Konsepsi Kemandirian Ekonomi Soekarno
Eko Sulistyo ;
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi
Kantor
Staf Presiden
|
KORAN SINDO, 01 Juni
2016
Bulan
Juni sering disebut sebagai bulan Bung Karno. Ada tiga tonggak sejarah yang
berkaitan dengan Soekarno yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pada 1
Juni hari lahirnya Pancasila yang digagas Soekarno; 6 Juni hari lahirnya
Soekarno; dan 21 Juni hari wafatnya Soekarno.
Maka,
tidak heran jika setiap bulan Juni banyak kegiatan digelar untuk memperingati
dan mengenang jasa-jasa Presiden RI pertama tersebut. Soekarno memang orang
hebat. Selain dikenal sebagai presiden RI pertama sekaligus proklamator kemerdekaan
bersama Bung Hatta, Soekarno juga dikenal sebagai salah satu pemikir besar
yang pernah dimiliki bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sehingga,
orang lebih mengenal Soekarno sebagai pemikir politik dan ideologi. Namun,
orang lupa bahwa Soekarno juga memiliki strategi pembangunan ekonomi untuk
memajukan ekonomi nasional yang terencana dan sistematis. Sayangnya, strategi
tersebut tidak sempat dituntaskan pelaksanaannya akibatrivalitaspolitik dalam
negeri, gangguan dari pihak Barat dalam perang dingin, serta meletusnya
peristiwa 1965 yang meruntuhkan otoritas konstitusional Soekarno.
Ekonomi Berdikari
Konsepsi
ekonomi Soekarno sudah mempunyai fondasi sejak zaman pergerakan nasional.
Gagasan ini dapat ditemukan misalnya dalam pidato pembelaan Soekarno
”Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan kolonial di Bandung, 18 Agustus
1930.
Dengan
mengutip berbagai teori dan fakta-fakta penghisapan kolonial atas Hindia
Belanda, Soekarno secara lantang menolak kapitalisme dan imperialisme yang
dianggapnya sumber kesengsaraan rakyat, eksploitasi antarmanusia, dan
penjajahanantarbangsadidunia. Imperialisme bagi Soekarno bukan hanya
penguasaan wilayah oleh sebuah negara yang lebih kuat, tapi juga penguasaan
ekonomi oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengeksploitasi kekayaan alam
sebuah bangsa.
Bila
sistem kapitalisme dan imperialisme ditolak oleh Soekarno, Soekarno
mengajukan gagasan sosio-demokrasi. Sebuah demokrasi yang memajukan
kesejahteraan sosial, kesejahteraan seluruh rakyat, dan kesejahteraan bagi
seluruh bangsa Indonesia. Sepintas gagasan ini mirip dengan pemikiran
sosial-demokrasi.
Namun,
bagi Soekarno, demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi.
Implementasi gagasan Soekarno dalam sistem ekonomi terwujud dengan dirumuskannya
Ekonomi Terpimpin (Planned Economy)
yang mendasarkan pada Ekonomi Berdikari (EB), sebagai upaya dari Soekarno
untuk mencari jalan alternatif bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
Hal
itu guna membangun kemandirian ekonomi nasional dengan memutus perekonomian
kolonial, feodalisme dan imperialisme. Tujuannya agar Indonesia mandiri dan
tidak tergantung dari konjungtur pasar internasional. EB tidak bisa dipahami
sebatas kebijakan ekonomi semata, tapi juga jalan ideologis Soekarno dalam
merencanakan dan melaksanakan pembangunan nasional.
EB
adalah sebuah eksperimen ekonomi mandiri ala Indonesia atau alternatif ”Jalan
Ketiga” yang dipilih Soekarno, di tengah pilihan ”jalan kapitalisme” atau
”jalan komunisme” sebagai strategi pembangunan nasional yang mandiri sesuai
dengan Panji Trisakti Soekarno; berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam
politik, dan berkepribadian dalam budaya .
Dewan Perancang Nasional
Untuk
menjalankan Ekonomi Terpimpin, Soekarno membentuk Dewan Perancang Nasional
(Depernas) yang dipimpin oleh Mohamad Yamin. Badan ini bertugas merencanakan
blueprint pembangunan dan sekaligus mengawasinya. Pada 1960 Depernas
melahirkan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun, yang
terbagi dalam dua tahap.
Tiga
tahun pertama adalah riset ilmiah tentang potensi ekonomi nasional dan upaya
swasembada pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Lima tahun berikutnya adalah
tahap pertumbuhan produksi dan pendapatan secara berkelanjutan dengan
kekuatan sendiri. Pada 1963 pemerintah Soekarno mengeluarkan peraturan ”26
Mei 1963” yang disebut dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon).
Keputusan
ini menegaskan pendirian Soekarno untuk kembali fokus ke rencana pembangunan
nasional, setelah pergolakan daerah dan persoalan Irian Barat dianggap
selesai. Fondasi dasar dari EB adalah penguasaan negara atas asetaset ekonomi
strategis yang memengaruhi hajat hidup orang banyak, yang saat itu masih
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing (terutama perkebunan dan
pertambangan).
Penguasaan
aset strategis adalah mandat dari Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, EB diawali
dengan nasionalisasi perusahaanperusahaan asing yang strategis dan menguasai
hajat hidup orang banyak. Sekitar 400 perusahaan dikelola oleh Pusat
Perkebunan Negara (PPN), 100 perusahaan perdagangan, perusahaan yang
memproduksi dan memperdagangkan 13 barang vital, untuk konsumsi dalam negeri
dan ekspor melalui Badan Urusan Dagang.
Negara
juga mengusai 160 perusahaan industri ringan yang dikelola oleh badan
penyelenggara perusahaan-perusahaan industri, tambang, dan listrik. Besarnya
penghasilan dari semua bidang yang dikuasai negara ini per tahun ditaksir
sekitar Rp50 miliar. Sayangnya, proyek nasionalisasi ini kemudian lebih
dinikmati oleh birokrat danmilitersebagaipenguasa darurat di masa Demokrasi
Terpimpin.
Banyak
dari perusahaan negara ini dikelola dengan buruk dan cenderung digunakan
untuk kepentingan politik. Kebijakan perekonomian strategis lainnya adalah
menjadikan koperasi sebagai fondasi dari perekonomian nasional agar petani di
pedesaan, dan buruh dapat meningkatkan pendapatan dan produksinya.
Memajukan
koperasi adalah mandat dari UUD 1945 sebagai bentuk usaha rakyat melawan
kapitalisme dan kepentingan pasar bebas. Koperasi dipilih karena usaha
kolektif ini tidak bertujuan untuk melakukan pemusatan modal dan mencari
untung. Dengan demikian, koperasi diharapkan akan memperbaiki ekonomi rakyat
sehingga perannya sama dengan perusahaan negara yaitu sebagai pelaksana EB.
Fondasi
ekonomi yang juga akan diperkuat adalah kebijakan memajukan swasta nasional
untuk memperkuat daya saing pengusaha pribumi. Pemerintah memberlakukan
berbagai pembatasan atas perusahaan swasta asing dan menyatukan
kekuatanswastanasionaldengan membentuk Badan Musyawarah Pengusaha Nasional
Swasta.
Pemerintah
memberikan insentif berupa pelipatan kurs dolar yang didapat jika pihak
swasta nasional melakukan ekspor-impor untuk kebutuhan peningkatan produksi
kebutuhan umum. Sayangnya, upaya penguatan ini juga gagal akibat
berkembangnya ekonomi rente di mana banyak pengusaha pribumi menjual konsesi
yang didapat dari negara kepada pihak lain.
EB
juga berupaya menarik modal asing. Jadi keliru jika menganggap EB menolak
modal asing dan menyamakan dengan sistem ekonomi negara komunis. Modal asing
dan pinjaman luar negeri tetap diperbolehkan di bawah syarat yang tidak
mengikat secara politik dan tidak bersifat pinjaman jangka panjang. Modal
asing dan pinjaman diperbolehkan untuk proyekproyek yang butuh biaya besar.
Biaya
akan didapat melalui kerja sama dengan swasta asing dengan sistem bagi hasil.
Proyek yang dijalankan tetap menjadi milik pemerintah Indonesia, pihak asing
hanya mendapatkan persentase keuntungan yang disepakati. Tentu saja kondisi
obyektif di zaman Soekarno berbeda jauh dengan alam neoliberalisme abad
ke-21.
Sekarang
saatnya kembali untuk secara jernih mencari strategi ekonomi yang mempunyai
akar pada bangsa Indonesia, memperkuat kemandirian ekonomi nasional, dan
tidak menggadaikan ekonomi pada kekuatan neoliberalisme atau kolonialisme
gaya baru.
Dengan
semakin menguatnya jeratan ekonomi neoliberalisme atas semua aspek ekonomi
nasional, strategi pembangunan EB yang pernah dirumuskan Soekarno masih
relevan dengan Indonesia masa kini. Tidak ada salahnya kita belajar dari
konsepsi EB yang pernah dirumuskan dan dijalankan oleh Soekarno. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar