Bahasa dan PT KAI
Kurnia JR ; Pujangga
|
KOMPAS, 11 Juni
2016
Kenapa kita wajib
meneguhkan niat dan laku untuk konsisten menggunakan bahasa nasional dalam
forum resmi seperti komunikasi publik, pelayanan publik, pemerintahan,
teknologi, sosial, pendidikan, bisnis, dan niaga? Pertanyaan itu perlu
ditegaskan untuk dijelaskan sebab kritik terhadap perilaku berbahasa
campur-aduk Indonesia-Inggris tak jarang ditanggapi dengan sinisme sebagai
kenyinyiran ahistoris dan anakronistis.
Setelah mencanangkan
nama layanan ”Commuter Line” untuk jalur Jabodetabek, PT Kereta Api Indonesia
kini menerapkan mesin otomatis pelayanan tiket yang dinamai ”Commuter Line
Ticket Vending Machine”. Padahal, sejak awal hingga saat ini masyarakat lebih
akrab dengan sebutan KRL untuk singkatan kereta rel listrik ketimbang CL
untuk commuter line. Hanya PT KAI
sendiri yang berkeras menyebut nama layanannya dalam bahasa asing itu.
Khalayak konsumennya tidak. Bahasa nasional tampaknya lumpuh dalam artikulasi
layanan publik PT KAI.
Sejak dulu kita
mengenal istilah kereta malam, yang jadi puitis dalam gubahan lagu pop,
sajak, dan cerita fiksi. Juga, nama kereta Gaya Baru, Bima, Gajayana,
Turangga, Argo Bromo Anggrek, dan seterusnya. Tak ada, misalnya, nama Java
Line Express dalam layanan rute Jakarta-Surabaya atau Yogya Night Express untuk Jakarta-Yogyakarta. Mungkin para
pejabat di PT KAI sekarang kebanyakan lulusan Australia, AS, atau Eropa
sehingga merasa lebih pas apabila nama layanan KRL sekarang menggunakan
bahasa asing. Kritik dan saran tentang hal ini tampaknya tak menggoyahkan
tekad mereka menginggris. Mungkin nama layanan kereta cepat Jakarta-Bandung
yang kontroversial itu, apabila kelak terwujud, adalah West Java Executive Line. Siapa tahu?
Rezim Orde Baru pernah
membuat kalang-kabut para pengembang yang kala itu sudah amat keterlaluan
menamai produk properti mereka dengan gaya Amerika sehingga tergesa-gesa
melakukan alih bahasa. Sedemikian panik (atau piciknya mereka dalam bahasa
Indonesia, atau demi alasan murni bisnis) sehingga nama ”Green” diutak-atik
menjadi ”Gren” dan ”Grand” jadi ”Gran”. Kita tahu, Soeharto lekat dengan
citra keindonesiaan dalam hal penamaan karya arsitektur dan teknologi buatan
bangsa sendiri.
Lalu datanglah
presiden dengan lidah Amerika. Pidatonya bertabur kutipan dan kata asing.
Pemerintah pun abai terhadap kedisiplinan berbahasa nasional dalam forum
resmi. Di dunia komersial, dengan memanfaatkan gaya acuh tak acuh Generasi
Internet yang asyik mengulek gado-gado berbumbu bahasa slang Amerika di media
sosial, para pengembang mengulangi euforia masa silam. Nama produk properti
mereka kembali serba-Amerika. Tak ada evaluasi dari pemerintah. Kita tak
belajar pada Malaysia yang bangga dengan nama Putrajaya, khas Melayu.
Menjawab pertanyaan di
alinea awal, kita jelas harus meneguhkan disiplin berbahasa nasional dalam
konteks formal bukan sekadar demi kepribadian nasional. Lebih dari itu,
gengsi bahasa nasional yang kukuh di mata dunia adalah daya bagi ekonomi,
bisnis, pariwisata, industri seni dan budaya, pemasaran bahasa itu sendiri
sekaligus kesusastraannya sebagai produk ekspor, yang bakal memapankan posisi
tawar ekonomi, politik, dan budaya dalam komunitas global.
Bahasa adalah produk
budaya yang sama nyatanya dengan arsitektur dan ragam kuliner suatu negeri
untuk dikenali. Apa yang dapat dikenang wisatawan asing tentang nama-nama
tempat yang mereka kunjungi di sini kalau tidak ada yang unik dalam persepsi
mereka? Kepribadian macam apa yang terumuskan di benak mereka tentang negeri
ini dan penduduknya jika nama toko, gedung, dan beragam kegiatan komersial
keseharian pun meminjam bahasa asing? Lain halnya kalau yang kita lakukan
penerapan dwibahasa seraya menonjolkan bahasa nasional.
Pemerintah perlu
membuhul kembali disiplin pemakaian bahasa nasional dalam forum resmi serta
lingkungan bisnis dan komersial; mengatur prosedur nama kawasan hunian,
bisnis, dan lain-lain. Nama bukan sekadar sebutan atau papan penanda tanpa
roh. Nama tak bisa dilepaskan dari citra diri. Citra diri merupakan atribut yang
inheren dalam satu pribadi historis, menampilkan kepribadian yang tertempa
dalam interaksi yang nyaris tanpa batas pada era global kini. Dengan nama dan
keunikan ujaran, kita menampilkan kepribadian yang sejati, yang berdaya
pukau.
Tentu, anda berhak menggemari
drama Korea, Turki, atau India; menggandrungi mode dan berbelanja produk
busana mereka; turut mengongkosi aktor dan aktrisnya ke sini, seraya berharap
dapat berwisata ke negeri mereka. Kalau bisa, sekalian operasi plastik di
sana agar mirip sang aktor atau aktris idola. Tanpa sadar, anda terserap ke
dalam fantasi produk budaya komersial suatu masyarakat yang sesungguhnya
asing. Anda hanya konsumen. Entitas yang ditaklukkan. Bukan sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar