Menyelisik PHK Pegawai Negeri Sipil
Arizka Warganegara ;
Dosen Universitas Lampung;
Kandidat
Doktor di University of Leeds, Inggris
|
MEDIA INDONESIA,
09 Juni 2016
BERITA agak kontroversial
minggu ini ialah desas-desus pemerintah pusat yang akan mem-PHK (pemutusan
hubungan kerja) satu juta pegawai negeri sipil (PNS). Maklumat yang
‘dipertanyakan’ ini menyebar luas lewat media sosial dan media konvensional.
Beragam reaksi tentunya bermunculan sebagai respons terhadap ide Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-Rebiro) itu.
Setidaknya ada tiga
kelompok yang merespons hal itu. Kelompok pertama ialah kelompok yang setuju
dengan usulan pemerintah untuk mengevaluasi kinerja PNS selama ini. Alasan
sederhana dan klasik, PNS ‘terkenal’ berkinerja lemah dan mengakibatkan
pemborosan anggaran negara, apalagi Pemerintahan Jokowi-JK sedang
giat-giatnya melakukan penghematan anggaran untuk dialihkan pada sektor
produktif lain.
Kelompok kedua ialah
kelompok yang menentang keras rencana tersebut, baik bahasa mem-PHK,
merasionalisasi, maupun evaluasi yang terdengar ‘mencemaskan’ di telinga
mereka. Alasan kelompok kedua ialah kewajiban negara menciptakan lapangan
kerja dan menyejahterakan rakyat, apa pun cara yang harus ditempuh. Kelompok
ketiga ialah kelompok yang mengambil jalan tengah dengan tidak setuju istilah
evaluasi atau PHK, tetapi PNS harus diarahkan lebih produktif.
Beberapa pertanyaan muncul
dari ide Kemenpan-Rebiro tersebut. Bagaimana merespons hal ini? Apa yang
harus dilakukan pemerintah?
Untuk menjawab hal tersebut, kami memulainya
dengan pandangan bahwa menempatkan inefisiensi kinerja, lamban ,dan tidak
kreatif-nya para birokrat Indonesia hanya pada institusi PNS itu tidaklah
sepenuhnya adil.
Sebagai sebuah sistem,
ketidakberdayaan, atau boleh kita katakan kelemahan kinerja PNS, merupakan
titik kulminasi dari kelemahan sistem politik secara menyeluruh. Birokrasi
tidak bisa dilepaskan dari ‘aliran’ politik dan kontestasi elite politik yang
terjadi hari ini. Walaupun text book mengajarkan birokrasi mesti jauh dari
pengaruh politik, kenyataan memperlihatkan sebaliknya, terutama di era
pilkada.
Apa
yang dilakukan?
Gratton dkk, misalnya,
dalam artikel mereka yang berjudul From
Weber to Kafka: Political Activism and the Emergence of an Inefficient
Bureaucracy’ pada 2015 menjelaskan, dalam kasus Italia, misalnya, ada
korelasi antara inefisiensi birokrasi dan kinerja politisi di parlemen.
Politisi yang tidak
kompeten dalam menghasilkan aturan bernegara juga akan berdampak pada kinerja
birokrasi dan ini sebuah wujud sistem politik bahwasanya birokrasi tidak bisa
dilepaskan dari sistem politik secara keseluruhan.
Menjadi relevan jika
target evaluasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja birokrat. Akan
tetapi, menjadi sangat naif jika evaluasi atau rasionalisasi ini pada masa
yang akan datang memangkas jumlah birokrasi sejumlah satu juta PNS atau
setara dengan hampir 30% total PNS di Indonesia.
Kemenpan-Rebiro sudah
menjelaskan evaluasi ataupun rasionalisasi akan didahului dengan melakukan
kategorisasi PNS berdasarkan tingkat kompetensi dan prestasi. Proses
‘eksekusi’ terhadap PNS akan dilakukan mulai tahun depan. Berkali-kali juga
pemerintah, dalam hal ini Kemenpan-Rebiro, mengungkapkan rasionalisasi ini
merujuk pada tiga kata kunci pertumbuhan negatif PNS, pensiun alamiah 2019,
dan efisiensi anggaran.
Alasan yang terakhir,
misalnya, berdasarkan evaluasi pemerintah pusat, ada daerah yang 80% APBD-nya
hanya untuk membayar belanja pegawai daripada anggaran pembangunan. Porsi
terbesar anggaran daerah memang mayoritas lebih ke belanja pegawai dari pada
anggaran pembangunan. Gejala sebenarnya muncul di era reformasi yang secara
teoritis sesungguhnya anomali ‘teori birokrasi’ David Beetham.
Beetham, misalnya, dalam
buku klasik soal birokrasi, mengungkapkan ada hubungan antara kultur
demokrasi dan profesionalitas birokrasi dalam masyarakat industri. Demokrasi
memang ideal tumbuh pada masyarakat industri yang secara tidak langsung
tipologi masyarakat industri akan mendorong terbentuknya birokrasi yang
profesional karena ada logika kompetisi di dalamnya.
Ide pemerintah melakukan
rasionalisasi bagai dua sisi pisau, dapat sangat bermanfaat bagi birokrasi.
Akan tetapi, pada sisi lain, ini mempunyai dampak yang berisiko besar. Contoh,
melakukan rasionalisasi atau evaluasi kemudian menjustifikasi bahwa seorang
PNS tidak kompeten dan layak untuk di ‘PHK’ ialah konsep yang sumir dan
tinggi subjektivitas.
Pemerintah pusat mungkin juga lupa
mengalkulasi iklim birokrasi di daerah akibat pilkada yang menghasilkan
loyalitas PNS daerah berdasarkan istilah ABS, alias ‘asal bapak senang’. Yang
tejadi di daerah hari ini ialah birokrasi bekerja bukan untuk melayani
rakyat, melainkan lebih pada melayani kepala daerah. Nah, jika evaluasi ini dilakukan,
kami dapat membayangkan para kepala daerah akan berupaya ‘sehebat’ mungkin
mengamankan para PNS ‘kesayangan’ mereka. Inilah yang saya takutkan.
Evaluasi akan berbuntut tingginya
subjektivitas kelak walaupun menurut informasi, pada 2019 akan ada sekitar
500 ribu PNS yang pensiun. Kedua, Media Indonesia 4 Juni 2016 memberitakan
kelompok yang terkena ‘evaluasi’ akan diminta untuk pensiun dini. Pertanyaan
selanjutnya, bagaimanakah konsep ‘diminta pensiun dini’ dan apakah sudah ada
instrumen hukum untuk ‘memaksa’ para PNS pensiun dini tersebut?
Pada akhirnya saya melihat program
rasionalisasi, evaluasi, atau bahasa ekstremnya ‘PHK’ masal PNS ini tidak
akan berjalan semestinya karena beberapa faktor tersebut di atas. Kami
menyarankan pemerintah, jika masalah pokoknya kompetensi dan prestasi, solusi
yang paling bijak ialah edukasi dan upgrading
pengetahuan terhadap para PNS. Zero
growth policy PNS juga harus tetap dilaksanakan sampai angka PNS ideal.
Jika masalahnya efisiensi anggaran, yang
paling pokok menurut saya ialah bagaimana pemerintah menciptakan sistem
keuangan negara yang akuntabel dan dapat menutup kemungkinan terjadi
penyimpangan anggaran, bukan efisiensi dengan memperkecil jumlah pos
anggaran, melainkan anggaran yang harus dibuat efisien, akuntabel dan tidak
bocor! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar