Ketika Cip Lumpuh
Reza Indragiri Amriel ;
Ketua Bidang Pemenuhan Hak
Anak, Komnas Anak; Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
|
MEDIA INDONESIA,
07 Juni 2016
PERPPU
Nomor 1 Tahun 2016 patut diapresiasi. Semangat penjatuhan sanksi yang
diperberat bagi predator seksual, yang terkandung dalam Perppu tersebut,
sudah satu tarikan napas dengan kebencian masyarakat luas yang kian menggumpal
ingin menimpakan rasa sakit berlipat ganda kepada manusia-manusia durjana
yang sudah memangsa anak-anak Indonesia.
Sanksi
berupa kebiri kimiawi bagi predator telah gencar dikuliti dari berbagai sisi.
Sesudah melalui episode pro kontra, kastrasi hormal tercantum sebagai salah
satu bentuk hukuman pemberatan.
Selain
kebiri kimiawi, Perppu juga memuat ancaman hukuman lainnya, yakni
pemasangan cip pada tubuh predator. Pemasangan alat bantu monitor ke dalam
tubuh pelaku bertujuan untuk memastikan bahwa pergerakan predator selalu
teramati. Karena pelaku tahu bahwa ia dalam kondisi terpantau terus-menerus,
ia diyakini tidak akan mengulangi aksi kejahatan seksualnya.
Kendati
pengawasan sedemikian rupa diharapkan berpengaruh positif bagi menyempitnya
ruang gerak pelaku, terdapat beberapa persoalan yang perlu diantisipasi
kepolisian selaku lembaga yang dimandati untuk memantau gerak-gerik pelaku
yang telah dipasangi cip.
Pertama,
jenis kejahatan yang dipantau. Sekian banyak studi menemukan bahwa aksi
pengulangan kejahatan yang dilakukan predator terhadap anak tidak melulu
dalam bentuk kejahatan seksual. Di antara para pelaku yang kemudian menjadi
residivis, kebanyakan aksi kejahatan mereka berikutnya justru tidak berbentuk
serangan seksual semisal perkosaan maupun pencabulan terhadap anak. Namun,
kejahatan nonseksual tersebut (tampaknya) bukan merupakan jenis kejahatan
yang juga ingin dipantau lewat penanaman cip di tubuh pelaku.
Akibatnya,
meskipun cip berfungsi baik sehingga mobilitas pelaku tetap termonitor, tapi
pemantauan tersebut tidak akan berujung pada penangkapan atas diri pelaku. Kalau
pun pelaku ditangkap atas sangkaan melakukan kejahatan nonseksual,
penangkapan itu sesungguhnya tidak bersangkutpaut dengan alasan pemasangancip
itu sendiri, yaitu secara khusus mencegah berulangnya aksi pemangsaan seksual
si pelaku.
Kedua,
dalam situasi ketika predator mengulangi perbuatan jahatnya, tidak mutlak
bahwa perilaku jahat tersebut pasti disertai dengan serangan atau bahkan
'sekadar' sentuhan ke tubuh korban. Dalam transaksi jual-beli video porno
antara penjual dewasa dan pembeli kanak-kanak, misalnya.
Kontak
fisik antara pelaku dan korban tidak terjadi, betapa pun kejahatan telah
berlangsung.
Apalagi
manakala transaksi tersebut dilakukan via online; walau si pelaku terpantau
berkat cip di tubuhnya, cip tersebut tidak diatur untuk mengirim informasi
spesifik tentang modus kejahatan yang ia lakukan. Kecepatan reaksi polisi pun
tidak terdorong meningkat, karena di layar monitor pengawas, pelaku tidak
terdeteksi berada di kawasan yang secara tipikal dianggap sebagai zona
pemangsaan predator seksual. Apabila itu yang terjadi, sungguh ironis. Pelaku
dipastikan berada di lokasi tertentu, kejahatan terhadap anak tengah ia
lancarkan, namun sistem peringatan dini 'lumpuh' karena polisi tidak
menangkap gelagat mencurigakan dari diri pelaku.
Kerumitan
berikutnya muncul ketika korban tidak melapor. Gambaran situasi yang
berlangsung, misalnya, adalah cip mengirim sinyal bahwa pelaku berada di satu
lokasi yang sama dengan seorang atau pun beberapa anak. Selama sekian menit,
cip terus-menerus menginformasikan posisi si pelaku, tapi bukan data konkret
tentang apakah aksi pencabulan telah terjadi.
Tambahan
lagi, meskipun tindakan pencabulan berlangsung, korban kanak-kanak tersebut
maupun keluarganya tidak melapor karena menganggap aksi pelaku bukan
kejahatan serius. Akibatnya, cip menjadi alat yang sia-sia; dia berfungsi
normal, tapi tidak memantik petugas pengawas untuk mengambil langkah guna
mencegah atau menghentikan aksi kejahatan seksual tersebut.
Persoalan
ketiga di atas tidak akan terjadi seandainya terhadap pelaku dikenakan
larangan menyeluruh untuk berada di lokasi yang sama dengan anak-anak. Tapi
faktanya, perppu dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak satu pun yang
mengatur larangan sedemikian rupa.
Keempat,
jangkauan sistem radar polisi untuk menemukan keberadaan predator. Ketika
predator tidak dikenai pembatasan ruang mobilitas, ia bisa bergerak
sejauh-jauhnya hingga ke area yang tidak lagi terlacak oleh radar. Cip,
kendati masih bekerja mengirim sinyal, sistem radar tidak lagi dapat
menjangkaunya. Petugas kehilangan jejak, pelaku bebas melancarkan
kebiadabannya.
Kelima,
sejumlah studi menyimpulkan bahwa meskipun kejahatan seksual terhadap anak
amatsangat mengerikan, namun tingkat residivisme predator seksual ternyata
tidak setinggi seperti yang didramatisasi pemberitaan. Tingkat pengulangan
kejahatan jenis ini lebih rendah ketimbang kejahatan yang disertai dengan
kekerasan nonseksual. Kritik pun datang: karena residivismenya tak setinggi
yang dibayangkan, mengapa pengenaan cip justru diprioritaskan pada pelaku
tindak kejahatan yang satu ini.
Terakhir,
cip dipasang selama beberapa tahun setelah masa hukuman pokok selesai. Tanpa
chip, keberadaan predator setelah sekian tahun tersebut tidak lagi
termonitor. Ini jelas sangat berisiko. Pasalnya, berdasarkan penelitian
diketahui bahwa kecenderungan residivisme predator seksual justru meninggi
seiring dengan pertambahan usianya.
Jadi,
anggaplah selama dua tahun, predator terpantau berkelakuan baik.
Tapi
setelah dua tahun, dia mulai menjelma sebagai monster yang lebih buas, dan
sang pawang sudah tidak lagi mengawasinya. Anak-anak, dengan demikian, berada
di bawah ancaman teror si predator dengan tingkat kebahayaan yang berlipat
ganda.
Kerumitan-kerumitan
di atas bertali-temali dengan pesimisme yang masih begitu kental akan
efektivitas rehabilitasi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Alhasil,
ketimbang lagi-lagi memusingkan kepala untuk memikirkan perlakuan bagi para
predator, lebih baik hukum mati mereka agar lebih intens kita memikirkan
korban. Allahua'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar