Alarm Kaderisasi Parpol
Ridho Imawan Hanafi ;
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
09 Juni 2016
REVISI Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Pilkada akhirnya disahkan DPR dalam sidang paripurna
awal bulan ini. Memang tak bisa dibantah bahwa usulan partai politik untuk
memperberat persyaratan bagi calon perseorangan, dan di sisi lain meringankan
syarat pasangan calon dari parpol, telah memperlihatkan tantangan serius
mengenai kaderisasi di tubuh parpol.
Upaya tersebut telah
menguatkan dugaan bahwa parpol menemui kesulitan untuk menghadirkan
kaderkadernya tampil di ajang pilkada. Sementara di seberang lain, jalur
perseorangan tidak hentinya menawarkan daya pikat bagi figur di luar parpol
untuk maju dalam pilkada. Jalur perseorangan sebagaimana jalur parpol
merupakan sistem yang telah dijamin perundangan untuk menyeleksi calon kepala
daerah. Dalam konteks ini, jalur perseorangan memang diartikan sebagai
pesaing parpol.
Mereka yang berkeinginan
maju dalam pilkada tidak harus melalui pintu parpol sehingga parpol tidak
lagi dominan dalam proses pemilihan calon kepala daerah. Karena terdapat
pintu lain inilah semestinya parpol menuntut dirinya untuk bagaimana bisa
menghadirkan figur yang bisa bersaing dengan calon dari jalur perseorangan
agar nantinya mereka bisa mengambil simpati pemilih dalam menjatuhkan
pilihannya pada calon dari parpol.
Untuk menghadirkan figur
kompetitif seperti itu tidaklah mudah bagi parpol. Terbukti proses
penjaringan dan penyaringannya tidak selalu menghasilkan figur kompetitif.
Semestinya parpol tidak akan menemui kesulitan ketika mereka sejak dini telah
mempersiapkan kader-kader yang bisa diandalkan untuk maju pilkada.
Sebaliknya, mereka akan
kesulitan ketika sejak awal kader yang diinginkan tidak cukup
tersedia.Kondisi demikian yang tidak jarang memaksa parpol untuk tidak
menyodorkan calon dan bahkan hanya ikut mendukung kader dari parpol lain.
Ketika hal ini terjadi, bisa dikatakan bahwa proses kaderisasi yang ada di
internal parpol menemui sumbatan.
Kaderisasi merupakan
jangkar bagi kelangsungan hidup parpol, dan kerap kali hal ini
dikesampingkan. Yang lebih dipikirkan parpol biasanya ialah bagaimana bisa
memperoleh kursi kekuasaan. Tidak menjadi persoalan apakah cara memperolehnya
itu dengan peluh sendiri atau melalui kerja koalisi. Dalam bayangan parpol,
meraih kekuasaan ialah tujuan segalanya ketika mereka beraktivitas. Maka,
ketika mereka mendapatkan kursi kekuasaan dengan cara yang lebih instan tanpa
melalui proses perjuangan yang melelahkan, akan lebih dipilih daripada harus
meraihnya dengan penuh kerumitan.
Jalan
berliku
Proses kaderisasi memang
berliku dan memakan waktu panjang. Proses ini mensyaratkan adanya rekrutmen,
tempaan, dan pendidikan politik di dalam parpol. Setiap parpol harus melewatinya
agar dapat memerankan posisinya sebagai elemen vital demokrasi. Parpol
memiliki fungsi rekrutmen politik dan mengatur akses ke jabatan politik
(Hershey, 2006), maka melalui rekrutmen, parpol sejatinya sedang mengupayakan
eksistensinya terjaga dan sekaligus juga bisa menyeleksi calon pemimpin. Rute
inilah yang jika tidak ditempuh dengan kesadaran politik tinggi mudah
menggelincirkan parpol dalam beberapa situasi berikut.
Pertama, kaderisasi di
internal parpol akan mudah terjebak dalam proses yang instan. Proses ini
sering kali ditempuh dengan cara merekrut calon kader yang sudah memiliki
derajat kepopuleran tertentu. Langkah ini dinilai menguntungkan karena calon
kader tersebut setidaknya bisa diandalkan untuk bisa menjadi pengumpul suara
(vote getter) baik dalam gelaran
pemilu maupun juga bisa dikandidatkan dalam kompetisi pilkada.
Dalam pilkada, dengan
modal popularitas tertentu, parpol bisa menganggap kerja politik mereka
nantinya akan lebih ringan jika dibandingkan dengan ketika harus mengusung
kandidat yang nirpopuler.
Kedua, kaderisasi akan
terkait dengan regenerasi kepemimpinan di tubuh parpol. Ketika internal
parpol masih sesak dengan oligarki, proses regenerasi biasanya terjadi dalam
lingkaran atau kelompok elite tertentu.
Pola kaderisasi dan regenerasi
biasanya akan mengena pada titik sasaran yang hanya dinikmati kelompok elite
tertentu juga. Tidak mengherankan jika kemudian parpol ketika memunculkan
kandidat-kandidatnya dalam pilkada ialah mereka yang memiliki kedekatan atau
menjadi bagian kelompok elite di parpol. Hal ini membuat kader yang
sebenarnya memiliki potensi cukup dan hanya karena posisinya di luar kelompok
dominan, bisa tersingkir.
Akar
pijakan
Oleh karena itu, untuk
mendapatkan tempat kembali di hati publik, parpol perlu melakukan pembenahan
proses kaderisasi agar tidak mengalami defisit figur dalam pilkada. Langkah
yang bisa ditempuh, antara lain parpol melakukan pengaderan dari bawah.
Kalaupun melakukan
rekrutmen kader dari luar proses ini, bisa diimbangi dengan melakukan proses
penanaman atau internalisasi nilai-nilai kepartaian, baik itu melalui sekolah
maupun kursus politik. Internalisasi nilai kepartaian diharapkan akan
membantu kader memiliki akar pijakan yang kuat akan nilai atau ideologi
partai bersangkutan yang ujungnya bermanfaat bagi rakyat.
Langkah lain bagi
penguatan kaderisasi ialah melakukan penjenjangan yang didasari atas merit
system. Sistem ini mengartikan bahwa kader akan mendapatkan posisinya
didasarkan atas prestasi apa yang telah dicapai, bukan karena faktor-faktor
tertentu seperti kedekatannya dengan patron.
Sistem ini membuka kesempatan
pada setiap kader untuk menempati level-level strategis di parpol. Tidak
hanya itu, juga membuka pada siapa saja untuk bersaing secara sehat di
internal. Dengan cara seperti itu, secara tidak langsung akan mengurangi
potensi kegaduhan atau keretakan internal karena setiap posisi strategis di
internal parpol dicapai atas dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.
Hanya dengan pembenahan
kaderisasi internal secara serius yang akan menjadikan parpol mampu
menyuburkan bibit-bibit kepemimpinan politik. Ketika abai terhadap proses
ini, peluang untuk semakin ditinggalkan pemilih menjadi terbuka.
Dalam momentum politik seperti pilkada,
publik sering ditawarkan calon-calon kepala daerah yang memiliki kompetensi
memikat, yang ironisnya tidak diperoleh dari calon yang disodorkan parpol.
Sangat disayangkan apabila parpol menjadi kendaraan yang tidak menarik lagi
karena produk-produk calon pemimpin yang ditawarkan tidak cukup mampu
bersaing. Sebelum itu terjadi, sudah seharusnya parpol menginsafi diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar