Golkar dan Ambiguitas Pemerintah
Iding Rosyidin ; Ketua Program Studi Ilmu Politik
FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
REPUBLIKA, 19 Mei
2016
Musyawarah
Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Nusa Dua Bali akhirnya menghasilkan
duet kepemimpinan baru: Setya Novanto (Setnov) sebagai ketua umum dan
Aburizal Bakrie (ARB) sebelumnya telah ditetapkan sebagai ketua dewan
pembina. Terpilihnya Setnov sebagai nakhoda baru partai beringin dengan
mengalahkan saingan terkuatnya, Ade Komaruddin (Akom), memang sudah diduga
banyak kalangan.
Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan kalau kemudian Setnov benar-benar
mendominasi perolehan suara. Munaslub bahkan tidak perlu melakukan dua
putaran pemilihan karena semua caketum mundur dari persaingan, termasuk Akom
yang sebenarnya mampu meraih 30 persen suara sebagai syarat untuk melaju ke
babak berikutnya.
Bagi
banyak kalangan, yang mengherankan justru mengapa Partai Golkar masih mau
memilih Setnov sebagai ketua umum baru. Padahal, sudah menjadi rahasia umum
bahwa Setnov adalah salah satu dari delapan caketum Golkar yang paling
kontroversial. Ada banyak kasus yang membelit Setnov, baik sebelum, pada
saat, dan setelah tidak menjabat lagi posisi ketua DPR.
Ambiguitas pemerintah
Salah
satu hal yang ikut menentukan hasil Munaslub Golkar Bali adalah adanya
"intervensi" pemerintah menjelang perhelatan acara yang digelar
untuk rekonsilasi atau islah internal tersebut. Meskipun kerap ditepis, sulit
dimungkiri adanya intervensi yang cukup kasatmata itu. Intervensi pemerintah,
selain ikut "memperkeruh" suasana kebatinan partai beringin, juga
sebenarnya bisa "memperkeruh" posisi politik pemerintah itu
sendiri.
Intervensi
pemerintah paling kentara ketika Menkopolhukam Luhut B Panjaitan datang ke
acara munaslub dan melakukan pertemuan dengan sejumlah caketum. Pertemuan itu
sebenarnya tidak terlalu bermasalah karena Luhut juga termasuk senior Golkar,
tetapi pernyataannya yang seolah menjadikan dirinya pembawa pesan pemerintah
itulah yang membuat suasana munaslub memanas.
Secara
tegas, Luhut mengatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo
(Jokowi) tidak menginginkan Ketua Umum Golkar dipegang oleh orang yang
memiliki jabatan puncak lainnya di insitusi yang berbeda. Dengan kata lain,
pemerintah tidak menghendaki adanya rangkap jabatan. Pesan ini jelas
ditujukan kepada Akom yang saat ini menduduki posisi ketua DPR, sehingga tim
sukses Akom sangat kecewa atas pernyataan Luhut tersebut.
Intervensi
pemerintah di atas, meski dibalut dengan argumentasi canggih, yakni menolak
rangkap jabatan, pada saat yang sama juga memperlihatkan ambiguitas dan
ketidakkonsistenan sikapnya. Pemerintah (baca: Jokowi) yang seolah diikonkan
para pendukungnya sebagai orang yang bersih dan jujur, ternyata tidak diimplementasikan
dalam konteks ini. Setnov yang di mata publik memiliki cacat moral justru
didukung sepenuhnya oleh pemerintah.
Dalam
konteks ini, kita dapat memahami bahwa dukungan pemerintah terhadap Setnov
untuk menjadi ketua umum Golkar lebih didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan politik. Jika Golkar berada di bawah kepemimpinan
Setnov dengan segala macam kontroversi yang melilitnya, seperti kasus
terhangat, papa minta saham, tentu pemerintah akan lebih mudah
"mengendalikannya" dengan memainkan kartu trufnya tersebut.
Salah
satu bukti potensi mudah dikendalikannya Golkar adalah keputusan munaslub
yang secara resmi menyatakan diri keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP). Hal
ini berarti partai beringin akan mendukung pemerintah sepenuhnya. Dengan kata
lain, Golkar memutuskan untuk kembali kepada khitah lamanya dengan doktrin
kekaryaan dalam pembangunan. Tentu saja, situasi ini akan semakin mempermudah
pemerintah untuk mengendalikan Golkar.
Berbeda
halnya jika Golkar dipimpin oleh Akom. Meskipun bukan termasuk kategori
politikus yang agresif dan frontal, Akom dalam berbagai kasus kerap bersikap
kritis pada pemerintah. Apalagi, Akom selama ini tidak pernah terjerat
kasus-kasus moral atau hokum, sehingga relatif lebih berani bersikap. Oleh
karena itu, akan sulit bagi pemerintah untuk mengendalikannya jika Akom yang
kemudian terpilih menjadi nakhoda baru.
Inilah
sesungguhnya yang patut disayangkan. Pemerintah tampaknya lebih mengedepankan
kepentingan pragmatis, yakni mendapatkan dukungan penuh dari partai politik
besar. Padahal, karena sikapnya tersebut pemerintah mesti mengorbankan
idealitasnya karena dianggap ikut mendukung sebuah partai yang dipimpin oleh
orang yang bermasalah secara moral dan hukum. Jelas, citra pemerintah ikut
dipertaruhkan di sini.
Namun
demikian, kecenderungan di atas tidak akan terjadi jika tidak ada hubungan
simbiosis mutualisme antara pemerintah dan Golkar. Realitas politik di
internal Golkar yang masih lekat dengan tradisi transaksionalismenya seolah
bergayung sambut dengan uluran tangan pemerintah. Setnov yang didukung
pemerintah dan memiliki dana politik paling besar di antara para caketum
lainnya begitu mudah "menundukkan" hati para kader Golkar yang
memiliki hak pilih.
Kenyataan
ini jelas semakin mempertegas keyakinan publik bahwa partai beringin seolah
tidak pernah bisa melepaskan diri dari jeratan politik transaksional. Sudah
bukan rahasia lagi bahwa acara-acara semacam munas atau munaslub selalu
menjadi ajang "mengais rizki", terutama bagi para anggota DPD. Dalam
konteks ini, caketum yang paling kuat dukungan finansialnya, seperti Setnov
memiliki peluang paling besar.
Dengan
kenyataan di atas, sulit bagi Golkar untuk mendapatkan apresiasi yang tinggi
dari publik. Eksistensi partai ini akan dipertaruhkan, justru bukan karena
potensi pembelahan, seperti pada kasus-kasus munas sebelumnya, melainkan pada
citranya, dipimpin oleh orang yang dianggap bermasalah dan berpotensi
dikendalikan pemerintah. Secara politik, hal ini merupakan investasi politik
yang kurang menguntungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar