Manajemen Mutu Terpadu Ramadan
Muhbib Abdul Wahab ;
Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
|
KORAN SINDO, 07 Juni
2016
Setiap tahun, umat
Islam di seluruh dunia melaksanakan puasa Ramadan. Namun ibadah tahunan ini
seolah menjadi ritual yang ”biasa-biasa” saja. Ibadah Ramadan belum
sepenuhnya memberi dampak positif dalam peningkatan kualitas hidup muslim.
Puasa Ramadan masih
sebatas ibadah rutinitas formal, belum teraktualisasi menjadi ibadah
substantif- transformatif dan kontekstual. Artinya ibadah Ramadan belum
membuahkan hasil optimal berupa perubahan sikap, karakter, dan kepribadian
dari yang ”biasa-biasa” saja menjadi manusia bertakwa: hati, pikiran, dan
perbuatannya. Salah satu penyebabnya adalah mismanajemen Ramadan.
Artinya pelaksanaan
ibadah Ramadan tidak berbasis manajemen mutu terpadu (total quality management). Manajemen Ramadan boleh jadi baru
sebatas ”manajemen perut”, belum diintegrasikan dengan manajemen hawa nafsu,
manajemen lisan, manajemen hati dan pikiran, manajemen kinerja sosial maupun
manajemen waktu dan manajemen mental spiritual. Padahal semua aktivitas yang
terkait dengan ibadah Ramadan dapat diatur dengan efektif dan efisien.
Perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pembiayaan, dan pengendalian (controlling) semua aktivitas ibadah
Ramadan dapat diprogramkan secara efektif dengan membulatkan niat dan tekad
yang kuat. Juga berkomitmen untuk terusmenerus melakukan perbaikan (continuous improvement) kualitas
input, proses, output, dan impact Ramadan.
Evaluasi Ramadan
Idealnya sebelum
memasuki sistem pendidikan Ramadan, orang-orang yang berpuasa (shaimin)
melakukan introspeksi dan evaluasi kritis terhadap pelaksanaan ibadah Ramadan
tahun lalu. Kekurangan dan keunggulan ibadah tahun sebelumnya dianalisis
dengan baik sehingga shaimin dapat melakukan pemikiran reflektif sembari
menyiapkan program-program strategis untuk ”paket Ramadan unggulan” tahun
ini.
Dengan evaluasi,
shaimin membuat perencanaan matang tentang apaapa saja yang harus diperbaiki,
ditingkatkan, dan disempurnakan dalam Ramadan kali ini. Jangan sampai puasa
kali ini hanya membuahkan perasaan lapar dan dahaga semata. Evaluasi dan refleksi
terhadap Ramadan juga dapat meneguhkan komitmen shaimin untuk melakukan
reformasi mental spiritual menuju puasa transformatif dan produktif. Etos
kerja dan etos jihad melawan hawa nafsu dan syahwat internal dapat
digelorakan sejak memasuki gerbang Ramadan.
Dengan evaluasi,
shaimin sejak awal Ramadan sudah harus belajar terbuka dan jujur terhadap
dirinya untuk berkomitmen mengisi dan memaknai Ramadan tahun ini secara lebih
bermutu. Oleh karena itu, shaimin idealnya mampu membuat program ibadah Ramadan
secara komprehensif dan terpadu. Mulai dari bangun malam untuk santap sahur
dan qiyam allail (salattahajud) hingga kembali tidur di malam hari.
Ibarat sebuah
universitas, kurikulum Ramadan harus disiapkan dengan baik, terukur, dan
humanis (manusiawi). Pelajaran apa saja yang direncanakan untuk diperoleh dan
didalami selama Ramadan perlu diniati dan diprogram sedemikian rupa sehingga
tujuan akhir Ramadan dapat tercapai secara optimal, yaitu menjadi orang-orang
bertakwa (QS Al-Baqarah/2: 183).
Paket kurikulum
Ramadan yang dapat diprogramkan dapat dirumuskan secara terpadu meliputi:
program penyehatan fisik, revolusi mental, pengembangan intelektualitas dan
moralitas. Selain itu program pengembangan sosial dan nilai-nilai
kemanusiaan, ekonomi, sosial budaya, dan peningkatan spiritualitas. Dalam
program penyehatan fisik, shaimin perlu belajar disiplin dengan habituasi
bangun tidur lebih awal. Jika di luar Ramadan bangun terl a m b a t , selama
Ramadan shaimin harus mengubah mindsetnya untuk disiplin bangun lebih awal.
Dalam hal ini shaimin
harus meyakini sepenuh hati bahwa santap sahur itu mengandung nilai
keberkahan sekaligus dapat memengaruhi pola hidup sehat. Akan lebih afdal di
waktu sahur itu shaimin membiasakan keluar rumah sejenak untuk menghirup
oksigen paling bersih, segar, dan sehat yang diberikan Allah SWT, pasti akan
lebih bugar dan sehat.
Menurut sebuah riset,
udara dan oksigen waktu sahur (sepertiga malam terakhir) itu memang paling
dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan oksigen murni bagi tubuhnya.
Program disiplin bangun lebih awal juga memberi keuntungan strategis bagi
shaimin jika disempurnakan dengan salat malam, berdoa, berzikir, beristigfar,
dan membaca Alquran. Karena sinyal spiritual pada sepertiga malam terakhir
itu paling kuat dan paling berkesan.
Aneka ibadah yang
dikerjakan waktu sahur itu sangat potensial dapat dilaksanakan dengan khusyuk
sehingga internalisasi nilai-nilai spiritual dan moral itu dapat sedemikian
kuat membekas pada diri shaimin. Penting ditegaskan bahwa waktu sahur itu
memang prime time karena pada saat sahur itu Allah SWT turun ke langit dunia
bersama para malaikatnya untuk monev (monitoring dan evaluasi) para hamba-Nya
yang serius dan tekun beribadah.
Oleh karena itu,
keberkahan waktu sahur harus dimaknai dan diisi shaimin secara optimal, tidak
hanya untuk mengikuti sunah Nabi, yaitu makan sahur, melainkan juga beribadah
lainnya, terutama berdoa dan beristigfar, karena waktu sahur ini merupakan
waktu paling mustajab. Waktu sahur juga terbukti menjadi waktu paling fresh
untuk memulai karya peradaban. Imam Bukhari, penulis kitab hadis paling
otoritatif, hampir selalu memulai karya penulisan hadisnya di waktu sahur
setelah melakukan salat malam.
Manajemen Mutu Terpadu
Sejatinya ibadah
Ramadan itu dialamatkan kepada orangorang beriman. Karena itu, yang dipanggil
dan diseru untuk berpuasa itu adalah orang-orang beriman (yaa ayyuha
al-ladzina amanu...). Panggilan iman sangat penting karena tidak semua muslim
berpuasa, dengan berbagai alasan. Artinya keberislaman tanpa dilandasi iman
yang kuat boleh jadi tidak membuahkan amal dan perilaku Islami.
Dengan demikian, iman
merupakan landasan mental spiritual dan landasan manajerial yang
menginspirasi dan memotivasi shaimin untuk berpuasa secara bermakna, bukan
sekadar puasa fisik, puasa perut, dan puasa ”di bawah perut”, atau menurut
kategori Imam al- Ghazali shaum al-shaum alawam (puasa orang kebanyakan).
Agar meningkat dari
shaum alshaum al-awam menuju shaum alkhawas (golongan spesial) dan shaum
khawash al-khawash (golongan superspesial), manajemen mutu terpadu Ramadan
harus diaplikasikan. Semua yang terkait dengan ibadah Ramadan dikelola secara
terpadu. ManajemenwaktuRamadan dirancang dengan baik dan dijalankan dengan
disiplin.
Manajemen hawa nafsu
dikendalikan sedemikian rupa sehingga pengendalian diri dengan tidak makan,
tidak minum, dan tidak berhubungan seksual di siang hari semata. Pengendalian
semua itu juga idealnya tetap dijaga di malam hari sehingga shaimin tidak
”balas dendam” dalam makan dan minum saat berbuka. Akibatnya, ibadah malam
hari Ramadan seperti qiyam al-lail (tarawih dan witir) menjadi terganggu,
tadarus Alquran kurang mendapat tempat serta perhatian dan iktikaf
dilewatkan.
Manajemen hati dan
pikiran selama Ramadan juga harus diaktualisasi. Hati yang berpuasa selalu
menambatkan niat yang ikhlas untuk selalu mengembangkan aneka kesalehan:
personal, sosial, kultural maupun spiritual. Shaimin yang memuasakan hatinya
pasti tidak pernah berniat untuk korupsi, berbuat maksiat, dan melawan hukum.
Demikian pula shaimin memuasakan pikirannya mestinya selalu dengan berpikir
positif, kreatif, dan produktif.
Karena itu para ulama
besar seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan
sebagainya menjadikan puasa sebagai starting point dalam melahirkan
karya-karya monumental mereka. Bahkan puasa Ramadan menjadi momentum terbaik
untuk melejitkan kecerdasan intelektual dan melipatgandakan produktivitas
ilmiah mereka. Jika manajemen hati dan pikiran diorientasikan kepada
penyucian hati dan penajaman pemikiran, manajemen pengembangan kinerja sosial
Ramadan difasilitasi Allah SWT dengan pelipatgandaan pahala sedekah, infak,
bederma melalui sikap empati dan etos berbagi.
Oleh karena itu,
shaimin diharuskan menyempurnakan ibadah Ramadan dengan mengeluarkan zakat
fitrah, zakat kebutuhan pokok untuk para fakir miskin. Dengan begitu,
manajemen pengembangan kinerja sosial Ramadan harus berorientasi pada
kesalehan sosial dan kultural sehingga masalah kelaparan, kemiskinan, dan
keterbelakangan umat mestinya dapat diterapi dan diberikan solusinya melalui
manajemen pengembangan kinerja sosial.
Hal ini pada
gilirannya akan membuahkan etos silaturahmi dan memaafkan yang disimbolisasi
dengan perayaan Idul Fitri. Manajemen mental spiritual shaimin juga penting
diaktualisasi selama Ramadan dan sepanjang tahun. Selama Ramadan shaimin
tidak hanya meneguhkan mentalitas sebagai pemenang (faizin), melainkan juga
melejitkan kecerdasan spiritual mereka dengan tazkiyat an-nafsi (penyucian
diri) dan taqarrub ila Allah (pendekatan diri kepada Allah).
Habituasi
amalan-amalan sunah (salat rawatib, qiyam al-lail, tadarus Alquran, iktikaf,
berdoa, berzikir, beristighfar) diintensifkan sedemikian rupa sehingga
menjadi pribadi bertakwa yang hakiki, tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu,
bisikan setan maupun syahwat duniawi. Jika manajemen mutu terpadu Ramadan
diaktualisasi, niscaya lulusan universitas Ramadan mampu merealisasi puasa
holistis, puasa totalitas, dan puasa lahir batin.
Jika kualitas puasa
shaimin benar-benar lahir batin, holistis, dan total, maka berbagai penyakit
sosial, problem kemanusiaan, dan kebangsaan, termasuk korupsi, pasti bisa
diatasi. Karena memakan makanan dan minuman halal di siang hari Ramadan saja
shaimin bisa mengendalikan, apalagi memakan harta yang jelas-jelas haram
(korupsi). Jadi manajemen mutu terpadu Ramadan merupakan alternatif pemaknaan
dan pengejawantahan ibadah Ramadan dalam kehidupan nyata.
Semoga puasa Ramadan
tahun ini membuahkan perubahan mental spiritual, sosial, moral, dan
kemanusiaan ke arah yang lebih positif, konstruktif, dan produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar