Mengapa Soeharto (Tidak) Pantas
Menjadi Pahlawan Nasional
Miftahul Habib ; Guru Sejarah di Gunungkidul; Saat ini
sedang menempuh studi
di
program Magister Pendidikan Sejarah UNS
|
INDOPROGRESS, 30
Mei 2016
AKHIR-akhir
ini publik Indonesia disuguhi wacana pengangkatan presiden kedua Indonesia,
Soeharto sebagai pahlawan nasional. Salah satu pihak yang serius mengangkat
Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah mantan ketua umum Golkar Aburizal
Bakrie. Dalam pidatonya di Munaslub Golkar baru-baru ini, ARB menyatakan jika
Golkar mendukung pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.[1] Selain
ARB dan Golkar, politisi Gerindra dan wakil ketua DPR Fadli Zon juga
menyatakan hal serupa.[2] Di sisi lain, Menteri Sosial, Khofifah Indar
Parawarsa juga mengakui jika proses pengajuan Soeharto sebagai pahlawan
nasional saat ini masih diproses dan sedang berada di Dewan Gelar.[3]
Wacana
tersebut jelas memancing pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang pro
menganggap jika Soeharto memang pantas mendapatkan gelar tersebut. Hal
tersebut didasari pada peran Soeharto dalam berbagai momen penting perjuangan
bangsa Indonesia. Selain itu, mereka juga menganggap jika warisan pembangunan
yang dilakukan selama masa Orde Baru merupakan bukti nyata jasa serta sumbangsih
Soeharto bagi bangsa Indonesia. Sepintas alasan-alasan tersebut terdengar
masuk akal. Namun demikian, kita harus menanggapi secara kritis setiap
argumen tersebut.
Saya
sendiri dengan jelas menolak usulan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan
nasional. Setidaknya ada empat alasan yang membuat saya tidak setuju terhadap
usulan tersebut. Berikut adalah alasan-alasan yang membuat Soeharto tidak
pantas menjadi pahlawan nasional.
Pertama,
Soeharto adalah orang yang membuat Indonesia sebagai sebuah negara yang pada
mulanya dengan garang menyuarakan netralitas dalam Perang Dingin, menjadi
negara yang tunduk pada kekuasaan Amerika Serikat. Soeharto mampu
memanfaatkan peristiwa penculikan terhadap pimpinan Angkatan Darat pada 1
Oktober 1965, sebagai dalih untuk menjatuhkan Soekarno sekaligus menghabisi
seluruh basis pendukung presiden pertama Republik Indonesia tersebut.[4]
Dengan dijatuhkannya Soekarno serta pembantaian terhadap mayoritas
pendukungnya yang didominasi oleh golongan Kiri, maka jalan Amerika Serikat
untuk menguasai Indonesia melalui Soeharto menjadi jauh lebih mudah.
Soekarno
memang merupakan salah satu musuh utama Amerika Serikat pada masa Perang
Dingin. Manuver politik luar negeri Soekarno yang berusaha menggalang
kekuatan negara-negara Dunia Ketiga melalui New Emerging Force (NEFO),
dianggap sebagai ancaman terhadap ambisi Amerika Serikat untuk menguasai
dunia. Selain itu, sikap tegas Soekarno yang menolak segala bentuk
kolonialisme dan imperialisme membuatnya semakin dibenci AS. Oleh karena itu,
AS berusaha melakukan segala cara untuk menjatuhkan Soekarno dari kursi
kepresidenan. Militer, terutama Angkatan Darat, menjadi mitra utama AS dalam
upaya pendongkelan itu. Angkatan Darat sendiri pada masa itu memiliki
kepentingan serupa untuk menjatuhkan Soekarno serta rival politiknya yang
lain, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).
Angkatan
Darat merupakan mitra utama bagi AS untuk menjatuhkan Soekarno. Mereka
berusaha mencari momen yang tepat untuk menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia tersebut. Peristiwa 1 Oktober 1965, merupakan dalih yang tepat
untuk melaksanakan rencana tersebut. Segera setelah sejumlah pimpinannya
terbunuh, Angkatan Darat yang dipimpin Soeharto mulai melakukan manuver untuk
menjatuhkan Soekarno. Pimpinan PKI beserta anggota juga simpatisannya juga
dibersihkan. Jumlah korban diperkirakan berjumlah 500.000 hingga 3.000.000
jiwa. Pembunuhan massal terhadap golongan Kiri Indonesia, menjadi pondasi
bagi berdirinya rezim Orde Baru yang disponsori AS. Presiden Soekarno sendiri
sejak peristiwa tersebut secara perlahan dilucuti kekuasaannya oleh Soeharto
dan pendukungnya. Puncaknya, Soekarno diberhentikan dari jabatan presiden
pada tanggal 12 Maret 1967 dengan Soeharto diangkat sebagai penggantinya.
Sejak saat itu, Soekarno dijadikan tahanan rumah dan dibiarkan sakit hingga
meninggal dunia dengan keadaan yang sangat tidak layak.
Kedua,
Soeharto merupakan orang yang membuka akses seluas-luasnya terhadap ekspansi
perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeksploitasi sumber daya alam
Indonesia. Salah satu bukti nyata adalah dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Salah satu pasal dalam UU PMA
itu bahkan menjamin tidak akan dilakukannya nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia.[5] Jaminan tersebut
memberikan angin segar bagi perusahaan-perusahaan asing yang ingin masuk dan
mengeksploitasi alam Indonesia. Setelahnya, berbagai macam perusahaan asing
seperti Freeport, Exxon, Newmont mulai masuk dan beroperasi di Indonesia.
Sikap
pemerintahan Orde Baru yang ramah terhadap invasi kapital asing juga ditandai
oleh berbagai macam kerja sama dengan lembaga donor seperti IMF, IGGI, World
Bank, dan sebagainya. Perkembangan ekonomi Indonesia kemudian sangat
bergantung pada arahan lembaga-lembaga donor tersebut. Pembangunan
infrastruktur yang dilakukan selama masa Orde Baru nyatanya lebih banyak
memberikan keuntungan kepada berbagai macam perusahaan asing serta lembaga
donor asing tersebut. Hal tersebut tentu berkebalikan dengan kenyataan pahit
yang dialami sebagian rakyat Indonesia. Banyak rakyat Indonesia yang
mengalami penggusuran akibat proyek pembangunan tersebut. Indonesia secara
perlahan tapi pasti mulai mengintegrasikan diri dalam tatanan dunia yang
serba kapitalistik. Tentunya segala kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru
bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi pemerintahan Soekarno yang
memperjuangkan ekonomi berdikari serta mengupayakan nasionalisasi aset-aset
negara dari cengkeraman kapital asing.
Ketiga,
Soeharto adalah orang yang menciptakan dongeng sejarah nasional Indonesia
sekaligus mendekonstruksi nasionalisme Indonesia. Soeharto sadar jika karya
historis selalu memiliki nilai sosial-politis dalam masyarakat dan bahkan
dapat menentukan arah perkembangan suatu masyarakat. Melalui seorang
sejarawan yang memiliki obsesi terhadap militer, Nugroho Notosusanto, rezim
Orde Baru menggunakan sejarah sebagai alat ideologis sekaligus senjata untuk
memberangus musuh-musuh politik rezim militer tersebut.[6] Historiografi Indonesia
pada masa Orde Baru benar-benar mencerminkan kepentingan ideologis Negara
untuk memperkukuh rezim yang berkuasa. Penyusunan buku Sejarah Nasional
Indonesia yang kental dengan corak militeristik dan meminggirkan sejumlah
golongan (terutama golongan Kiri), menjadi bukti nyata upaya negara untuk
menyampaikan pesan-pesan ideologis dalam suatu karya historis. Singkatnya,
melalui penulisan sejarah nasional Indonesia rezim Orde Baru berusaha
menciptakan mitos yang melegitimasi kekuasaan mereka sendiri. Hingga saat ini
narasi sejarah Orde Baru masih banyak digunakan dan dipercaya oleh masyarakat
Indonesia. Tak heran jika kemudian kelompok-kelompok fasis menggunakan mitos
sejarah nasional ala Orde Baru dalam melegitimasi upaya mereka merepresi
kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Selain
menciptakan mitos sejarah nasional yang melegitimasi kekuasannya sendiri,
Soeharto dan Orde Baru juga membalikkan konsep nasionalisme Indonesia.
Menurut Iqra Anugrah, berkuasanya Soeharto pasca peristiwa 1965 menjadi titik
balik kemenangan “Nasionalisme Resmi” atas “Nasionalisme Popular dan
Radikal”.[7] Nasionalisme Indonesia, pada dasarnya lebih bercorak popular dan
radikal dengan cita-cita pembebasan nasional. Cita-cita tersebut telah sejak
lama didengungkan oleh para tokoh pergerakan nasional kita terutama sejak era
1920-an. Cita-cita tersebut berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1965. Corak Nasionalisme tersebut yang berusaha
dipertahankan oleh Soekarno selama ia memimpin Indonesia.
Ketika
Soeharto menggantikan Soekarno, dengan segera konsep Nasionalisme tersebut
berubah. Nasionalisme Indonesia segera berubah coraknya dan menjadi jauh
lebih konservatif. Orde Baru melalui militernya terus melakukan represi
terhadap rakyat Indonesia sendiri. Pemerintah Orde Baru hanya mewarisi
struktur ekonomi-sosial-politik yang terbentuk selama masa kolonial yang
cenderung diskriminatif, eksploitatif, dan represif. Sesuatu yang jelas
bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Keempat,
Soeharto adalah pelanggar HAM berat. Belum lama ini, KontraS menghimpun data
kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan selama rezim Orde Baru pimpinan
Soeharto. Tercatat ada sedikitnya 15 kasus pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh rezim Soeharto dengan total korban mencapai lebih dari
1.500.000 jiwa.[8] Beberapa kasus pelanggaran HAM berat tersebut antara lain
Pembantaian Massal 1965, Kasus Pendudukan Timor Timur (1974-1999), Tragedi
Tanjung Priok (1984), Tragedi Talangsari (1989), Penculikan Aktivis Reformasi
(1998) dan sederet kasus pelanggaran HAM berat yang lainnya. Parahnya lagi,
kasus-kasus tersebut hingga saat ini belum menemukan kejelasan untuk
penyelesaiannya.
Kenyataan
bahwa Soeharto adalah seorang pelanggar HAM merupakan tantangan bagi
pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap penyelesaian kasus HAM
tersebut. Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional jelas sangat melukai
perasaan para korban. Selain itu, menjadikan Soeharto sebagai pahlawan
nasional juga menunjukkan masih adanya impunitas serta perlindungan terhadap
pelaku pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini yang kedepannya bakal
mempersulit upaya rekonsiliasi serta penyelesaian berbagai pelanggaran HAM
tersebut. Dengan demikian, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional
justru menjadi suatu langkah mundur bagi pemerintah dalam upaya menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Demikianlah
beberapa argumen penolakan terhadap rencana pengangkatan Soeharto sebagai
pahlawan nasional. Pahlawan nasional idealnya merupakan orang yang memberi
dampak positif dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya.
Beberapa fakta di atas jelas menunjukkan jika Soeharto melakukan hal yang
sebaliknya. Selain hal-hal tersebut, masih ada beberapa argumen penolakan
lain seperti pemberangusan demokrasi serta berkembangnya praktik Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia selama masa Orde Baru.
Bagaimanapun
upaya pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional selalu memiliki
implikasi sosial-politik. Mendukung pengangkatan tersebut sama artinya dengan
mengamini serta memberi peluang kemunculan kembali rezim yang represif serta
diskriminatif terhadap rakyat. Dengan demikian, wacana terhadap penolakan
pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional harus segera digiatkan.
Penolakan tersebut dapat menjadi simbol sekaligus pengakuan terhadap
pentingnya pengungkapan kejahatan masa lalu. Dalam konteks yang lebih besar,
hal tersebut dapat menjadi langkah awal membawa Indonesia kembali kepada
cita-citanya yang selama ini dilupakan. Semoga hal tersebut tidak hanya
menjadi angan belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar