Desa, Korporasi Negara yang Keberatan Beban
Hanif Nurcholis ;
Guru Besar Bidang
Pemerintahan Daerah
pada FISIP Universitas Terbuka; Sekjen Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
|
MEDIA INDONESIA,
08 Juni 2016
JAN
Breman (1982) menyatakan desa sebagai rechtsgemeenschap (paguyungan
masyarakat yang diberi status badan hukum) merupakan bentukan kolonial.
Menurut Philippe C Schmitter (1974), lembaga masyarakat yang dikooptasi
negara sebagai alat kepentingan politik dan ekonominya disebut korporasi
negara (state corporatism).
Raffleslah yang pertama kali menjadikan komunitas petani sebagai korporasi
(Ball, 1982). Melalui IS 1854, komunitas petani secara resmi dijadikan
korporasi. Jepang yang menggantikan Belanda mengubah struktur organisasi dan
tugasnya tapi tidak mengubah statusnya.
Model
korporasi negara buatan Jepang dijiplak rezim Orde Baru di bawah UU No 5/
1979 dengan penyesuaian nomenklatur. Ku diubah menjadi Pemerintah Desa,
Tonarigumi menjadi RT, Azajokai menjadi RW, Heiho menjadi Hanra, Keibodan
menjadi Kamra, Bujingkai menjadi PKK, dan Seinendan menjadi Karang Taruna
(Kurasawa, 1993). Tugasnya diubah. Dari mobilisasi untuk kepentingan perang
menjadi mobilisasi untuk kepentingan politik dan ekonomi penguasa,
membersihkan sisa-sisa PKI, menarik pajak, mendata penduduk, termasuk membuat
pengantar surat-surat kependudukan, menyukseskan Bimas/KB/swadaya beras, dan
penyediaan lahan untuk proyek nasional dan industri.
Reformasi
tidak mengubah status desa. Status desa sama dan sebangun dengan desa di
bawah penguasa kolonial dan rezim Orde Baru. Pemerintah tidak menggaji
pengurusnya karena kepala desa bukan pejabat pemerintah dan perangkat desa
bukan aparatur sipil negara. Pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Struktur organisasinya sama
dengan desa zaman Jepang dan Orde Baru dengan sedikit modifikasi. Korporasi
mikro desa dipertahankan dengan tambahan LPMD dan penggantian nama hanra
menjadi linmas. Cara melaksanakan program juga sama, yaitu mobilisasi dan
kontrol.
UU
No 6/ 2014 memperkuat desa sebagai korporasi. Perbedaan dengan UU sebelumnya
ialah desa diberi alokasi dana dari APBN/APBD dan tugasnya diperluas. PP No
43/2014 juncto Pemendes dan TDT No 1/ 2015 secara sepihak menetapkan 90
urusan berdasarkan hak asal usul dan lokal skala desa. Ini belum ditambah
dengan urusan yang berasal dari pemerintah atasan berdasarkan penugasan.
Kewajiban
desa melaksanakan 90 urusan ditambah tugas dari pemerintah tentu melampui
kapasitasnya karena lima fakta: 1) Perangkat desa bukan birokrat profesional
melainkan pengurus paguyuban masyarakat yang sebagian besar tidak paham
konsep dan aturan birokrasi pemerintahan yang teknokratis; 2) Jumlah pengurus
desa 7-10 orang, semuanya staf, tidak ada pelaksana urusan sektoral; 3) Desa
tidak mempunyai dinas desa/badan pelaksana urusan; 4) BPD, keberadaannya sama
dengan tiadanya karena aturan yang mengikatnya tidak efektif; dan 5) Cara
melaksanakan programnya hanya mengandalkan mobilisasi korporasi mikro desa
(RT, RW, PKK, posyandu, linmas, LPM, LKMD, Karang Taruna, Kader Pembangunan
Desa, dll).
Berdasarkan
lima fakta tersebut, desa kesulitan membuat RPJM Des, RKP Des, dan Perdes
tentang APB Des dalam rangka mencairkan dana desa. Desa juga kesulitan
mengelola dana desa untuk pembangunan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi modern karena terdapat kesenjangan antara besarnya uang yang
diterima dan urusan yang harus dilaksanakan dengan kapasitas lembaga.
Sebagian besar perangkat desa tidak mampu menjabarkan 90 urusan dalam rencana
pembangunan disertai anggarannya secara terstruktur dan teknokratis. Program
pembangunan yang sudah disusun juga sulit dilaksanakan karena desa tidak
mempunyai dinas desa/badan pelaksana urusan. Dampak akhirnya ialah
kesejahteraan rakyat desa sulit diwujudkan.
Desa
terlampau keberatan beban. Memaksa paguyuban masyarakat melaksanakan tugas
negara yang sangat berat tersebut adalah tidak rasional. Hanya organ negara
yang seharusnya melaksanakan tugas ini. Tugas ini harus diserahkan kepada
organ negara resmi, yaitu pemerintah kabupaten/kota. Paguyuban masyarakat
difungsikan sebagai partisipan saja untuk kegiatan kemasyarakatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar