New York 1848
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 12 Juni
2016
Suatu hari, seratus
enam puluh delapan tahun silam, Juli 1848. Di sebuah tempat di New York,
berkumpullah 240 laki-laki dan perempuan. Mereka ”mendiskusikan kondisi
sosial, sipil, dan agama serta hak-hak kaum perempuan”. Dalam pertemuan itu,
seratus delegasi yang datang—68 perempuan dan 32 laki-laki—menandatangani
Deklarasi Sentimen, sebuah deklarasi semacam Deklarasi Independen, yang
menyatakan bahwa kaum perempuan, seperti laki-laki, adalah warga negara
dengan ”hak untuk memilih yang tidak dapat dicabut”.
Peristiwa itu menandai
awal kampanye hak pilih perempuan Amerika Serikat. Wilayah Wyoming menjadi
yang pertama memberikan hak memilih kepada kaum perempuan, yakni pada 1869.
”Setiap perempuan yang berusia dua puluh satu tahun, bertempat tinggal di
wilayah ini, pada setiap pemilu... boleh memberikan haknya.” Demikian bunyi
deklarasi tentang pemberian hak suara, hak pilih kepada perempuan pada waktu
itu.
Dan, ketika Selasa
lalu Hillary Rodham Clinton memperoleh dukungan suara cukup untuk dapat
mengklaim sebagai yang berhak membawa tiket dari Partai Demokrat dalam
pemilihan presiden AS mendatang, tidak berlebihan kalau dikatakan sebagai
buah dari pertemuan di New York pada abad sembilan belas silam.
Sebuah perjalanan yang
panjang, bahkan dapat dikatakan sangat panjang. Perjalanan sangat panjang
jika dibandingkan dengan perjalanan kaum perempuan di negara-negara lain,
termasuk Indonesia. Di Indonesia, gerakan emansipasi wanita (perempuan), yang
digelorakan oleh RA Kartini (21 April 1879, atau lahir 30 tahun setelah
pernyataan Deklarasi Sentimen) ketika masih berusia kira-kira 20 tahun, sudah
membuahkan hasil dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi presiden
(2001).
Di Inggris, Margaret
Thatcher menjadi perdana menteri pada tahun 1979. Isabel Martinez de Perón
menjadi Presiden Argentina pada tahun 1974. Vigdis Finnbogadóttir menjadi
Presiden Eslandia pada tahun 1980. Rakyat Malta pada tahun 1982 memilih
Agatha Barbara sebagai presiden. Didahului sebuah revolusi rakyat, Corazon
Aquino pada tahun 1986 dipilih menjadi Presiden Filipina. Violeta Chamorro
menjadi Presiden Nikaragua pada tahun 1990. Chandrika Kumaratunga pada tahun
1994 dipilih menjadi Presiden Sri Lanka. Masih banyak lagi perempuan dari
negara lain yang lebih dahulu merasakan, menikmati kesetaraan politik.
Golda Meir menjadi
Perdana Menteri Israel pada tahun 1969. Bahkan, Pakistan pada tahun 1993
memilih Benazir Bhutto sebagai perdana menteri. Padahal, dalam banyak hal dan
dari berbagai alasan, AS jauh lebih demokratis dibandingkan dengan Pakistan.
Angela Merkel, Kanselir Jerman, bahkan dicatat sekarang ini sebagai perempuan
paling berkuasa.
Kalau dilihat dari
sebutan yang ditempelkan atau yang diberikan kepada AS, yakni sebagai negara
di garda depan dalam membela dan memperjuangkan demokrasi, tentu AS sangat
tertinggal. Istilah ”garda depan” berasal dari bahasa Perancis, avant-garde,
yang merujuk pada bagian tertentu dari tentara yang dikirim terlebih dahulu
ke garis depan untuk menjalankan misi khusus. Dalam teori estetika, istilah
ini kemudian diadopsi sebagai sebuah metafor untuk merujuk pada gerakan seni
eksperimental, khususnya gerakan modernis di awal abad ke-20. Ide yang terkandung
dalam konsep ”garda depan” adalah kepemimpinan budaya dan kemajuan.
Dalam konteks
demokrasi tentu artinya adalah kepemimpinan budaya demokrasi dan kemajuan
demokrasi. Dengan dalih untuk memajukan demokrasi, untuk menumbuhkan budaya
demokrasi inilah, antara lain, AS mengirim pasukannya ke Irak untuk
menumbangkan Presiden Saddam Hussein.
AS bermimpi bahwa dari
Irak-lah, setelah Saddam jatuh, akan menyebar demokrasi ke seluruh Timur
Tengah. Demokrasi Irak bagaikan dian yang diletakkan di atas bukit, yang
sinarnya menerangi seluruh kawasan Teluk dan Timur Tengah. Tetapi, apa yang
terjadi sekarang ini? Irak tercabik-cabik, bahkan mimpi demokratisasi di
Timur Tengah pun jauh dari kenyataan.
Tetapi, demokrasi
selalu bermacam-macam makna sekalipun prinsip dasarnya adalah pemerintahan
oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dari apa yang terjadi di AS
sekarang ini, dapat dikatakan demokrasi adalah kesepakatan bersama: ada yang
bersepakat untuk mencalonkan Donald Trump, meski banyak yang menyebutnya akan
menjadi tragedi bagi AS; ada yang memilih Bernie Sanders yang sudah tua (74);
ada pula yang memilih Hillary Clinton yang perempuan.
Dengan kata lain,
dalam konteks AS, demokrasi yang dilandasi falsafah hidup
individualisme-liberalisme adalah kecocokan, kesamaan pandangan, kesamaan
prinsip hidup, bahkan barangkali demokrasi diartikan sebagai keselamatan
bersama. Yang nanti memilih Donald Trump yakin Trump akan memberikan
keselamatan. Yang memilih Hillary merasa nyaman dan aman dengan perempuan
yang dianggap lebih manusiawi dibandingkan Trump itu.
Tetapi, apa pun,
demokrasi—juga di AS—adalah kekuatan yang membebaskan. Sekarang ini,
membebaskan perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar