Histeria Selfie
Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 12 Juni
2016
Belakangan ini Yogya
dilanda histeria selfie, berfoto di tempat-tempat bekas pengambilan gambar
film Ada Apa dengan Cinta 2. Film yang memang menyenangkan hasil kerja bareng
dua sahabat Mira Lesmana dan Riri Riza itu membuat para turis lokal menyerbu
restoran, kafe, hotel, pasar, studio seniman, pokoknya apa saja yang dianggap
sebagai situs AADC 2. Kafe di Prawirotaman yang sebelumnya lebih menjadi
tempat para turis asing menikmati suasana pribadi sembari minum bir, kini
berisik oleh para turis lokal yang datang berombongan, pasang gaya, meringis,
lalu jepret-jepret.
Modar, kata istilah
dalam bahasa Jawa. Seorang sopir dari sebuah usaha persewaan mobil
menceritakan bagaimana rombongan ibu-ibu kelompok arisan dari Jakarta minta
diantar ke semua bekas tempat pengambilan gambar AADC 2. Pada setiap tempat
mereka berganti kostum. Mereka membawa juru foto khusus.
Sebuah vila yang
merasa terganggu oleh serbuan kalangan swafoto menambah tenaga keamanan untuk
menjaga vila dari intrusi manusia yang tak jelas. Toh kabarnya ada yang
lolos. Seorang pemuda nekat melompati tembok vila.
Seniman yang memiliki
studio di Bantul persis di depan studio dan tempat workshop Papermoon mengaku
menyaksikan sendiri bagaimana para turis bergentayangan ke Papermoon yang
atraksi teater bonekanya muncul di AADC 2. Mereka tak kenal siang malam.
Kemarin ada yang terbirit-birit dikejar anjing saya, ceritanya sembari
tertawa.
Istilah selfie ramai
dipergunakan mulai tahun 2013. November tahun itu, Oxford Dictionaries
mengumumkan selfie sebagai "the
international word of the year"-kata internasional tahun itu.
Artinya didefinisikan kurang lebih sebagai gejala dari narsisisme yang didorong
oleh media sosial.
Tanpa perlu terlalu
mengacu pada definisi sebuah kamus, kita tahu sendiri, lewat selfie orang
ingin memamerkan pakaian yang dipakai, makanan yang hendak di-emplok, dengan
siapa ia bergaul, ke mana ia bepergian, dan seterusnya. Fungsinya macammacam.
Kecuali sebagai ekspresi diri, juga konstruksi citra diri, sarana untuk
mempromosikan diri, lolongan karena butuh diperhatikan, dicintai, hal-hal
yang dibutuhkan oleh para jablai alias jarang dibelai.
Seluruh kegiatan diri
difoto, diunggah ke media sosial, seakan begitu pentingnya peristiwa atau
momen tersebut. Dari balita ganti popok, baru bisa meringis, sampai manula
yang lagi-lagi nantinya cuma bisa meringis dan ganti popok karena proses
regresi, semua difoto. Pada titik ini fotografi di media sosial mencapai
suatu paradoks: semua image orang itu penting sekaligus tak penting (dalam
hal ini saya selalu merasa terganggu kalau ada orang mengirim foto ke
handphone saya).
Ketika semua image
atau hasil foto tak lagi penting, praktik memotret mengambil alih, menjadi
lebih penting daripada foto itu sendiri. Di meja makan, memotret makanan
menggantikan doa. Pada acara keluarga, berpotret bersama menggantikan praktik
sesrawungan, di balik kenyataan tak adanya lagi interaksi konkret karena semua
orang sibuk dengan handphone-nya. Di tempat tidur suami-istri tak berpelukan
karena sibuk dengan laptop masing-masing.
Fungsi kamera seperti
disebut Susan Sontag dalam esainya pada tahun 1970-an sebagai peranti untuk
merealisasikan dan sebagai bukti atas pengalaman seseorang, kini harus kita
ragukan: adakah yang terlihat di foto bukti dari suatu pengalaman? Kalau
seseorang duduk di kursi kafe seperti adegan sebuah film, apakah berarti dia
sedang dalam sebuah pengalaman rindu karena tengah terlibat dalam cinta yang
indah? Kalau seseorang berfoto di ladang, adakah dia tengah menjalani proses
mengolah alam dan kehidupan? Ah, dia cuma kelas menengah kota yang norak dan
terasing dari kehidupan.
Selain mampu
memanipulasi banyak hal, dengan media sosial kini kita menemukan peranti
untuk memanipulasi diri sendiri. Hari-hari berseminya humanitas telah
berlalu. Yang kita jumpai dan tersebar di mana-mana adalah foto-foto dari
pengalaman palsu. Malas saya melihatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar