Agama Masa Gitu
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Psikologi UI;
Dekan
Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI
|
KORAN SINDO, 05 Juni
2016
Dulu,
di zaman Bung Karno, kalau ada pejabat atau tokoh mau pidato, termasuk Bung
Karno sendiri, selalu mengawalinya dengan pekik, “Merdeka!”, disambut oleh
hadirin dengan gegap gempita, “Merdeka!”.
Kadang-kadang
pekik-memekik itu berlangsung tiga kali, tetapi sesudah itu sudah! Langsung
pidato! Hadirin pun menyimak dengan khidmat sampai selesai. Sekarang lain
lagi. Semua pidato atau sambutan tidak lagi diawali dengan pekik “merdeka”.
Sebagai penggantinya, pernah diucapkan “selamat pagi/siang/ sore/malam”,
tetapi itu tergusur lagi dengan salam agama (mayoritas Islam),
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Sesudah
itu makin banyak yang menambahkan dengan “salam
sejahtera buat kita semua” dan yang terakhir mulai banyak yang
menambahkan lagi dengan “om swastiastu
om.” Mungkin sebentar lagi ada sapaan versi Budha dan Konghucu yang
ditambahkan, sehingga salam pembukaan pidato atau sambutan semakin panjang,
tetapi tidak apa-apalah, karena maksudnya mewadahi ke-Bhineka Tunggal Ika-an.
Tetapi
yang mengherankan buat saya adalah justru pidato atau sambutan tidak lagi
diawali dengan salam yang inklusif, melainkan makin eksklusif, yang tertuju
untuk agama Islam saja. Jadi sapaan berisi doa, “Assalamualaikum waramatullahi wabarakatuh” tidak dilanjutkan
dengan salam dari agama-agama lain, melainkan dilanjutkan dengan doa-doa
Islam sendiri tentang rasa syukur ke hadirat Allah SWT, dilanjutkan dengan
doa-doa untuk Rasullah dan para sahabat, dilanjutkan lagi dengan doa untuk
para orang tua, guru, pendidik, bla-bla-bla, baik yang masih sehat, maupun
yang sudah mendahului kita, dan akhirnya ditutup dengan doa sapu jagat “Rabbana atinya fiddunya hasanah
wafil-akhirati hasanah waqina Rabbana atinya fiddunya hasanah wafil-akhirati
hasanah waqina adzabanar.”
Semua
itu bisa makan waktu 2-3 menit, barulah pembicara melanjutkan dengan isi
pidato atau sambutan yang sebenarnya. Itu pun bisa ditambah lagi dengan
sapaan terhadap para VIP yang hadir, sehingga ada 2-3 menit waktu yang
terbuang karena tidak ada isinya (apalagi kalau doa itu diucapkan dalam
bahasa Arab penuh), atau isinya tidak menyangkut materi pidato atau sambutan.
Ini barangkali hanya terjadi di Indonesia, karena saya tidak pernah
mendengarnya pada upacara-upacara serupa di luar negeri (negeri mana pun),
kecuali dalam upacara-upacara khusus keagamaan (seperti khotbah Jumat, atau
peringatan hari keagamaan).
Mungkin
memang ada baiknya kita selalu diingatkan kepada agama. Tentu supaya kita
selalu amar maruf nahi munkar.
Kenyataannya, di Indonesia malah kemungkaran makin menjadi-jadi. KPK sudah 13
tahun eksis, korupsi tidak makin berkurang, malah bertambah. Perkosaan makin
kejam, korbannya dibunuh, bahkan dimutilasi. Peredaran narkoba makin tidak
terkendali, tawuran bukan antarsiswa saja, tetapi juga antarkampung dan
antarpendukung calon dalam pilkada.
Pelanggaran
lalu lintas, kebiasaan tidak mauantre, buang sampah sembarang, dan lainnya
makin menjadi-jadi. Sebaliknya, begitu kita nyetel televisi, di stasiun mana
pun, jam berapa pun, selalu ada siaran agama, baik berupa taushiah dari ustaz
dan ustazah kondang, maupun dalam bentuk laporan keindahan alam atau kejaiban
di dunia yang terkait dengan kebesaran agama. Nanti, buka Facebook, pun
isinya diskusi agama, Whatsapp penuh dengan berbagai kutipan ayat Alquran,
maupun hadis.
Twitter
juga buat diskusi agama. Blog dan situs internet isinya juga agama melulu.
Seakan-akan tidak ada yang lebih penting di Indonesia ini untuk dibicarakan
selain dari agama. Pantaslah kalau Pew Research Center yang mengadakan
penelitian pada 2015 menemukan bahwa Indonesia adalah negara nomor tiga
sedunia yang rakyatnya (95%) mengaku bahwa agama sangat penting dalam
kehidupan mereka. Indonesia berada di bawah Senegal (97%) dan Etiopia (96%).
Sebagai
perbandingan, persentase di Palestina hanya 74%, AS 53%, Italia (yang
seluruhnya Katolik) hanya 26%, Rusia (yang memang bekas negara komunis) 19%,
Prancis 14%, Jepang 11%, dan China 3%. Kalau dihubungkan dengan tingkat
kemajuan dan kesejahteraan bangsa masing-masing, akan terbayang bahwa ada
korelasi yang terbalik antara pentingnya agama dalam kehidupan dengan
kesejahteraan dan kemajuan suatu negara.
Makin
tidak perhatian pada masalah agama, semakin maju dan sejahtera bangsanya.
Tentu ada yang tidak sependapat dengan saya dan menyatakan bahwa agama apa
pun selalu mengajarkan kedamaian, antikekerasan, karena Tuhan cinta damai.
Betul, begitulah yang diajarkan dalam agama. Karena itulah kita mengutuk
tragedi “The Killing Field” di Kamboja pada 1970-an, ketika tentara Khmer Merah
membunuhi manusia, termasuk wanita, anak-anak dan ibu hamil, dengan sangat
kejam.
Kata
kita (orang Indonesia) waktu itu, karena pasukan Khmer Merah adalah komunis
yang tidak bertuhan. Tetapi apa bedanya dengan sekarang? Organisasi yang
menamakan diri Jamaah Islamiah mengebom pantai Kuta Bali, gereja-gereja,
hotel-hotel, kedutaan besar, dan membunuhi orang-orang tak berdosa. Tentara
ISIS menyembelih manusia hidup-hidup (sesama muslim, termasuk wanita-wanita
yang tidak mau melayani hasrat seksual para “mujahidin” itu).
Katanya
agama cinta perdamaian, lalu apa bedanya laskar mujahidin, yang konon Islami
itu, dengan tentara komunis Khmer Merah? Akhirnya, jangan lupa, ini sudah mau
masuk bulan puasa. Katanya orang Indonesia menganggap agama paling penting.
Tetapi di setiap malam sepanjang Ramadan hampir semua stasiun televisi
menayangkan acara bertemakan agama, tetapi isinya sama sekali bukan agama,
melainkan lawak yang saling melecehkan, kadang menyerempet porno, pokoknya
bagaimana caranya membuat penonton tertawa.
Peran
ustaz hanya disisipkan untuk memberi wejangan 1-2 menit saja. Itu pun
sebelumnya tidak jarang sang ustaz dikerjain dengan melibatkannya dalam
lawakan model slapstick itu. Herannya, ustaznya kok mau? Maka saya bertanya
pada diri saya sendiri, “Agama kok begitu?” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar