Perdamaian Palestina-Israel dan Peran Indonesia
Tantowi Yahya ;
Anggota Komisi I DPR RI
|
KORAN SINDO, 08 Juni
2016
Beberapa hari lalu
jelang Ramadan, sejumlah negara menggelar pertemuan tingkat menteri di Paris
dalam forum Middle East Peace Initiative. Pertemuan itu diprakarsai Prancis dalam
upaya mencapai perdamaian di Timur Tengah, khususnya antara Palestina dan
Israel. Setidaknya ada 29 negara yang hadir, terutama pihak-pihak yang kerap
disebut Kuartet Perdamaian Timur Tengah yaitu Amerika Serikat (AS), Uni
Eropa, Rusia, dan PBB. Selain itu, hadir pula negara-negara kunci di kawasan
Teluk seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yordania.
Dari Asia hanya tiga
negara yang diundang yakni Indonesia, Jepang, dan China selaku bagian dari
Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB. Pertemuan Paris sebagaimana digambarkan
oleh media internasional berlangsung komprehensif dan mengarah pada upaya
nyata menghidupkan kembali dialog perdamaian antara Israel dan Palestina yang
sudah lama terhenti.
Salah satu solusi nyata
yang disepakati para menteri luar negeri yang bertemu di sana, sebagaimana
tercantum dalam komunike bersama, ”...
two-state solution is the only way to achieve an enduring peace, with two
states, Israel and Palestine, living side by side in peace and security.”
Lebih jauh, Forum Paris mendesak Israel untuk mengakhiri okupasi terhadap
Palestina yang dimulai sejak 1967, dengan cara kembali membangun dialog
langsung antardua negara, berbasis Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 (1967)
dan 338 (1973).
Peran Prancis yang
menonjol dalam pertemuan ini menarik dikaji karena biasanya peran kunci
perdamaian Israel-Palestina selalu dimainkan oleh AS. Dengan demikian,
kemungkinan telah terjadi pergeseran kekuatan, di mana Prancis (dan negara-negara
Uni Eropa) tidak ingin selalu berada di bawah garis politik luar negeri
Washington. Tentu saja ini langkah maju bagi proses perdamaian Timur Tengah.
Meski demikian, tidak
ada jaminan inisiatif Prancis mendapat sambutan positif dari Israel, apalagi
bila memaksa negara Yahudi tersebut kembali ke resolusi 242 dan 338-. Isi
resolusi 242 sangat ideal yakni memerintahkan kepada Israel untuk segera
menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam Perang
Enam Hari. Itu artinya, wilayah yang dikuasai Israel secara ilegal
pascaperang 1967 harus dikembalikan ke Palestina.
Menghapus Hak Veto
Pertanyaannya
kemudian, apakah klausul-klausul ideal di atas yang didorong Forum Paris
cukup realistis untuk diwujudkan? Sulit untuk mengatakan ya. Pasalnya, sejak
awal Israel berulangkali mengabaikan Resolusi DK PBB, sementara PBB dan dunia
hanya diam. Sikap seenaknya Israel tersebut karena Tel Aviv mendapat dukungan
tanpa syarat dari sekutu abadinya di Barat, tak lain AS.
Dalam banyak kasus AS
berulangkali menggunakan kekuatan istimewanya berupa hak veto untuk
melindungi Israel. Tercatat dari 1972 sampai 1996 saja, AS telah memveto 30
kali resolusi PBB yang mengutuk Israel. Itu setidaknya menggambarkan sikap
politik AS terhadap Israel. Padahal, jika resolusi PBB tidak diganjal oleh
AS, banyak hal yang bisa dilakukan dunia internasional untuk meredam kekerasan
di Timur Tengah. Meski begitu, dunia tidak boleh pesimistis dengan banyak
tantangan merajut perdamaian di Palestina.
Sekecil apa pun celah
yang ada harus dimanfaatkan. Munculnya Prancis sebagai host bisa jadi menjadi
preseden baru bagi masa depan perundingan. Karakter Prancis yang lebih netral
terhadap Israel setidaknya menyingsingkan harapan baru bagi Palestina. Forum
Paris juga menguatkan two state solution ke arah yang lebih teknis, bukan
sekadar jargon diplomasi. Dari sini semua negara yang terlibat perundingan
harus mulai menyiapkan berbagai langkah guna meyakinkan PBB dan AS agar
solusi realistis tersebut bisa dijalankan.
Wacana penghapusan hak
veto di PBB juga sangat signifikan pengaruhnya bagi perdamaian
Palestina-Israel karena itulah salah satu ganjalan yang selama ini muncul.
Indonesia sejak tahun lalu bersama sejumlah negara tengah mendorong apa yang
dinamakan dengan Reformasi PBB. Salah satu titik reformasi adalah penghapusan
hak veto bagi lima negara yaitu AS, Rusia, Inggris, Prancis, dan China.
Indonesia menilai hak veto sangat tidak demokratis dan tidak mencerminkan
keadilan bagi seluruh negara-negara anggota PBB.
Selain alasan tak
demokratis, ada dasar lain yang mengharuskan hak veto segera dihapus, yaitu
masih ada hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan
undang-undang atau resolusi PBB ini pada lima negara tersebut, yang dianggap
tidak mewakili anggota PBB secara keseluruhan, khususnya negara berkembang
yang jumlahnya sangat besar (dua pertiga) di PBB. Dengan hilangnya hak veto,
resolusi PBB terhadap Israel tidak akan menjadi macan kertas karena
berkali-kali diveto oleh AS.
Penguatan Peran Indonesia
Sebagai negara muslim
terbesar di dunia, ini kali pertama dalam sejarah, Indonesia terlibat
langsung dalam pertemuan para menteri luar negeri negara-negara kunci dalam
rangka membahas masalah perdamaian Palestina-Israel. Dengan kata lain, ini
pengakuan dunia atas diplomasi Indonesia selama ini.
Terbaru, Indonesia
menggelar KTT Luar Biasa OKI mengenai Palestina dan Al-Quds Al-Sharif pada
Maret 2016. Di luar itu dukungan Indonesia kepada Palestina sudah berlangsung
lama, baik secara politis maupun melalui bantuan pembangunan dan penguatan
kapasitas. Secara politis, Indonesia konsisten mendukung Palestina pada
berbagai forum regional maupun internasional seperti menyelenggarakan KTT
Luar Biasa OKI mengenai Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.
Lalu menjadi co-sponsor untuk menjadikan Palestina
sebagai anggota non-observer state
dan pengibaran bendera Palestina di markas PBB. Yang lain, dukungan bagi
keanggotaan Palestina pada UNESCO, menyelenggarakan CEAPAD II 2014, dan
mengesahkan Declaration on Palestine pada Peringatan 60 Tahun Konferensi
Asia-Afrika. Sementara dukungan Indonesia dalam pembangunan dan pengembangan
kapasitas untuk mempersiapkan bangsa Palestina saat merdeka nanti.
Pemerintah dan
masyarakat Indonesia telah memberikan dukungan seperti kontribusi sebesar
USD1 juta pada Paris Donors Conference
2007, Pendirian Pusat Layanan Bedah Jantung (Indonesian Cardiac Facility) di RS Al-Shifa, di Gaza, dan bantuan
kemanusiaan bagi pemulihan akibat serangan Gaza senilai USD1 juta saat Cairo International Conference on
Palestine. Yang tak kalah penting, tentunya pembangunan Rumah Sakit
Indonesia di Gaza. Dilevel parlemen, sebagai bagian dari multitracks diplomacy, DPR sejak 2006 telah membentuk Kaukus
Parlemen Indonesia untuk Palestina.
Kaukus ini ditujukan
membantu memperjuangkan hak kemerdekaan bangsa Palestina. Salah satu gebrakan
yang dilakukan dengan pengumpulan dana parlemen Negara-negara Asia Parliamentary Assembly (APA).
Selain itu, DPR juga bersama parlemen Iran dan Suriah juga membentuk
negara-negara Tronika (Indonesia, Iran, dan Suriah) untuk mendukung
Palestina. Yang terbaru dalam pertemuan parlemen kelompok ASEAN Plus 3 dan
pertemuan parlemen negara Islam dunia, Indonesia mendorong kuat agar isu
kemerdekaan Palestina dimasukkan ke dalam draf resolusi yang akan disahkan
dalam Forum International Parliamentary
Union (IPU) 2016.
Akhirnya penulis
berharap Forum Paris dapat mendorong kemerdekaan Palestina dan perdamaian
abadi Palestina-Israel melalui solusi dua negara yang digagas bersama.
Meskipun celah perdamaian kelihatan kecil, dengan perubahan paradigma yang
diusung di Paris, kita harapkan ada perkembangan yang tidak biasa dalam
perundingan pada masa depan.
Kehadiran Indonesia
dalam mengawal perundingan damai Israel-Palestina harus dimanfaatkan secara
maksimal oleh pemerintah, khususnya Kemlu dalam rangka menunjukkan peran
Indonesia bagi perdamaian dunia sebagaimana semangat politik bebas aktif dan
amanat UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan penjajahan harus dilawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar