Pembelaan Logistik Indonesia
Effnu Subiyanto ;
Doktor Ekonomi Logistik Unair, Surabaya
|
MEDIA INDONESIA,
10 Juni 2016
DUA
kali periode penilaian logistic
performance index (LPI) pada 2012 dan 2014 menempatkan peringkat logistik
Indonesia tidak menyenangkan. Jika dibandingkan dengan negara sekawasan
terdekat, publikasi media selalu meletakkan logistik negeri ini pada angka
terburuk dan peringkat paling rendah. Peringkat ke-53 dari 160 negara yang
disurvei tentu tidak membahagiakan bagi pemerintah.
Beranjak
dari skor tersebut, saya melakukan eksplorasi tentang logistik Indonesia dan
sekaligus langsung menguji pada sistem logistik paling berat, yaitu
investasi. Kekhususan investasi ialah mentransportasikan seluruh barang modal
baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, dan variasinya tentu saja
heterogen. Barang investasi tentu bukan barang dalam kemasan rapi, homogen,
berat seragam, melainkan barang dalam bentuk tidak beraturan, ukuran besar,
ukuran lebar, ukuran tinggi, dan tentu saja luar biasa berat.
Objek
yang sengaja saya pilih ialah investasi semen karena karakteristiknya khusus
dengan barang modal yang sangat berat dari seluruh dunia. Barangkali di dunia
ini investasi terberat ialah investasi semen dari segi dimensi
mesin-mesinnya. Setara dengan pabrik semen ialah pabrik baja dan PLTU karena
saya pernah melihat satu bagian mesin proyek PLTU yang tidak bisa diurai
mencapai 600 ton, yaitu generator.
Penelitian
saya ini langsung menguji infrastruktur ditujukan untuk investasi terberat,
maka mengurai logistik barang-barang produk jadi tentu lebih mudah.
Kesimpulan saya, logistik Indonesia dengan infrastrukturnya relatif, tidak
terlalu buruk. Namun, tentu saja dengan catatan dikendalikan operator yang
memahami logistik dan bersedia turun ke lapangan.
Biaya logistik
Mengurai
dan memahami logistik sebetulnya tidak rumit. Jadi, sangat disayangkan jika
investor yang hendak berinvestasi di Indonesia mengalami fobia lebih dahulu
karena kecemasan logistik.
Saking
cemasnya dengan sektor yang dulu disebut hantu investasi ini, pemilik modal
memberikan cek kosong dalam bentuk budgeting sampai dengan 27% dari biaya
investasi. Angka tersebut diambil dari laporan Bank Dunia (2014), dan tentu
saja sangat berat untuk investasi.
Ironisnya,
dengan mengalokasikan biaya sedemikian besar, jaminan kelancaran barang modal
tidak dapat diperoleh. Investor tetap waswas dengan risiko logistik,
persoalan di kepabeanan yang marak dengan black campaign mengenai dwelling time dan problem biaya non-budgeter disebabkan harus berhubungan
dengan banyaknya instansi yang harus dilalui.
Penelitian
saya menggunakan seluruh populasi 8 investasi semen di seluruh Indonesia
menempatkan biaya total logistik ternyata tidak sebesar hasil studi Bank
Dunia. Biaya logistik 8,989% dari nilai investasi tentu saja sangat
mengagetkan saya dan rasa percaya diri akan infrastruktur Indonesia menguat
kembali, dan saya dengan ini menolak kajian Bank Dunia tersebut.
Betapa
pun biaya logistik memang harus konsisten ditekan dalam rangka menaikkan
reputasi iklim investasi Indonesia. Dari infrastruktur logistik luar negeri
dan infrastruktur logistik dalam negeri memang meletakkan infrastruktur dalam
negeri Indonesia pada peringkat serius.
Kompensasi
infrastruktur dalam negeri yang harus ditanggung investor mencapai 25,403% dari
biaya logistik dalam negeri agar investasi dapat dilangsungkan.
Infrastruktur
logistik dalam negeri yang minimalis tersebut pun dapat diterima akal karena
kondisi geografis Indonesia yang menjadi negara kepulauan. Diperlukan banyak
kapal dengan segera karena mendesak.
Kapal-kapal
jenis barge, landing ship tank pun
lebih dapat difungsikan karena tidak memerlukan pelabuhan dengan kedalaman
ekstra. Alat logistik itu dapat sandar pada jetty, bahkan pelabuhan darurat dengan hanya sand bag.
Jika
menunggu pelabuhan dibangun dan kapal besar, mengurai logistik tentu semakin
lama diperoleh dan tentu saja akan mengerek kenaikan harga-harga pada wilayah
kepulauan terluar.
Tidak
mengherankan jika baru 6 kapal dalam program tol laut dioperasikan di
Indonesia dampaknya ialah harga kedelai menurun 14%, minyak goreng 20%,
daging ayam turun 35%. Konkret tol laut ialah sebagian jawaban untuk mengurai
masalah logistik dan strategi pemerintah pada track yang benar.
Kontribusi pemerintah
Pemerintah
barangkali memang sudah mafhum akan kondisi keterbatasan infrastruktur
logistik dan sejumlah insentif diberikan untuk kompensasi hal ini. Barangkali
hanya di Indonesia yang mengadopsi cash
back biaya investasi seperti dalam PP Nomor 1/2007, kemudian diubah menjadi
PP 62/2008, diubah lagi menjadi PP 52/2011, dan terakhir diubah menjadi PP
18/2015. Dalam keterbatasan melengkapi infrastruktur, pemerintah memberikan trade-off dan ini ialah bentuk
tanggung jawab yang betapa pun harus diapresiasi investor.
Penelitian
saya, kontribusi pemerintah dalam bentuk insentif investasi ialah 6,515% dari
nilai investasi total diberikan cash
back kepada investor dan jumlah ini tentu tidak sedikit.
Harapannya
ialah partisipasi membangun infrastruktur pada daerah-daerah terluar dan
terujung negara ini, memelihara kehidupan sosial, dan menjadi pusat bisnis
yang nantinya bersahabat dan bersinergi dengan lingkungan.
Tugas
pemerintah memang sangat berat di negara ini melihat luas Indonesia demikian
besar mencapai 5.180.053 kilometer persegi dengan 17.504 pulau, khusus luas
perairan mencapai 5,8 juta kilometer persegi dengan panjang garis pantai
104.000 kilometer.
Kondisi
geografis ini tentu tidak sepadan dengan rencana pembelian dan pembangunan
609 kapal baru, 46 kapal peti kemas kapasitas 1.000 TEUs, 37 unit kapal 3.000
TEUs, 26 kapal barang perintis setara 208 TEUs, dan 500 kapal pelayaran
rakyat. Partisipasi investor betapa pun sangat dibutuhkan karena melakukan
investasi dan pekerjaan di seluruh Indonesia.
Kinerja
logistik Indonesia tidak demikian buruk! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar