Negeri Praktik
Renald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 09 Juni
2016
PADA pengujung Mei
2016, empat anak kelas IV SD di Lamongan, Jawa Timur, nekat membakar seluruh
rapor siswa kelasnya yang belum dibagikan gurunya. Mereka membakarnya di
ruang kelas.
Alasannya, mereka
kesal karena nilai-nilai yang tercantum di rapornya (mungkin) bakal jelek.
Karena penasaran, saya googling
untuk mencari informasi soal ini.
Rupanya itu bukan
satu-satunya kasus. Di Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, ada tiga pelajar SMP
yang membakar sekolahnya karena kesal dihukum gurunya. Tiga siswa tersebut
kedapatan merokok.
Sang guru pun
menghukum dengan tidak memperbolehkan mereka mengikuti pelajaran di kelas.
Kesal oleh hukuman tersebut, sekitar pukul 3 dini hari, tiga siswa kelas IX
itu membakar ruang guru.
Masih terkait dengan
pembakaran sekolah, seorang siswa kelas V SD di Sukoharjo, Jawa Tengah,
membakar kain gorden di ruang kelasnya. Api dengan segera membakar lemari dan
buku-buku di dalam kelas tersebut.
Apa alasannya? Dia
marah karena sering menjadi bahan olok-olok temannya.
Masih penasaran, saya
lalu memperluas pencarian. Saya jadi ingin tahu kasus-kasus kriminalitas apa
lagi yang melibatkan anak-anak.
Kali ini giliran saya
yang mengurut dada dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pencarian. Hasil
sementara yang saya dapatkan, ada cukup banyak kasus kriminalitas yang
melibatkan anak-anak.
Pencurian, perampokan,
hingga pemerkosaan dan bahkan pembunuhan. Semuanya, masya Allah, mengerikan.
Di Jakarta, tiga anak
usia belasan tahun tega membunuh temannya, yang juga belasan tahun, dengan
cara menggorok lehernya. Alasannya sederhana, karena korban kerap memaki-maki
tiga temannya tersebut.
Baiklah, saya langsung
masuk ke potret besarnya. Menurut data Komnas Perlindungan Anak (PA), pada
2013 saja ada 5.000-an anak yang mendekam di penjara karena berbagai kasus.
Sebagian sudah divonis
bersalah. Saya jadi gelisah. Ada apa dengan anak-anak kita?
Si Kancil Anak Nakal
Saya percaya semua
kasus tadi pasti tidak berdiri sendiri atau hanya disebabkan faktor tunggal.
Pasti ada beberapa penyebab.
Misalnya, Kak Seto
Mulyadi, yang ketika itu masih menjabat ketua Komnas PA, menilai di situ ada
peran orang tua. Masih banyak orang tua di Indonesia yang tidak tahu bagaimana
cara mendidik anak-anaknya (dan setahu saya belum ada sekolah untuk menjadi
orang tua).
Maka, yang kita
temukan, kalau melakukan kesalahan, si anak langsung dihukum. Bahkan dengan
hukuman yang bersifat fisik.
Dijewer, ditampar,
atau bahkan dipukul. Kalau di Jepang, bahkan ada yang ditinggal di hutan oleh
orang tuanya.
Saya setuju bahwa
cara-cara semacam itu sama sekali tidak mendidik. Hanya, sebagai orang yang
bergerak dalam bidang pendidikan, sekaligus pemerhati masalah-masalah
perubahan, perkenankan saya melihatnya dari sudut pandang lain.
Saya akan memulai dari
lagu anak-anak terlebih dahulu. Pernah dengar lagu Si Kancil? Anda pasti
hafal syairnya.
Begini salah satu
petikannya. ”Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun. Ayo lekas dikurung,
jangan diberi ampun…”
Salahkah kalau
anak-anak kita menafsirkan, barang siapa berbuat salah, segera dihukum?
Jangan kasih ampun! Di mana ajaran belas kasihnya?
Jumlah lagu anak-anak
di negeri kita sangat terbatas. Maka, tak heran kalau anak-anak kita pun
menyanyikan lagu-lagu untuk orang dewasa.
Syair-syairnya malah
lebih mengerikan. Mau tahu? Untuk soal ini, rasanya Anda lebih tahu ketimbang
saya.
Sekolah Hidup
Di kota-kota besar,
banyak orang tua yang berpikir, kalau anaknya pintar dan masuk ranking,
urusan masa depannya beres. Celakanya, pintar di sekolah itu tidak sama
dengan pintar dalam kehidupan.
Kalau Anda dulu
sekolahnya pintar, lalu cari nafkah, bangun rumah tangga dan pergaulannya
juga pintar, itulah anugerah. Tapi celakanya, jarang sekali kita temui orang
yang sekolahnya pintar, hidupnya juga pintar.
Jadi, akhirnya harus
saya katakan, istilah pintar itu hanya ada di sekolah. Namun, apalah artinya
sekolah pintar kalau kehidupannya tak pintar?
Artinya tidak pandai
menerjemahkan apa dalam kehidupan. Artinya lagi, kita belum bisa menyerahkan
anak-anak kita kepada sekolahnya saja.
Tapi, nanti dulu,
bukankah waktu anak-anak lebih banyak bersama keluarganya di rumah? Artinya,
kita orang tua juga belum menerapkan cara mendidik anak yang benar.
Jangan-jangan cara
mendidik yang baik itu bukan memberi mereka les yang banyak agar nilai
sekolahnya bagus, diterima di sekolah unggulan, masuk fakultas top, ranking,
beasiswa, dan seterusnya.
Jangan-jangan anak
kita kurang diajak bicara, diajak bermain, berlibur, berkegiatan sosial, dan
seterusnya. Jangan-jangan waktu berlibur itu kitalah yang asyik berlibur,
bukan mereka.
Banyak orang tua yang
terkecoh dengan judul-judul mata pelajaran. Faktanya, sekolah kita masih
belum banyak mendidik, baru memindahkan isi buku ke dalam kertas.
Masih kurang melatih
otot dan tindakan. Contohnya adalah mata pelajaran budi pekerti yang mulai
diajarkan kembali.
Jadi, selama beberapa
jam dalam sehari, beberapa hari dalam seminggu, dan beberapa minggu dalam
sebulan, serta beberapa bulan dalam setahun, anak-anak kita belajar dan
menghafal pelajaran soal budi pekerti agar memperoleh nilai ulangan atau
ujian yang baik. Bukan agar mereka benar-benar memiliki perilaku yang baik.
Buat saya, ini
”pemborosan waktu” yang luar biasa! Kita menanam, tetapi tidak menuai
hasilnya.
Maka, tak heran kalau
kita pada jauh hari kemudian memanen dampaknya. Setidak-tidaknya itu bisa
kita lihat saja pada kasus-kasus kriminalitas yang melibatkan mereka,
sebagaimana saya paparkan tadi.
Dulu, semasa kecil,
saya diajari untuk menaruh hormat kepada guru. Bahkan, naik sepeda pun
berhenti dan turun menyapa pak guru yang ada di depan kita.
Coba lihatlah apa yang
terjadi sekarang? Jangankan berhenti, mereka malah menyerobot jalan. Jadi
salah siapa? Yang mendidik atau yang dididik?
Kita juga memandang
sekolah sebagai lembaga yang berwibawa. Di sana tempat kita belajar. Maka,
ketika ada siswa –SD dan SMP pula– yang berani membakar sekolahnya, ini
sungguh membuat saya terkejut sekaligus gelisah.
Rasanya sudah waktunya
kita mengubah orientasi pendidikan anak-anak kita dari sekadar tahu menjadi
menjalankan. Bukan hanya untuk pendidikan budi pekerti, tetapi juga untuk
mata pelajaran lainnya. Ini bukan negeri teoretis, ini negeri praktik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar