Menanti Eksekusi Mati
Amzulian Rifai ;
Ketua Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 31 Mei
2016
Beberapa
minggu lalu Jaksa Agung RI menegaskan eksekusi terpidana mati narkoba akan
dilakukan segera setelah semua persiapan selesai. Meski enggan membocorkan
kapan waktu persisnya, Jaksa Agung mengatakan telah menyiapkan rohaniwan
untuk eksekusi terpidana mati tahap tiga tersebut.
Juga
dikemukakan, eksekusi akan dilaksanakan di Nusakambangan seperti dua eksekusi
sebelumnya. Konon kategori priority adalah para penjahat narkoba yang telah
memiliki putusan pengadilan bersifat tetap (inkracht). Memang di antara mereka masih menggunakan upaya hukum
terakhir (lagi), lebih sekadar upaya menunda eksekusi saja. Sesungguhnya
tidak ada bukti baru (novum)
sebagai dasar peninjauan kembali.
Tiga
terpidana mati dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Tembesi di Batam sudah
dipindahkan ke penjara Nusakambangan Minggu (8/5) malam. Mereka adalah Agus
Hadi, 53, Pudjo, 42, dan Suryanto, 53. Ketiganya dijatuhi hukuman mati atas
dakwaan perdagangan narkoba. Tiga tahanan dari Batam itu disatukan dengan
beberapa terpidana mati lainnya. Di Nusakambangan, sudah ada 59 terpidana
mati yang menanti eksekusi.
Dari
aspek kemanusiaan semata, ”wajar saja” jika para outlaws ini melakukan
berbagai cara untuk menghapus status terpidana mati. Sejahat apa pun
seseorang, dia tetaplah manusia yang memiliki berbagai perasaan. Pada
tingkatan tertentu, siapa saja memiliki perasaan waswas, takut, rindu, juga
berbaur dengan berbagai kenangan hidup. Semua ini menambah hasratnya untuk
tidak ingin di eksekusi mati.
Pro dan Kontra
Perdebatan
soal hukuman mati tidak pernah berhenti. Ada pro dan kontra yang cukup kuat
terhadap digunakannya instrumen hukuman mati ini. Sungguhpun beberapa angka
dan fakta memberikan bayangan kepada kita soal hukuman mati. Sebagai ”bahan
cerita”, jumlah eksekusi mati di dunia tahun 2015 tertinggi sejak tahun 1990.
Hampir
90% di antaranya terjadi di Iran, Arab Saudi, dan Pakistan. Sementara
Indonesia masuk dalam daftar 10 besar. Mengutip Amnesty International, di
tahun 2015 setidaknya 1.634 orang menemui ajal melalui vonis mati. Diyakini
bahwa jumlah eksekusi mati sebenarnya jauh lebih tinggi, mengingat negara
seperti China tidak mengeluarkan angka resmi jumlah tereksekusi mati. Angka
eksekusi mati yang diketahui meningkat lebih dari 50% dibanding 2014.
Peningkatan
jumlah signifikan ini tentu saja mengkhawatirkan baik bagi negara yang pro
maupun kelompok yang kontra dengan hukuman mati. Negara yang pro dengan
hukuman mati memandang ”hanya dengan cara ini” mereka dapat mengatasi
berbagai kejahatan yang sudah di luar batas. Di luar batas perikemanusiaan
baik skala maupun cara melakukannya. Kejahatan narkoba yang parahnya sudah
maksimal menjadi alasan menerapkan hukuman mati ini.
Negara
yang pro dengan hukuman mati pun ”terus aktif” melaksanakan eksekusi mati.
Setidaknya 977 narapidana dihukum mati di Iran tahun lalu. Mereka kebanyakan
terjerat delik perdagangan narkoba. Sementara Pakistan melaksanakan lebih
dari 320 eksekusi. Dan sedikitnya 158 orang dihukum pancung di Arab Saudi.
China
tetap dengan hukuman mati tertinggi, lebih dari 1000 eksekusi mati pada 2015.
Indonesia yang kembali menggulirkan eksekusi mati di awal era Presiden Joko
Widodo berada di posisi kesembilan dengan 14 narapidana. Bahkan Nigeria pada
2014 mengeksekusi mati 659 orang, meningkat lebih dari 500 orang bila
dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya 141 orang. Bahkan pengadilan
militer menghukum mati sebanyak 70 tentara.
Mereka
divonis terkait dengan konflik senjata dengan Boko Haram. Sementara itu Mesir
menghukum mati 509 orang di tahun 2014. Jumlah itu meningkat 400 orang bila
dibandingkan dengan tahun 2013. Salah satu alasan negara yang pro dengan
hukuman mati menilai kelakuan para outlaws
itu ”sudah kelewatan”, di luar nilai-nilai kemanusiaan. Selain terkait dengan
national security, juga ada di
antara mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perdagangan narkoba yang
sudah membunuh banyak pengguna.
Negara
seperti Indonesia telah mendeklarasikan narkoba sebagai kejahatan luar biasa.
Itu juga sebabnya diyakini hanya dengan cara-cara luar biasa saja diprediksi
mampu mengurangi kejahatan jenis ini. Eksekusi mati tidak dipandang sebagai
pelanggaran HAM karena tindakan itu justru proteksi pula terhadap korban
pelanggaran HAM luar biasa.
Namun
berbeda bagi mereka yang kontra dengan hukuman mati. Pihak yang kontra
terhadap hukuman mati menilai hukuman ini sebagai tindakan mencabut nyawa
yang bertentangan dengan sila-sila yang ada di Pancasila. Padahal, menurut
kelompok ini, hanya Tuhan saja yang memiliki hak untuk mencabut nyawa
seseorang, bukan oleh manusia lainnya.
Mereka
yang kontra dengan hukuman mati berargumentasi pula jika hukuman mati yang
bertujuan menimbulkan efek jera, juga tidak mencapai tujuan itu. Malah
ditegaskan efek jera atas hukuman mati adalah sebuah ilusi. Ilusi atas
kegagalan negara dalam melindungi masyarakatnya.
Kejahatan
narkotika tetap akan ada manakala negara tidak siap dengan strategi
komprehensif dan tuntas. Justru dengan mengedepankan penegakan hukum semata,
itu merupakan langkah mundur yang tidak solutif.
Menghapus Hukuman Mati
Gerakan
untuk menghapus hukuman mati terus menggema. Negaranegara Eropa menjadi
pelopornya. Ada lembagadonordalamberbagaijelmaannya juga bergerak men-support
berbagai organisasi untuk berkampanye menghapus hukuman mati.
Tentu
saja atas nama perlindungan hak asasi manusia. Memang jumlah negara yang
menghapus hukuman mati terus meningkat dari masa ke masa. Filipina misalnya,
telah menghapus hukuman mati sejak 2006. Mayoritas negara yang menghapus
hukuman mati adalah negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara dan Amerika
Selatan. Sejauh ini terdapat lebih dari 117 negara di dunia telah menghapus
hukuman mati baik dalam perundangan maupun dalam prakteknya.
Negara-negarayangmenghapus
hukuman mati mengajukan beberapa alasan signifikan. Pertama, hukuman mati
menempatkan nyawa yang tidak berdosa beresiko (puts innocent lives at risk). Penyebabnya karena ada kemungkinan
seseorang yang sesungguhnya benar-benar tidak bersalah tetapi terlanjur diganjar
hukuman mati.
Di
Amerika Serikat misalnya, sejak diterapkannya kembali hukuman mati tahun
1976, ada 138 terpidana mati yang dibatalkan eksekusi matinya. Malah ada di
antara mereka yang dibatalkan pelaksanaan eksekusinya dalam hitungan menit.
Alasan lainnya, pengacara yang lemah pembelaannya sangat mungkin berakhir
dengan hukuman mati.
Diyakini
bahwa beberapa terpidana mati terjadi karena memang tidak efektifnya strategi
pembelaan. Suatu studi oleh Columbia University menyimpulkan, 68% hukuman mati
dibatalkan oleh pengadilan tinggi. Adapun mereka yang tetap dihukum mati
dikarenakan lemahnya pembelaan.
Hukuman Mati dan
Kedaulatan
Dalam
hubungan antarnegara mana pun, persoalan yang sering kali paling sensitif
adalah perihal kedaulatan (sovereignity).
Diterapkan atau dihapuskannya hukuman mati juga terkait dengan kedaulatan
suatu negara. Isu hukuman mati tentu saja sangat mudah mengganggu hubungan
antarnegara.
Hubungan
Indonesia-Australia yang memang sering kali up and down sempat menurun drastis
ketika dua pelaku kriminal narkoba warga Australia Myuran Sukumaran dan
Andrew Chan dieksekusi mati. Perdana Menteri Australia Tony Abort ”marah
besar” dengan memanggil pulang duta besarnya. Itu pun masih dikaitkan dengan
jasa bantuan kemanusiaan Australia saat bencana Tsunami Aceh di masa lalu.
Indonesia
juga menghadapi berbagai tekanan di saat harus mengeksekusi mati para
terpidana mati yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya para
terhukum ini telah menggunakan semua upaya hukum yang menjadi haknya. Tidak
ada lagi upaya hukum yang dapat digunakan untuk menghapus label terhukum
mati. Tekanan terhadap Indonesia akan terus ada karena sejauh ini
”kebanyakan” para terhukum mati adalah warga negara asing.
Secara
yuridis tidak ada yang salah dengan sikap tegas Jaksa Agung mengeksekusi para
terhukum mati. Penyebabnya karena Indonesia menjalankan kedaulatannya. Pro
dan kontra boleh saja tetap ada, tetapi secara yuridis perundangundangan
Indonesia memang memberlakukan vonis mati.
Dalam
kondisi ”hiruk-pikuk” protes negara lain, Presiden Joko Widodo tetap
menegaskan untuk melanjutkan eksekusi mati. Sikap tegas ini selain
menunjukkan kedaulatan hukum Indonesia, juga sebagai langkah serius menghapus
berbagai kejahatan yang sangat meresahkan seperti perdagangan narkoba. Ini
artinya kita tengah menanti realisasi eksekusi mati yang tidak lama lagi akan
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar