Kembali ke Kesukuan dengan Alat Keglobalan
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO JAWA POS
|
JAWA POS, 30 Mei
2016
Kini
ada banjir yang tidak mengenal musim: banjir informasi. Ada semangat yang
terus kian tinggi: semangat membuat grup di media sosial. Itulah gejala baru
pada zaman media elektronik sekarang ini. Ada baiknya, ada bahayanya. Dan
yang pasti banyak repotnya. Dan sering low batt-nya.
Hampir
tiap minggu saya di-invite. Untuk dimasukkan satu grup WA baru. Atau Line.
Padahal, saya sudah ikut delapan grup. Itu saja bukan main kepadatan lalu
lintas di HP saya. Praktis, tiap detik
ada info baru yang menyalakan layar HP. Apalagi kalau ada tokoh yang
meninggal. Atau sakit. Semua anggota grup mengirim doa. Bunyinya sama.
Yang
agak lumayan kalau ada yang berulang tahun. Memang isinya mirip-mirip semua
juga. Tapi, kadang ada lucunya.
Apalagi kalau ada yang kawin: Kadang ada pornonya. Yang tidak pernah
memberi info adalah kalau ada yang bercerai. Mungkin takut mantannya cepat
laku.
Grup
yang saya ikuti sangat bervariasi. Ada yang anggotanya dari empat aliran
agama. Ada yang satu agama, tapi dari aliran yang sangat berbeda. Ada yang grup kelompok aktivis. Ada yang
agak khusus: kelompok pimpinan Jawa Pos Group se-Indonesia. Dari semua grup
yang saya ikuti, tidak satu pun yang saya inisiatornya.
Seandainya
semua invite saya okekan, mungkin sudah lebih dari 100 grup di HP saya. Kini
saya terpaksa left dari beberapa grup karena lagi belajar. Di Amerika pula.
Dan menulis buku.
Waktu
masih BBM dulu, saya yang minta dibuatkan grup-grup BBM. Tapi, sebatas untuk
memperlancar pekerjaan: grup eselon I Kementerian BUMN, grup infrastruktur,
grup perkebunan, grup pabrik gula, dan seterusnya. Semua terkait dengan
pekerjaan. Praktis, semua persoalan dibahas di situ. Pekerjaan bisa
dikoordinasikan dengan amat cepat. Juga terbuka untuk semua anggota grup.
Produktif sekali.
Kini
agak berbeda.
Dari
grup-grup yang saya ikuti, saya bisa melihat banyak hal di luar pekerjaan.
Sekaligus mengamati perkembangan sosial.
Yang saya catat, grup-grup WA itu memiliki kecenderungan hanya diikuti
kelompoknya sendiri: yang satu ide, satu perjuangan, satu pemikiran. Bahkan satu tujuan.
Semula,
yang tidak satu ide pun ada yang di-invite. Tapi, biasanya leave. Terutama
setelah melihat perkembangan topik yang dibahas. Atau dominasi kelompok
pemikiran tertentu dari anggota tertentu. Dengan demikian, ada kecenderungan
tiap grup membangun solidaritas di antara grup itu sendiri.
Kian
lama kian mengental pula. Yang masuk
sering kali info yang hanya didasarkan asumsi. Yang sudah dibumbui emosi.
Saya mencatat betapa jauhnya jarak emosi yang terbangun di satu grup dengan
grup lainnya. Dari kelompok yang ideologinya berbeda. Yang agamanya berbeda.
Saya
ikut satu grup yang paling militan dari satu aliran. Tapi, saya juga ikut
grup yang sangat liberal. Saya ikut grup yang sangat tradisionalis, tapi juga
ikut grup yang sangat globalis.
Banyak
kalimat hujatan, makian, dan emosian di satu grup. Tapi, kata-kata itu tidak
membuat marah anggota grup. Mungkin karena anggota grupnya memang dari kelompok
yang sama. Bahkan, kata-kata keras itu lebih banyak didukung pula.
Solidaritas di dalam grup itu terbangun dengan solidnya.
Saya
membayangkan kalau saja anggota grup yang berbeda itu menjadi satu, alangkah
serunya. Mungkin bukan hanya perang kata-kata. Bisa-bisa berlanjut ke
perkelahian di jalan-jalan. Saking
kerasnya.
Zaman
dulu, suku-suku berkelompok sesama anggota suku. Di satu lokasi yang berbeda.
Tidak ada komunikasi antarsuku. Sering terjadi perang suku. Kadang karena
tidak ada komunikasi. Atau karena ego sukunya.
Itu
semua hasil dari pembangunan soliditas solidaritas di dalam sukunya.
Kini,
di zaman yang amat terbuka ini, ternyata bisa juga muncul gejala kembali ke
kesukuan. Atau ke kelompokan. Suku juga dalam pengertian yang berbeda. Dengan
isolasi berbentuk grup WA atau BBM atau Line.
Dari
sini, saya bangga kepada generasi baru di Jawa Pos Group. Yang saya ikuti dari
grup WA mereka. Yang begitu yakinnya bahwa koran tetap akan jaya. Asal
manajemennya bagus. Dan isinya menyesuaikan dengan keinginan dasar
pembacanya.
Setiap
kali ada koran yang mati dengan malu-malu (dengan alasan pindah ke edisi
online yang lebih modern), generasi baru di Jawa Pos Group (JPG) mengkajinya
dengan kritis: Itu mati karena zaman, karena manajemen, karena SDM, karena
kreativitas, atau karena nasib.
Apalagi,
generasi baru di JPG juga terus mengikuti perkembangan terkini di negara
maju. Bahwa koran online ternyata kian sulit juga: tidak menghasilkan uang.
Tidak cukup untuk membiayai perbaikan mutu jurnalistiknya. Saya bersyukur bukan hanya karena itu.
Tapi, koran ternyata menjadi media yang dibaca lintas suku, lintas aliran,
dan lintas grup.
Justru
pada zaman menjamurnya grup WA atau BBM ini peran koran menjadi beda: menjadi
clearinghouse informasi. Koran bisa meng-clear-kan berbagai informasi yang tidak clear. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar