Petani, Kuda, dan Para Zombi
AS Laksana ; Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra yang
dikenal aktif menulis
di
berbagai media cetak nasional di Indonesia
|
JAWA POS, 30 Mei
2016
CERITA
tentang petani dan kuda ini saya dengar kali pertama dari sahabat saya,
seorang terapis yang suka mengumpulkan cerita-cerita, termasuk kisah nyata,
dongeng dari berbagai negara, dan cerita-cerita lucu. Ia bilang, cerita
memudahkannya berurusan bukan hanya dengan anak-anak, tetapi juga dengan
orang-orang dewasa.
’’Semua
orang menyukai cerita,” katanya, ’’dan sesungguhnya komunikasi yang paling
mengasyikkan adalah ketika kita saling bertukar cerita. Waktu tidak terasa
ketika kita bercakap-cakap dengan orang yang pintar bercerita dan kita bisa
betah berlama-lama menghabiskan waktu dengannya.”
Mungkin
Anda sudah pernah mendengar atau membaca cerita tentang petani dan kuda ini,
atau mungkin belum. Menurut saya, ini cerita yang mengasyikkan tentang
bagaimana kebiasaan orang di dalam melihat segala sesuatu di sekitarnya,
mungkin juga kebiasaan kita.
Seorang
petani di sebuah desa menemukan seekor kuda yang tersesat dipekarangan
rumahnya. Pagi-pagi saat bangun tidur ia mendapati binatang itu berdiri di
samping kandang kudanya.
Dengan
bulu putih yang bersinar terang, ia seperti hadiah istimewa yang di kirimkan
malaikat dari langit. Si petani menanyakan kepada tetangga-tetangganya apakah
mereka tahu siapa pemilik kuda tersebut, dan tidak ada satu pun di antara
mereka yang tahu.
Sampai
sebulan kemudian tetap tidak ada orang datang mencari kuda itu. Si petani
merawatnya dan kini ia memiliki dua ekor kuda. Tetangga-tetangganya
mengatakan bahwa ia sungguh beruntung menemukan kuda tersebut.
’’Tergantung
cara kita melihat,” kata petani tersebut.
’’Jelas
kau sangat beruntung,” kata tetangga-tetangganya. ’’Kau mendapatkan kuda
tanpa harus membelinya.’’
Kuda
itu jantan dan gagah dan masih cukup liar. Anak lelaki si petani, seorang
pemuda berusia tujuh belas tahun, terjatuh saat berusaha menjinakkannya.
Kakinya
patah. Para tetangga datang menjenguk si anak lelaki.
”Nasibmu
sungguh malang,” kata seorang tetanggganya kepada si petani. ’’Anak lelakimu
sekarang patah kaki.’’
’’Tergantung,”
kata petani itu. ’’Bukankah beberapa waktu lalu kau mengatakan aku sangat
beruntung menemukan kuda itu? Sekarang kuda itu menyebabkan anak lelakiku
patah kaki.”
’’Karena
aku tidak menduga anakmu akan jatuh dan mengalami patah kaki. Bagaimanapun,
aku ikut bersedih akan nasib burukmu. Jika kau tahu kejadiannya akan seperti
ini, tentu kau lebih suka tidak menemukan kuda, bukan?”
’’Tergantung,”
kata si petani.
’’Bagaimana
kau bisa menjawab seperti itu? Ia anakmu satu-satunya,” kata tetangganya.
Patah
kaki yang diderita si anak sangat parah dan ia tampaknya perlu waktu lama
untuk pulih. Beberapa saat kemudian, pasukan kerajaan datang ke desa-desa
mencari para pemuda untuk dibawa ke medan pertempuran. Raja negeri tetangga
mengobarkan perang dan sekarang mereka sedang berkemah di dekat perbatasan.
Sekarang
kerajaan memerlukan para lelaki muda untuk dilatih dan dibawa ke medan tempur
karena pasukan musuh terlalu kuat. Semua anak lelaki yang sudah dewasa,
termasuk para pemuda di desa si petani, dibawa pasukan dari kerajaan, kecuali
anak lelaki si petani.
Tidak
mungkin membawa anak lelaki yang sedang patah kaki ke medan pertempuran. Saya
mengulangi cerita tersebut ke anak saya, sebagai iseng-iseng menjelang tidur,
dan mengganti medan tempur dengan serbuan para zombi karena pada waktu itu ia
sedang menyukai permainan Plants versus Zombies.
Itu
permainan komputer di mana kita harus memagari rumah dengan tanaman-tanaman
untuk membendung serbuan para zombi, makhluk yang digambarkan berusaha masuk
untuk mengunyah otak pemilik rumah, sehingga pemilik rumah kehilangan otak
dan menjadi zombi juga.
”Pada
suatu hari,” kata saya, ”kerajaan memanggil semua pemuda yang sudah dewasa
karena para zombi menyerbu kerajaan tersebut. Semua anak lelaki yang sudah
besar dipanggil ke istana untuk dikirim ke medan pertempuran melawan para
zombi, kecuali anak lelaki si petani. Ia sedang patah kaki sehingga tidak
mungkin disuruh menghadapi para zombi itu.”
”Zombi
itu ada betulan?” tanya anak saya.
”Hanya
cerita,” kata saya.
”Tapi,
dia ada betulan?” ia terus mengejar.
Saya
hampir tidak tahan dan ingin mengatakan bahwa zombi-zombi itu ada betulan dan
mereka bergentayangan di sekeliling kita. Mereka adalah makhluk-makhluk tanpa
otak sehingga tidak mampu berpikir dan tidak mampu memahami baik-buruk.
Mereka
tidak memiliki perasaan bersalah, tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan
sangat merugikan orang lain, dan tidak mempan diberi tahu karena mereka tidak
punya otak.
Tetapi,
saya tidak menyampaikan jawaban seperti itu. Ia baru enam tahun saat itu.
Saya
hanya meyakinkan anak saya bahwa zombi hanya cerita tentang makhluk-makhluk
bodoh yang ingin membuat orang lain menjadi bodoh juga sama dengan mereka.
Jika mereka berhasil menguasai kerajaan, pasti sengsaralah semua orang.
Negara
akan dikuasai makhluk-makhluk bodoh. Maka, begitulah, setiap pemuda dibawa
pasukan kerajaan untuk memerangi para zombi.
Orang-orang
tua di desa itu merasa sedih melepas keberangkatan anak-anak mereka. Si
petani sedang memberi makan dua ekor kudanya ketika beberapa tetangganya
lewat di dekat rumah.
Mereka
berhenti dan menyampaikan perasaan mereka kepada si petani.
”Kau
beruntung,” kata salah seorang dari mereka.’’Anakmu tidak harus berangkat
menghadapi para zombi karena kakinya patah, sedangkan anak-anak kami harus
berangkat dengan risiko kehilangan otak.”
”Ketika
aku menemukan kuda, kalian mengatakan aku beruntung. Ketika anakku patah kaki
karena jatuh dari kuda itu, kalian mengatakan alangkah buruk nasibku. Kuda
itu membawa nasib sial. Sekarang, kalian mengatakan aku beruntung karena
anakku patah kaki. Jadi, sebenarnya aku beruntung atau sial sudah menemukan
kuda itu?” tanya si petani.
”Ternyata
nasibmu baik,” kata tetangganya.
”Anakku
justru bersedih tidak bisa ikut memerangi makhluk-makhluk bodoh itu,” kata si
petani.
”Justru
karena itu kau bernasib baik,” kata tetangganya.
”Baiklah,”
kata si petani. ”Kalian boleh berkata apa saja, tetapi nasibku tidak
bergantung kepada kata-kata kalian. Masalahnya, tidak lelahkah kalian
memikirkan nasib baik dan nasib buruk orang lain?Kalian perlu memikirkan
nasib kalian sendiri.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar