Memacu Pertumbuhan Ekonomi
Muhamad Chatib Basri ;
Guru Besar Tamu,
Australian National University,
Canberra
|
KOMPAS, 16 Juni
2016
Kita mencatat bahwa
ekonomi Indonesia dalam triwulan pertama 2016 hanya tumbuh 4,92 persen. Lalu
timbul banyak reaksi dan pertanyaan tentang efektivitas paket kebijakan
pemerintah.
Saya kira, kita harus
berhati-hati menyimpulkan. Sebagian besar paket kebijakan pemerintah
berorientasi kepada sisi produksi (supply
side), yang baru memiliki dampak jangka panjang. Dan kita butuh itu.
Namun, tampaknya kita juga perlu mendorong ekonomi segera. Karena itu,
kebijakan yang ada ini harus dikombinasikan dengan upaya meningkatkan
permintaan dalam jangka pendek.
Situasi ini
mengingatkan saya pada tulisan ekonom John Maynard Keynes tahun 1923,
"Jangka panjang adalah panduan yang palsu untuk menjelaskan kekinian.
Dalam jangka panjang, kita semua akan mati. Tak ada gunanya jika dalam
situasi yang bergejolak, para ekonom hanya mampu menjelaskan keadaan jangka
panjang. Situasi di mana badai telah reda dan laut kembali tenang."
Dalam tulisannya yang cerdas, ia ingin mengatakan, tak ada gunanya kebijakan
ekonomi bila tak mampu menjawab masalah jangka pendek dan hanya bicara jangka
panjang.
Penawaran-permintaan
Lewat kalimatnya,
Keynes juga mengkritik ekonom klasik Jean Baptiste Say, yang percaya bahwa
penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri. Jean Baptiste Say percaya:
dengan berproduksi seseorang akan memperoleh pendapatan, dan dengan itu ia
dapat membeli barang. Dengan logika ini peningkatan produksi (penawaran) akan
mendorong permintaan. Inilah yang menjadi premis dari Supply side economics.
Kelompok ini percaya
bahwa pertumbuhan ekonomi dapat diciptakan melalui peningkatan investasi
modal, dan dikombinasikan dengan penurunan berbagai hambatan (deregulasi,
insentif pajak) dalam proses produksi barang dan jasa. Menarik untuk dilihat:
resep ini mirip sekali dengan strategi pembangunan infrastruktur, deregulasi
ekonomi, penurunan suku bunga untuk mendorong investasi, insentif pajak dan
yang lainnya, yang diterapkan pemerintah sekarang.
Sebaliknya, Keynes
mengatakan: dalam jangka pendek permintaanlah yang menciptakan penawaran.
Mudahnya: jika ada permintaan barang dan jasa, maka dunia usaha akan melihat
peluang usaha. Mereka akan meningkatkan produksi. Dengan ini ekonomi
bergerak. Sebaliknya, jika produksi ditingkatkan, sementara permintaan tak
ada, maka barang tak terjual. Stok meningkat. Lalu, untuk apa melakukan
ekspansi usaha? Ekonomi mandek, pengangguran meningkat. Karena itu, menurut
Keynes: solusi yang efektif, dalam jangka pendek, adalah intervensi
pemerintah melalui upaya peningkatan permintaan dan daya beli.
Debat ini sangat
relevan dengan situasi ekonomi kita saat ini. Bagaimana kita menjelaskannya?
Pertama, kita hidup di dalam dunia yang saling bergantung. Perlambatan
ekonomi global dan ekonomi Tiongkok tentu saja memengaruhi ekspor Indonesia.
Tiongkok adalah konsumen terbesar untuk komoditas dan energi. Dan kita tahu
bahwa lebih dari 60 persen ekspor Indonesia terkait erat dengan komoditas dan
energi. Akibatnya, ekspor kita anjlok.
Sebenarnya, dalam
situasi seperti ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen saja sudah
relatif baik. Bandingkan dengan negara penghasil sumber daya alam lain,
seperti Brasil, Rusia, Afrika Selatan, Malaysia, dan Australia. Tentu
pertanyaan lanjutannya: bagaimana dengan Vietnam dan Filipina? Kita tidak
boleh merasa puas. Itu sebabnya pertumbuhan harus didorong. Dengan kondisi
global seperti ini, sumber pertumbuhan domestik harus dipacu.
Kedua, sebagian besar
kebijakan pemerintah memang berorientasi pada supply side. Untuk efektif,
kebijakan ini membutuhkan waktu yang panjang. Infrastruktur, misalnya, baru
akan menciptakan lapangan kerja ketika proyek mulai dibangun dan berjalan.
Dan itu membutuhkan waktu, terutama urusan pembebasan lahan. Begitu juga
dengan deregulasi ekonomi. Deregulasi akan mendorong investor untuk mulai
melakukan ekspansi usaha. Namun, mulai dari investasi masuk, membuat pabrik,
dan menghasilkan produk membutuhkan waktu. Selain itu, deregulasi di tingkat
pemerintah pusat hanya menyelesaikan sebagian kecil persoalan. Mengapa?
Karena sebagian besar permasalahan izin ada di daerah. Tanpa deregulasi di
daerah, investasi akan tetap mandek.
Bagaimana dengan
penurunan bunga? Penurunan tingkat bunga tak mendorong investasi secepat yang
diharapkan. Malah kredit yang tak dicairkan (undisbursed loan) di triwulan I-2016 justru meningkat. Di sini
argumen Keynes menjadi penting: jika permintaan terhadap barang dan jasa
lemah, untuk apa dunia usaha meminta kredit dan melakukan ekspansi produksi?
Walaupun perizinan dipermudah, jika permintaan tidak ada, untuk apa melakukan
ekspansi bisnis? Pendekatan supply side
hanya akan menolong ekonomi dalam jangka panjang. Namun, ia tak menyelesaikan
soal jangka pendek. Ekonomi akan mandek, persis seperti kalimat Keynes di
atas.
Perhitungan
kuantitatif oleh Basri, Fitrania dan Zahro (2016) menunjukkan temuan menarik.
Dalam kasus Indonesia, kausalitas antara konsumsi dan investasi terjadi di
mana konsumsi memengaruhi investasi dan bukan sebaliknya. Studi ini
menunjukkan peningkatan konsumsi akan mendorong investasi satu triwulan
kemudian. Namun sebaliknya, peningkatan investasi tak meningkatkan konsumsi
secara signifikan. Implikasinya: upaya deregulasi, penurunan suku bunga tak
serta-merta menghasilkan permintaan seperti diperkirakan dalam hukum Say.
Sebaliknya, peningkatan konsumsi akan mendorong produksi dalam jangka pendek.
Jadi jika ingin menggerakkan ekonomi jangka pendek, tingkatkan konsumsi.
Studi kuantitatif ini mendukung argumen Keynes dalam kasus Indonesia.
Ketiga, benar bahwa
pemerintah melakukan ekspansi fiskal dengan meningkatkan defisit anggaran.
Namun, kita harus melihat efek dinamisnya. Ekspansi fiskal dibiayai oleh
pajak. Ketika ekonomi melambat, peningkatan pajak justru akan menimbulkan
kontraksi. Memang uang ini disuntikkan kembali ke perekonomian dalam bentuk
belanja infrastruktur. Namun, belanja infrastruktur baru menghasilkan output
belakangan. Jadi yang terjadi dalam jangka pendek justru kontraksi ekonomi.
Stimulus melalui belanja baru terasa dalam jangka waktu panjang. Dampaknya
bisa diduga: ekonomi mandek.
Jangka panjang-jangka pendek
Lalu, salahkah
orientasi kepada supply side? Saya
kira tidak. Persoalannya hanyalah soal waktu. Ia membutuhkan waktu yang
panjang. Sayangnya, ekonomi tak bisa menunggu. Karena itu kebijakan supply
side ini perlu dikombinasikan dengan peningkatan permintaan dalam waktu yang
sangat pendek (kurang dari satu tahun). Apa yang bisa dilakukan? Solusinya
adalah stimulus fiskal. Masalahnya, dengan penerimaan pajak yang terpukul
tajam akibat perlambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas, bagaimana
ekspansi fiskal harus dilakukan?
Apalagi dalam RAPBN
Perubahan 2016, belanja pemerintah malah dipotong Rp 47,8 triliun. Artinya,
ada kendala dalam anggaran. Dalam kondisi seperti ini, stimulus fiskal harus
diarahkan kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi (marginal propensity to consume) yang
tinggi dan segera. Itu artinya peningkatan pendapatan bagi kelompok menengah
bawah. Jika mereka memperoleh penghasilan, maka konsumsi dalam negeri dapat
didorong. Pemerintah memang merencanakan menggulirkan gaji ke-13 dan 14, dan
juga telah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak agar konsumsi
meningkat.
Namun, ini hanya
mencakup pegawai negeri atau mereka yang bekerja di sektor formal. Tentu ini
tak cukup. Seperti pernah saya sampaikan di harian ini: alokasikan dana dan
perluas program cash transfer, cash for
work. Buat proyek padat karya jangka pendek yang bisa memberikan
pendapatan segera bagi orang, misalnya membersihkan kali, selokan, membangun
jalan desa. Nilai proyeknya tak terlalu besar, tak akan mengganggu defisit
transaksi berjalan, tak akan mengganggu defisit anggaran. Namun, efek
penggandanya besar. Begitu mereka menerima pendapatan, konsumsi akan
meningkat. Begitu konsumsi meningkat-seperti temuan studi di atas-investasi
akan naik. Ekonomi akan bergerak.
Benar, bahwa
peningkatan daya beli dicoba didorong melalui Dana Desa. Masalahnya itu
membutuhkan waktu agar aparat desa siap. Aparat desa tidak berpengalaman dan
mungkin takut mencairkan uang. Akibatnya, dampak permintaan tak terjadi di
pedesaan. Sebenarnya untuk mengatasi ini, infrastruktur desa bisa dibangun
lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang tata kelolanya
sudah relatif mapan. Sayangnya, program ini sudah tak lagi dilanjutkan. Apa lagi?
Pastikan inflasi dan harga makanan dapat dikendalikan agar daya beli terjaga.
Dengan ini konsumsi akan mendorong perekonomian dalam jangka pendek.
Kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan selama ini ada dalam arah yang benar, tetapi ia bersifat
jangka panjang. Padahal, ekonomi harus didorong segera dengan kebijakan
jangka pendek. Waktu tak bersama kita. "In
the long run we are all dead", begitu ujar Keynes. Dan saya kira,
Keynes benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar