menapaki konteks internasional. Hasil dari International Summit of
Moderate Islamic Leaders (ISOMIL), misalnya, yang diinisiasi oleh PBNU
beberapa waktu lalu di Jakarta, menawarkan diskursus Islam yang moderat dan
damai dalam lingkup internasional. Event itu telah mengilhami banyak delegasi
dari negara-negara lain berkeinginan untuk mendirikan NU versi negara-negara
tersebut. Agenda berikutnya, dengan demikian, adalah bagaimana menyatukan
mereka dalam satu barisan untuk merealisasikan agenda perdamaian dan
kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar