Bahagia
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 12 Juni
2016
Saya membaca 10 cara
menjadi bahagia di sebuah media sosial. Artikel itu menjelaskan dengan 10
butir yang singkat dan jelas. Dari dilarang cemburu sampai harus memaafkan.
Setelah membacanya, timbul rasa kesal. Saya merasa artikel itu menghilangkan
kemanusiaan saya. Mendehumanisasi saya.
Steril
Kalau sekarang saya
mengajukan satu pertanyaan pada Anda sekalian, apakah Anda bahagia? Kalau
jawaban ya, apa indikator yang Anda gunakan sehingga Anda tahu bahwa Anda itu
makhluk yang berbahagia?
Memiliki pasangan
hidup yang sesuai angan-angan? Memiliki anak yang sehat dan superpandai?
Lajang karena memiliki kebebasan? Kekayaan yang membuat Anda tak pernah
kekurangan? Sehat walafiat, usaha lancar seperti jalan bebas hambatan?
Cita-cita tercapai bahkan mendapatkan lebih dari yang dicita-citakan?
Atau bahagia itu
karena Anda memiliki hidup yang naik dan turun. Kadang cemburu, kadang kesal,
kadang mencaci maki dan kadang berperilaku seperti malaikat. Bercita-cita
ingin sehat, tetapi ketika tiba waktunya berolahraga ada saja alasan untuk
membatalkannya.
telah hari itu
berlalu, maka kegiatan itu juga berlalu. Rukun beberapa minggu, kemudian
kesal dengan pasangan hidup beberapa hari.
Apakah menurut Anda,
bahagia itu adalah sebuah keadaan yang bebas 'kuman' atau yang steril? Jadi,
seperti artikel yang saya baca di atas. Tidak boleh ini dan jangan begitu.
Harus begitu dan harus begini. Apakah berbahagia itu bukan malah menjadi be
yourself, tetapi memaksa menjadi pribadi yang berbeda?
Di sebuah majalah
internal untuk para karyawan sebuah bank, saya membaca berbagai artikel
dengan tulisan yang menganjurkan manusia itu harus bebas stres. Setelah
membacanya, tentu timbul pertanyaan. Bisakah manusia membebaskan kenegatifan
di dalam dirinya yang dibawanya sejak ia dijadikan manusia?
Kan katanya tak ada
manusia yang sempurna. Terus, mengapa diharuskan bebas stres, bebas dari rasa
cemburu, tidak boleh ini dan harus begitu? Ataukah manusia itu sejujurnya
sempurna karena ia bukan yang steril, tetapi yang seperti ayunan. Kadang
naik, kadang turun. Kadang baik, kadang mengumpat?
Mungkin
Saya bertanya pada
diri sendiri, mengapa ada manusia yang membuat artikel untuk membuat saya
merasa bukan manusia, dan membuat artikel seperti memasukkan narkoba ke dalam
mulut saya sehingga saya melayang untuk sementara waktu?
Apa untungnya yang
sementara? Apakah si penulis sudah berada dalam tingkatan hidup yang tidak
manusiawi lagi? Sehingga ia tak pernah merasakan perasaan cemburu lagi, tak
pernah merasa sedih, tak pernah merasa kecewa, tidak ada kekesalan dan
kebencian yang bisa saja menyelinap masuk dengan mengatakan bahwa hidup itu
hanya tinggal dijalani saja?
Tak lagi keder kalau
dokter mengatakan si penulis mengidap penyakit mematikan karena ia sudah
mampu melihat bahwa penyakit adalah sebuah pelajaran hidup sehingga ia bisa
naik kelas di dalam pengharapan, di dalam kesabaran dan di dalam kemampuan
untuk menerima tidak hanya kebahagiaan, tetapi penderitaan juga yang
dilihatnya sebagai sebuah kebahagiaan.
Atau menjadi bahagia
itu memerlukan pengalihan isu. Saya bercerita kepada seorang sahabat lama
kalau saya ini kesepian dan heran mengapa sampai hari ini saya tak pernah
mendapat pasangan hidup setelah berusaha.
Nah, teman lama saya
itu menasihati saya untuk mencari kebahagiaan di tempat lain. Macam melakukan
aktivitas bepergian, berpikir positif bahwa meski tak ada pasangan masih ada
keluarga, teman yang mencintai. Jadi, apakah untuk menjadi bahagia saya harus
selalu mengalihkan kepada isu lain? Tidakkah itu macam menggunakan narkoba.
Melayang sejenak, menderita setelahnya?
Seorang ibu, kakak
teman saya, orangnya baik sekali, pandai, pengetahuannya luar biasa,
bicaranya teratur, pendengar yang baik, saya sampai betah berbicara
dengannya. Bahkan ia memotivasi tanpa saya merasa dimotivasi. Pokoknya top
banget.
Saya mengatakan pada
teman saya itu kalau kakaknya itu luar biasa. Anda mau mendengar apa
komentarnya. "Keponakan gue aja bilang, jangan percaya ama nyokap. Dia
lagi ngibulin elo tuh."
Sampai tulisan ini
harus saya akhiri, saya tak pernah bisa mengerti seorang penulis yang dengan
luar biasa mampu menulis artikel macam yang telah saya baca di atas. Saya
kemudian bertanya pada diri saya sendiri, tak lagi menggubris artikel itu.
Apa ya mungkin bahagia
itu adalah kalau seorang manusia bisa melihat sebuah keadaan secara tepat.
Kalau harusnya cemburu ya cemburu, dan saatnya tidak cemburu ya tidak
cemburu. Bukan pasnya cemburu, terus berusaha melihat kecemburuan dari cara
pandang lain, agar tak cemburu. Mungkin loh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar