Independensi Pengadilan Terkoyak
Muladi ;
Hakim Agung MA (2000-2001)
|
KOMPAS, 16 Juni
2016
Setiap orang yang menghayati asas-asas dasar demokrasi, supremasi hukum, dan agenda reformasi pasti
akan marah, sedih, dan prihatin serta miris apabila membaca laporan Kompas
berjudul "Penyakit 'Jantung' di Peradilan Kita" (Kompas, 3/6/2016),
yang kemudian disusul dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas tentang
"Mentalitas Buruk Mencoreng Peradilan" (Kompas, 6/6/2016).
Salah satu asas dasar
(root principle) demokrasi adalah
kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary) yang maknanya telah dirumuskan secara akurat dan
komprehensif dalam Rapat Ketua-Ketua
Mahkamah Agung (Round Table Meeting of Chief Justices) di Den Haag tahun 2002,
yang telah merevisi dan menerima The
Bangalore Principles of Judicial Conduct tahun 2001. Di sini terkandung nilai-nilai
independensi, imparsialitas, integritas, kepatutan, persamaan, kompetensi,
dan ketekunan, yang mengikat hakim secara etis.
Kekuasaan kehakiman
yang merdeka berkaitan erat dengan Piagam HAM PBB 1948 dan Kovenan Hak-hak
Sipil dan Politik 1966, khususnya pengakuan terhadap prinsip Fair Trial. Yang
dimaksud fair trial adalah hak atas
persamaan terhadap
peradilan yang jujur dan terbuka
untuk umum oleh pengadilan, tanpa
ditunda-tunda, dan bersifat
independen, kompeten, dan tidak memihak dalam menentukan hak dan
kewajiban seseorang, lebih-lebih dalam perkara pidana, yang dibentuk
berdasar undang-undang (Bassiouni, 2004).
Dengan demikian,
pengingkaran terhadap asas kekuasaan
kehakiman yang merdeka, yang di Indonesia pengamanannya dipercayakan pada
Mahkamah Agung dan jajarannya serta
Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945), dampaknya
sangat destruktif, korosif terhadap supremasi
hukum, dan harus dilawan secara
sistematis.
Berbagai modus
operandi tipikor yang terjadi secara terorganisasi di pengadilan negeri
hingga Mahkamah Agung dan juga pernah terjadi di Mahkamah Konstitusi-
yang melibatkan pejabat administrasi
dan hakim karena pengaruh suap para
pencari keadilan dan perantaranya- tidak boleh dianggap sederhana.
Di dalam Preambul
Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi
(United Nations Convention Against Corruption, 2003) dikatakan bahwa korupsi pada umumnya mengancam stabilitas
dan keamanan masyarakat, merusak lembaga dan nilai demokrasi, nilai etika,
dan keadilan serta mengganggu pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
Penyuapan, khususnya,
akan merusak mental aparatur negara
dan bersifat diskriminatif terhadap yang tidak mampu menyuap. Nilai agama juga tercoreng karena adanya
irah-irah bahwa di Indonesia peradilan
dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME" (Pasal 2 UU No
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Agenda reformasi yang pudar
Untuk menjaga asas
kekuasaan kehakiman yang merdeka, di era Reformasi tahun 1998,
diundangkan UU No 35 Tahun 1999 untuk
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah, sehingga terjadi pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi
yudikatif dan eksekutif sebagai implementasi TAP MPR No X/1998. UU tersebut
mengubah UU No 14 Tahun 1970 dan terus disempurnakan dalam UU No 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Asa dan harapan
positif terhadap kemandirian itu menjadi pudar, dengan terjadinya fenomena baru, bahwa
sumber pengaruh negatif terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka ini
telah berkembang dan bergeser dari kekuasaan eksekutif ke arah para pencari
keadilan yang ingin menang beperkara dengan menghalalkan segala cara (melalui
suap dan gratifikasi), lewat perantara-perantara yang lihai dan berjaringan,
baik dari kalangan internal maupun
eksternal pengadilan, yang antara lain
melibatkan juga oknum-oknum advokat
dan penegak hukum lain. Secara empiris, di samping motif finansial, pengaruh negatif bisa terjadi akibat konflik kepentingan,
kolusi dan nepotisme, tekanan berasal
dari atasan hakim dengan
harapan imbalan promosi, iming-iming setelah pensiun, balas budi, dan lain-lain. Hal ini terjadi baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun perkara tata usaha negara, baik di lingkungan
peradilan umum maupun peradilan khusus yang sangat luas.
Penyimpangan terhadap kekuasaan kehakiman yang
merdeka didukung juga secara tidak
langsung oleh suatu doktrin yang berlaku dalam sistem Hukum Eropa Kontinental
yang tidak menerapkan asas Stare Decisis, yaitu asas
yang berlaku dalam sistem hukum Anglo Saxon yang menegaskan kekuatan
mengikat secara persuasif dari precedent, yaitu keputusan pengadilan
terdahulu dalam kasus hukum yang penting (landmark
decision) terhadap pengadilan
berikutnya yang sama fakta dan
masalahnya. Hal ini ditujukan untuk mempromosikan asas hukum yang tidak berat
sebelah, dapat diprediksi dan
merupakan perkembangan hukum yang konsisten, serta memajukan kepercayaan
terhadap proses yudisial.
Indonesia sebagai
salah satu negara pewaris Sistem
Hukum Eropa Kontinental (Civil Law System) memberlakukan UU
dan kodifikasi sebagai sumber hukum yang utama.
Yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum yang
tidak mengikat, sebagaimana doktrin dan hukum kebiasaan. Dengan demikian, kebebasan hakim yang
disertai dengan kewenangan luas untuk membuat diskresi dalam peristiwa
konkret sangat dominan untuk
memberikan keputusan yang berbeda-beda.
Yang tidak puas
terhadap keputusan hakim tingkat pertama dapat mengajukan upaya hukum
banding, kasasi, dan kemungkinan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali.
Pola pikir yang dianggap berlaku adalah bahwa istilah judex facti (oleh PN, PT)
dan judex juris (oleh
Mahkamah Agung) juga mengandung
kemungkinan subyektivitas hakim dalam menafsirkan fakta/bukti dan penerapan hukum yang tidak terukur secara absolut dan
dapat bersifat multitafsir, tergantung
selera dalam menghadapi kasus per kasus. Hal ini jelas dapat disalahgunakan.
Hal ini dapat terjadi
karena kebebasan hakim sering
kali tidak didukung oleh karakter kepemimpinan yang memperlihatkan moralitas dan
akuntabilitas serta ketangguhan pribadi,
sebagai batu karang yang keras
dan konsisten terhadap asas dan
pedoman moral (bedrock of principle and
moral compass), di samping
memiliki secara individual keunggulan
profesional dalam rangka
bersama-sama membangun konsensus untuk
mencapai visi bersama kelembagaan (Brett and McKay, 2012).
Pendekatan tiga jalur
Untuk merestorasi
integritas pengadilan yang telanjur
kedodoran, pendekatan tiga jalur (triple-track
approach) sebagai berikut sangat
diperlukan.
Pertama, pendekatan
preventif, seperti perbaikan administrasi dan
manajemen pelayanan, memperketat seleksi, promosi dan mutasi hakim serta jabatan kepemimpinan di pengadilan, mengajak para advokat dan
organisasinya untuk berperan serta
mengembalikan wibawa pengadilan, peningkatan budaya tidak toleran terhadap
segala bentuk korupsi, dan menyosialisasikan
asas-asas umum pemerintahan yang baik (good
governance), di samping
peningkatan nilai-nilai profesionalisme di lingkungan pengadilan.
Kedua, pendekatan
deteksi dini, seperti peningkatan partisipasi masyarakat untuk memberantas
korupsi di pengadilan, mengembangkan sistem informan yang bekerja secara
rahasia (sting-approach) untuk membantu pengadilan.
Ketiga, pendekatan
represif, seperti kecepatan, ketegasan,
dan transparansi dalam
menanggapi laporan adanya korupsi di pengadilan, dan mendorong Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menaruh perhatian secara khusus terhadap
korupsi di pengadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar