Menghilangkan Ilusi Daging Sapi
Andi Irawan ;
Dosen Pascasarjana Program Studi Agrobisnis Universitas Bengkulu;
Doktor Ekonomi Pertanian IPB
|
MEDIA INDONESIA,
10 Juni 2016
ILUSI
konsumen itu sesuatu yang normal terjadi. Ia didefinisikan sebagai
pengetahuan yang salah terhadap suatu produk yang dikonsumsi yang memengaruhi
perilaku konsumen. Mungkin kita tidak sadar bahwa penyebab terjadinya
kenaikan daging sapi yang berulang dari tahun ke tahun tidak lepas karena
hadirnya ilusi ini di dalam persepsi masyarakat konsumen kita.
Harga
daging sapi yang tinggi disebabkan kebutuhan kita yang tinggi pada komoditas
tersebut di satu sisi, dan di sisi lain komoditas itu relatif tidak memiliki
substitusi yang berarti. Lalu mengapa daging sapi menjadi semacam komoditas
yang sepenting itu bagi kita? Hal ini disebabkan ilusi kita terhadap
komoditas tersebut.
Kalau
yang menjadi kepedulian kita dari konsumsi daging sapi ialah sisi kelezatan,
bukankah banyak jenis daging lain yang harganya lebih murah dan bisa dikelola
menjadi produk kuliner yang lezat sebagai substitusi daging sapi. Ambil
contoh sederhana satai bisa dibuat dari daging kelinci, ayam, atau bahkan
ikan dan rasanya tidak kalah lezat bahkan bisa lebih enak daripada satai
daging sapi.
Kalau
yang kita peduli dari konsumsi daging sapi karena kandungan gizinya sebagai
sumber protein, bukankah masih banyak sumber protein yang setara bahkan lebih
tinggi daripada daging sapi dengan harga yang jauh lebih murah. Sumber
protein hewani yang setara dengan daging sapi antara lain ayam, belut, dan
ikan. Bahkan, ikan bisa menjadi pilihan yang lebih baik daripada daging sapi
karena di samping sumber protein juga mengandung asam lemak omega-3.
Terlebih
lagi, daging sapi yang merupakan jenis daging merah (red meat) memiliki lebih
banyak risiko bila dibandingkan dengan daging putih (white meat), seperti
ikan atau ayam. Daging merah diketahui berkolesterol tinggi dan bisa jadi
pendorong munculnya beberapa jenis kanker dan penyakit jantung. Artinya,
pengalihan konsumsi dari daging sapi ke daging ayam atau ikan bisa bermakna
memperbaiki kesehatan tubuh.
Di
samping itu, dari perspektif ekonomi, ketergantungan konsumsi kita terhadap
daging sapi bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang menjadi ‘penumpang
gelap’ dari kebijakan ‘swasembada daging sapi’ untuk mengeruk keuntungan yang
tidak wajar.
Sebagaimana
diketahui bahwa program swasembada daging sapi yang telah dicanangkan belasan
tahun tersebut ternyata hanya menghasilkan harga daging sapi yang semakin
tidak terjangkau oleh rakyat. Jelas, konsumen yang jumlahnya ratusan juta
orang dirugikan dari kenaikan harga daging sapi. Lalu siapa yang diuntungkan?
Ada
sebagian pihak yang mengatakan harga yang tinggi penting untuk menolong
peternak rakyat sebagai produsen. Yang dimaksud dengan peternak rakyat ini
ialah 60% peternak yang punya 1-2 ekor sapi. Namun, suatu kesalahan kalau
kita melihat peternak rakyat tersebut sebagai produsen yang produksi
komoditas daging itu. Pandangan seperti itu tidak tepat. Peternak kita tidak
seperti peternak Australia yang mengelola ternak sepenuhnya dengan motif bisnis
sehingga ternak bagi mereka merupakan komoditas komersial.
Namun,
dalam kacamata usaha tani modern, peternak rakyat kita bukan produsen. Ternak
sapi mereka bukan komoditas yang mereka produksi. Ternak bagi mereka ialah
tabungan, bukan komoditas.
Dikatakan
tabungan karena ternak itu dijual ketika dibutuhkan dana likuid yang besar
untuk kepentingan strategis rumah tangga pada saat-saat tertentu, seperti
menikahkan dan menyekolahkan anak.
Kebijakan
proteksi seperti pembatasan impor sapi mempunyai argumentasi logis jika untuk
melindungi peternak yang berstatus peternak produsen, sedangkan mayoritas
peternak rakyat kita itu kategorinya bukan produsen. Mereka peternak dan
penabung karena menjadikan sapi sebagai tabungan.
Lalu
siapa yang sungguh-sungguh menikmati harga yang tinggi itu? Hanya segelintir
pengusaha penggemukan sapi (feedloter)
dan pengimpor daging sapi. Mereka ini tidak bisa disebut sebagai produsen
karena feedloter dan importir
daging bukan produsen sapi. Mereka pedagang daging.
Mayoritas
sumber sapi mereka ialah impor. Produsennya ialah peternak Australia dan New
Zealand. Artinya, kebijakan menaikkan harga daging sapi hanya menguntungkan
peternak negara sumber impor sapi dan segelintir pengusaha feedloter serta
importir. Padahal saat yang bersamaan, hal itu merugikan konsumen negara
sendiri yang jumlahnya ratusan juta orang.
Sebagai
konsumen, kita adalah raja. Demand
create own supply. Begitu kata teori pemasaran. Dengan beralihnya Anda
pada komoditas lain, permintaan sapi itu akan turun dan dampak harganya akan
turun dengan sendirinya. Dengan demikian, kita tidak perlu menurunkan polisi
untuk mencari di mana daging sapi itu ditimbun. Tidak pula perlu mengeluarkan
dana dari pajak rakyat untuk membiayai impor daging dari luar melalui Bulog atau
BUMN lainnya. Terlalu mahal biaya yang dikeluarkan negara dan itu pemborosan
yang luar biasa.
Bahkan,
perilaku konsumsi kita akan mengubah arti penting swasembada bukan pada
‘swasembada daging sapi’, tetapi pada swasembada daging saja. Dengan demikian,
pengembangan peternakan juga bisa berdasarkan keunggulan lokal daerah. Daerah
yang potensial kelinci tidak perlu dipaksa mengembangkan sapi, tapi cukup
mengembangkan kelinci, sehingga ketahanan pangan kita lebih prima. Kenaikan
satu komoditas daging tertentu seperti kenaikan harga daging sapi saat ini
tidak membuat resah masyarakat karena bisa beralih pada komoditas daging
lainnya (ayam, kambing, kelinci, itik, dan lain-lain). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar