Skandal Petrobras dan Rousseff
Dedi Haryadi ;
Deputi Sekjen Transparansi
Internasional Indonesia
|
KOMPAS, 11 Juni 2016
.
Alberto
Youssef (47) punya insting politik yang tajam. Ketika ditanya pengacara
dan penyidik, pertengahan 2013, ia sesumbar:
"Kalau saya ngomong, republik ini akan jatuh."
Apa
yang dikatakannya kini jadi kenyataan.
Lanskap sosial politik dan ekonomi Brasil kini terguncang hebat.
Puluhan politisi dari berbagai partai politik, manajer puncak dari Petrobras
dan berbagai perusahaan konstruksi dipenjarakan. Reputasi dan citra mantan Presiden Luiz Inacio Lula
tercoreng. Yang paling tragis,
Presiden Dilma Rousseff pun
dimakzulkan.
Siapa Youssef? Sudah sembilan kali ia
ditangkap karena berbagai
kejahatannya: penyelundupan, pencucian uang, dan konspirasi. Pada penangkapannya yang ke-10 itulah ia
bernyanyi: "ngaku" tahu banyak
tentang mega skandal Petrobras.
Kartel usaha konstruksi
Petrobras
itu semacam Pertamina di sini, atau
Petronas di Malaysia. Bagaimana Petrobras dibobol?
Begini.
Kalangan eksekutif dari berbagai perusahaan
konstruksi diam-diam membentuk kartel
untuk mengatur tender berbagai
kontrak dengan Petrobras. Petrobras adalah korporasi terbesar di Brasil dan
juga salah satu korporasi terbesar di dunia. Secara sistematik harga-harga
kontrak itu digelembungkan. Mereka bersekongkol dengan orang dalam, petinggi Petrobras,
sehingga BUMN ini harus membayar semua kontraknya 3 persen lebih tinggi
daripada seharusnya kepada 27 perusahaan konstruksi.
Dana
hasil korupsi ini selain dinikmati
kalangan eksekutif anggota kartel juga dipakai menyuap petinggi Petrobras dan
para politisi Partai Buruh yang berkuasa, dan lima parpol lainnya. Para
politisi menerima dana hasil korupsi ini dalam bentuk hadiah pribadi atau sumbangan
dana kampanye. Mereka itu berperan penting dalam merekrut jajaran direksi Petrobras.
Hasil
audit memperlihatkan, selama 2004-2012 Petrobras dirugikan
2,1 miliar dollar AS dari praktik koruptif ini. Ini skandal korupsi
terbesar dalam sejarah Brasil. Dampak
skandal pada perusahaan langsung terasa. Nilai pasar Petrobras jatuh dari 300
miliar dollar AS pada 2008 menjadi
sekitar 56 miliar dollar AS
sekarang ini. Demikian juga harga sahamnya
turun dari 11 dollar AS pada September 2014 jadi 2,2 dollar AS pada
Maret 2016.
Skandal
ini merusak reputasi Lula-yang juga mentor politik Rousseff-sebagai mantan
presiden (2002-2011) yang dianggap paling sukses memimpin Brasil. Ia
dan lembaga filantropisnya, Lula Institute, dituduh kecipratan 8 juta dollar AS.
Bagi
Presiden Rousseff skandal ini juga merupakan bencana politik. Poling
menunjukkan hampir dua pertiga orang
Brasil menginginkan dia dilengserkan. Testimoni Youssef menyebutkan Rousseff
terlibat dalam skandal Petrobras. Publik juga mempertanyakan kompetensi dan
expertise judgment-nya karena praktik koruptif itu terjadi di antaranya pada saat Rousseff jadi Ketua Dewan
Petrobras (2003-2010). Dugaan
keterlibatan dia dalam skandal ini juga terkait posisinya sebagai elite dalam
Partai Buruh.
Sebuah
komisi parlemen yang ditugasi menyelidiki keterlibatan Rousseff menyimpulkan
ia bersih, tidak terlibat dalam skandal ini.
Bebasnya Rousseff dari tuduhan dalam skandal ini tak dapat mencegah
ambruknnya reputasi dan citra Partai Buruh.
Selama ini Partai Buruh getol membangun reputasi sebagai parpol yang
bersih, membela kepentingan publik memerangi korupsi. Tentu saja keterlibatan
sebagian elite Partai Buruh-termasuk bendahara partai , Joao Vaccari,-dalam
skandal ini menimbulkan kekecewaan dan frustrasi publik.
Skandal
ini muncul di tengah resesi ekonomi yang dihadapi Brasil sehingga tuntutan
pelengseran terhadap Rousseff sebenarnya lebih berkaitan juga dengan kemampuannya mengelola ekonomi Brasil. Kombinasi skandal
Petrobras dan resesi membuat masyarakat Brasil marah besar. Minggu kedua Maret lalu, lebih sejuta orang
Brasil berdemonstrasi menuntut Rousseff mundur. Memburuknya keadaan dan
kinerja ekonomi Brasil, ditandai dengan mengkerutnya besaran ekonomi, laju
pertumbuhan yang lebih rendah, inflasi tinggi, kemiskinan bertambah, dan
membengkaknya penggangguran, tak serta merta menjadikan Rousseff dimakzulkan.
Problem
hukum yang dihadapi Rousseff adalah ia dituduh melakukan pembohongan publik
dengan merekayasa data keuangan untuk
menutup-nutupi terjadinya defisit
anggaran. Ditengarai ia melakukan itu
sebagai strategi kampanye untuk memenangi pemilihan presiden yang
kedua kalinya (2014). Pengadilan federal yang menelisik hasil audit
memutuskan Rousseff melanggar UU keuangan negara.
Brasil
termasuk negara korup. Pada 2015, skor
indeks persepsi korupsi (IPK)-nya 38
(dari skala 0-100), dan berada pada urutan ke-78 dari 176 negara. Bandingkan
dengan Indonesia yang IPK- nya 36 dengan urutan ke-88. Nilai uang yang
dikorup diperkirakan 3-5 persen dari produk domestik bruto yang pada 2014 mencapai 2,34 triliun dollar
AS. Asimetri relasi kekuasaan antara elite (ekonomi dan politik) telah
menyuburkan risiko korupsi dalam banyak segi kehidupan.
Mengakhiri impunitas
Di
balik kekecewaan dan frustrasi publik, ada rasa suka dan harap yang tumbuh di
benak sebagian besar orang Brasil. Pengungkapan dan pengadilan skandal
korupsi ini dianggap pertanda
berakhirnya rezim impunitas. Berpuluh tahun institusi peradilan tak mampu
mengadili elite politik dan ekonomi yang diduga melakukan praktik korupsi dan
kejahatan finansial lainnya.
Impunitas
Youssef jadi contoh lumpuhnya penegakan hukum. Berkali-kali ditahan dan
diadili untuk berbagai kejahatan, ia
hanya meringkuk sekitar satu tahun di
penjara. Ia mampu membeli penegak hukum sehingga selalu lolos dari jeratan
hukum.
Siapa
yang instrumental mengungkap dan
mengadili skandal ini? Institusi yang
berperan penting dalam pengungkapan skandal ini kementerian publik, semacam
kantor kejaksaan yang bebas dan mandiri, yang dirancang khusus untuk
menangani kasus-kasus yang mendapat perhatian publik. Karena skalanya,
skandal Petrobras memenuhi kriteria sebagai kasus yang dapat perhatian publik
itu.
Mereka
punya anggaran sendiri dan para jaksanya otonom. Bukan hanya terhadap
pemerintah, tetapi juga otonomi itu ada di antara para jaksanya. Lembaga ini
produk perjuangan melawan kediktatoran yang dihasilkan selama masa transisi
dari junta militer (1964-1985) ke demokrasi (1985-sekarang).
Aktor
lain yang sangat penting dan instrumental
adalah hakim. Peran itu dimainkan dengan sangat baik oleh Sergio Moro,
yang amat berpengalaman menangani isu korupsi. Sinergi yang baik
antara penyidik dan hakim bukan
hanya menandai berakhirnya impunitas para elite (ekonomi dan politik), tetapi
juga membangkitkan kepercayaan; pengadilan bisa diandalkan untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Selain
sukses mengungkap dan mengadili, mereka juga sukses membangun kerja sama
dengan Pemerintah Swiss. Dari kerja sama ini Pemerintah Swiss telah
membekukan sekitar 800 juta dollar AS dana yang diduga berasal dari skandal Petrobras. Bahkan, 290 juta dollar
AS di antaranya (dalam dua kali
pembayaran) sudah direpatriasi
(dikembalikan) ke Pemerintah Brasil.
"Ngalap" hikmah
Apa
pelajaran atau hikmah yang bisa didapat dari skandal Petrobras? Pertama,
kontrak-kontrak BUMN dengan para
penyuplai dan kontraktor perlu dibuka ke publik sehingga kongkalikong dan
permufakatan jahat bisa dihindari. Membuka kontrak ke publik itu hanya bagian kecil dari upaya mengembangkan
integritas bisnis BUMN. BUMN kita harus lebih transparan dan akuntabel dalam
pengelolaannya. Menjelang pemilihan presiden
dan pemilihan legislatif, risiko korupsi di BUMN ini biasanya
meningkat.
Kedua,
memutuskan hubungan patronase politik antara partai politik (dan
politisinya) dengan petinggi BUMN
supaya risiko terjadinya pemerasan politik makin kecil. Kalau upaya memutus
relasi politik tak mungkin, relasi politik para politisi dan jajaran
direksi/komisaris BUMN perlu dibuka ke publik. Siapa berelasi politik dengan
siapa.
Ketiga, institusi penegak hukum yang bebas dan
mandiri plus aparat penegak hukum yang baik, berintegritas dan otonom sangat
penting dan jadi kunci mengungkap dan mengadili kejahatan korupsi. Di sini
kita sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi. Kita harus terus
memperkuat kewenangan dan
kapasitasnya, bukan memperlemah apalagi mematikannya.
Keempat,
perlu dan pentingnya membangun kerja sama bantuan hukum timbal balik dengan
kawasan sekretif sehingga kita bisa meminta pembekuan dan pengembalian aset
hasil korupsi dan kejahatan finansial lainnya. Pemerintahan Joko Widodo sudah
mengambil langkah ini dengan
Pemerintah Swiss. Kerja sama ini perlu diperluas ke kawasan sekretif lain,
seperti Singapura, Hongkong, dan Amerika.
Hikmah
ini perlu dikemas jadi resep yang bisa
digunakan untuk mencegah atau menindak kejadian serupa dalam tubuh BUMN di
Tanah Air. Brasil bukan hanya
mengajari bagaimana bersepak bola, tetapi juga bagaimana mengungkap dan
mengadili mega skandal korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar