Duterte
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina
Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 08 Juni
2016
Tanpa sungkan, Duterte
meletakkan kakinya di atas meja di hadapan para wartawan, untuk menunjukkan
kakinya yang menggunakan sepatu tanpa merek dan tanpa kaus kaki. Melalui
tindakan itu, ia ingin mengatakan bahwa hidupnya selama ini sebagai wali kota
Davao sangat sederhana; walaupun Duterte sendiri adalah salah satu dari
ratusan keluarga ningrat di Filipina yang berpolitik. Dan berkat nama
ayahnya, Vicente G Duterte, yang pernah menjabat sebagai gubernur Davao
sebelum terjadinya otonomi daerah, ia merepresentasikan dirinya sebagai
seorang yang tidak haus kekayaan.
Ia bahkan berkeyakinan
apabila saat menjabat presiden, ia masuk penjara; itu pasti bukan karena
korupsi, melainkan mungkin karena melakukan pembunuhan massal. Sebuah
pengakuan yang terus terang, namun mengerikan. Duterte adalah sosok yang
sangat kontroversial dalam sejarah politik pemilihan presiden di Filipina.
Masyarakat di Amerika Serikat yang membela capres kontroversial Donald Trump
sering menggunakan Duterte sebagai contoh terburuk dari kandidat presiden
yang pernah ada di dunia.
Namun demikian,
karakternya yang kontroversial itu juga yang membuat 40% pemilih di Filipina
percaya bahwa dia dapat menyelesaikan segala masalah yang ada di Filipina
dibandingkan dengan kandidat yang lain. Pertanyaannya, sejauh apa sikap
kontroversialnya sebagai presiden yang akan disumpah pada 30 Juni nanti mampu
mengatasi permasalahan ekonomi dan politik luar negeri yang diwariskan oleh
Presiden Benigno Aquino Jr?
Tidak ada yang dapat
menjawab dengan tegas seperti apakah kebijakan ekonomi dalam negeri dan
politik luar negeri Filipina di bawah kepemimpinan Duterte. Hal ini
disebabkan selama kampanye, hampir semua kandidat, termasuk Duterte tidak
menjelaskan secara terang apa masalah ekonomi terbesar yang saat ini dihadapi
dan perlu diantisipasi lewat kebijaksanaannya nanti ketika menjabat sebagai
presiden ke-16 di Filipina.
Tiadanya agenda
ekonomi Duterte atau masing-masing capres yang berbeda 180 derajat dengan
Presiden Aquino menunjukkan pengakuan bahwa enam tahun masa Aquino telah
membuahkan hasil yang diharapkan. Philippine Statistics Authority mencatat
pertumbuhan ekonomi Filipina pada kuartal pertama 2016 telah mencapai 6,9%
dan ini termasuk paling tinggi bahkan dibandingkan dengan China (6,7%),
Vietnam (5,5%), Indonesia (4,9%), atau Malaysia (4,2%).
Pertumbuhan yang
tinggi itu juga mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan yang telah diambil
Presiden Benigno Aquino, seperti mempercepat pembangunan infrastruktur, telah
mendatangkan investasi yang lebih besar lagi. Dalam masalah Trans Pacific Partnership, misalnya,
Duterte mengaku akan melanjutkan kebijakan Presiden Aquino untuk
meliberalisasikan kebijakan-kebijakan yang dianggap menghambat investasi dan
perdagangan, seperti mengubah konstitusi yang akan mengizinkan kepemilikan
perusahaan oleh orang asing.
Demikian pula akan
meneruskan perdagangan dengan China, walaupun hingga saat ini neraca
perdagangan Filipina dengan Negeri Tirai Bambu tersebut masih defisit.
Padahal, masalah ekonomi yang dapat dikatakan sebagai kelemahan dari Presiden
Aquino adalah kesenjangan pendapatan. Social
Weather Stations yang mengadakan survei kemiskinan menemukan bahwa 11,2
juta masyarakat Filipina hidup di bawah garis kemiskinan akhir 2015.
Masalah ini sebenarnya
bisa diselesaikan dengan meningkatkan pajak progresif bagi yang kaya. Namun,
Aquino memilih untuk tidak melakukannya setelah menghadapi protes dari
pengusaha. Akhirnya pajak progresif untuk pengusaha dan orangorang kaya tetap
rendah walaupun sempat dinaikkan awal 2012. Duterte tampaknya juga akan
menjalankan kebijakan yang sama atas dasar pertimbangan yang serupa.
Salah satu kebijakan
pajak yang akan diteruskan adalah diberlakukannya ”sin-tax ” (pajak atas
dosa) untuk produk-produk yang dianggap akan merugikan masyarakat seperti
tembakau, rokok, alkohol, dan barang-barang konsumtif lain. Uang dari sin tax
ini yang dipakai untuk membiayai bantuan dan jaminan sosial di Filipina.
Dengan kata lain, tidak ada kebijakan Duterte yang akan lebih progresif untuk
mengatasi masalah kesenjangan tersebut.
Salah satu yang paling
signifikan mungkin adalah program land-reform yang akan memberikan akses
tanah bagi rakyat miskin di pedesaan untuk produksi. Jabatan untuk program
ini kemungkinan akan diserahkan kepada menteri yang berasal dari kelompok
kiri. Pasalnya, mereka telah melakukan advokasi dan memiliki pengetahuan yang
dalam tentang masalah ini sejak lama. Selain program land-reform itu, sejauh
yang saya dengar dari kolega saya di Filipina, Duterte selalu mengaitkan
segala masalah dengan tindak kejahatan.
Baginya, akar masalah
ekonomi atau politik adalah kejahatan kriminal yang terjadi di jalanjalan
ataupun korupsi di dalam tubuh pemerintahan. Satu-satunya solusi bagi semua
kejahatan adalah ancaman kematian. Singkatnya solusi yang ditawarkan seorang
pemimpin ternyata sesederhana masyarakat memahami masalah yang ada. Dan ini
bukan cuma fenomena di Filipina, melainkan juga menjangkit di hampir seluruh
panggung politik dunia termasuk Indonesia.
Tidak salah juga
apabila sebagian besar masyarakat Filipina dari kalangan bawah, menengah,
atau atas tidak terlalu mendalami akar masalah kesenjangan ekonomi yang
dihadapi masyarakat, karena partai- partai politik di sana juga tidak
melakukan pendidikan politik yang mengakar. Masyarakat lebih merasa khawatir
atas kenyamanan mereka yang telah diganggu oleh aktivitas kriminal yang
bergerak di sektor perdagangan obat bius, human trafficking, hingga sengketa
tanah.
Filipina adalah salah
satu negara di Asia Tenggara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang yang
membebaskan kepemilikan senjata api secara pribadi. Meskipun bebas, akses
terhadap senjata hanya dapat didominasi oleh klan-klan keluarga ningrat dan
pemilik tanah. Oleh sebab itu, tidak heran apabila Filipina memiliki banyak
milisi bersenjata yang menguasai tidak hanya properti tanah, tetapi juga
masuk ke dalam struktur kekuasaan politik. Beberapa tuan tanah banyak yang
menjabat sebagai pemimpin daerah dan berkuasa secara turun-temurun.
Tantangan buat Duterte
adalah bagaimana kepemimpinannya yang tampaknya antikelembagaan dapat
melakukan perubahan atas masalah-masalah kemiskinan, korupsi, kejahatan,
termasuk juga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang bersifat struktural.
Sejauh ini ia mempercayai bahwa kekerasan adalah salah satu cara untuk
menyelesaikan masalahmasalah tersebut. Ia, misalnya, akan menempatkan
orangorang berlatar belakang militer untuk dapat menyelesaikan masalah-
masalah sosial seperti lingkungan, mafia pertambangan, tanah.
Ia percaya bahwa
seseorang dengan latar belakang militer dapat menjalankan perintahnya tanpa
kompromi. Fenomena ini mengkhawatirkan karena cara pikir ini disetujui atau
dianggap wajar oleh warganya. Ini mengingatkan juga pada kondisi di Indonesia
di mana orang mencari figur tegas, meskipun secara tidak langsung mengizinkan
kekerasan untuk berkembang biak. Tantangan yang lebih besar juga adalah buat
masyarakat sipil, terutama para penggiat demokrasi dan HAM.
Bagaimana mengawal
kebijakan Duterte karena Duterte adalah seseorang yang penuh kontradiksi. Ia,
misalnya, percaya terhadap kekerasan untuk membuat jera, namun ia mengajak
dialog para pemberontak muslim di Moro dan mengajak beberapa pimpinan komunis
dan tokoh yang beraliran kiri ke dalam kabinet. Ia juga mengakui keberadaan
LGBT, melarang merokok di tempat umum, atau mengeluarkan kebijakan
antidiskriminasi untuk melindungi muslim dari agen properti yang pilih kasih.
Duterte mungkin akan
lebih lunak sikap dan kata-katanya ketika menjadi presiden. Namun, kita juga
dapat merefleksikan bahwa naiknya Duterte yang mengesampingkan tatanan hukum
yang ada dan merendahkan nilai-nilai manusiawi dapat terjadi juga di
Indonesia apabila partai-partai politik, lembaga swadaya masyarakat,
akademisi, dan para aktivis demokrasi berhenti mendidik dan menjaga republik
ini dengan akal dan pikiran yang rasional.
Apabila ini terjadi,
apakah hanya mereka yang memiliki akses kekuasaan yang akan memetik
keuntungan sementara masyarakat umum akan tetap dipinggirkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar