Tax Amnesty
dan Potensi Pembangkangan Wajib Pajak
Bambang Soesatyo ;
Ketua Komisi III DPR; Ketua
Umum ARDIN Indonesia
|
KORAN SINDO, 03 Mei
2016
Koordinasi pemerintah
dan DPR mempersiapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) adalah kerja
besar penuh risiko. Kerja keras pemerintah dan DPR itu memang layak
diapresiasi.
Namun, jauh lebih
penting adalah membangun pemahaman dan pengertian rakyat tentang urgensi
kebijakan pengampunan itu guna mencegah gerakan pembangkangan rakyat membayar
pajak. Per urgensi, pemerintah- DPR di satu sisi pasti berbeda dengan rakyat
di sisi lain dalam memersepsikan rencana kebijakan pengampunan pajak itu.
Pemerintah-DPR siap
menerapkan kebijakan sarat risiko itu karena ingin menarik ribuan triliun
rupiah dana warga negara Indonesia (WNI) yang sengaja diparkir di sejumlah
negara. Karena ditaruh di negeri lain, dana berjumlah besar itu otomatis
tidak bisa dibebani mekanisme perpajakan Indonesia. Sekadar ilustrasi, dalam
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) per 2013, disebutkan bahwa jumlah
piutang pajak bruto pada neraca tercatat Rp103,24 triliun.
Dari jumlah itu,
piutang pajak bruto pada Ditjen Pajak Rp77,36 triliun. Diperkirakan bahwa
persentase terbesar dari piutang pajak itu bersumber dari dana WNI yang
disimpan di luar negeri. Jumlah dana WNI yang disimpan di Singapura
diperkirakan sudah lebih dari Rp4.000 triliun. Menurut Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), pertumbuhan rata-rata jumlah orang kaya di Indonesia dengan aset
finansial minimal satu juta dolar AS mencapai 7,5% per tahun.
Mereka disebut high
net worth individual (HNWI). Jumlahnya sekitar 40.450 orang. Sebagian dari
komunitas HNWI diduga menempatkan dananya di Singapura dan Belanda. Jika dana
mereka bisa dipulangkan dengan pendekatan tax amnesty, likuiditas di dalam
negeri akan membaik, bahkan bisa jadi berlebih. Para pemilik dana bisa
didorong untuk berinvestasi di dalam negeri.
Selain itu, dari kebijakan
pengampunan itu, potensi penerimaan negara dari pajak pun akan bertambah.
Mungkin saja menjadi lebih besar dari proyeksi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) tahun berjalan. Itu urgensi pengampunan pajak menurut
sudut pandang pemerintah- DPR. Namun, rakyat kebanyakan sebagai wajib pajak
(WP) punya tafsir berbeda.
Di mana-mana dan sejak
zaman baheula, pengampunan pajak untuk segelintir orang selalu dipahami
sebagai kebijakan tidak berkeadilan. Pemahaman ekstremnya sederhana saja;
orang banyak dikejarkejar agar taat membayar pajak, tetapi segelintir orang
yang jelas- jelas telah mengingkari kewajiban pajak justru diberi perlakuan
istimewa melalui kebijakan pengampunan pajak yang digagas pemerintah dan DPR.
Soalnya, ada beberapa
pendekatan dalam pengampunan pajak. Antara lain, memerintahkan WP membayar
utang pokok pajak ditambah bunganya. Kalau WP bersedia, sanksi denda dan
sanksi pidana pajaknya diampuni. Atau, mewajibkan WP hanya membayar utang
pokok pajak, dan untuk itu WP akan mendapatkan pengampunan sanksi bunga,
sanksi denda, dan sanksi pidana pajak.
Cukup jelas bahwa
kebijakan pengampunan pajak itu berpotensi membenturkan WP jujur dengan
negara. Komunitas WP jujur merasa diperlakukan tidak adil. Di kemudian hari,
WP jujur akan terdorong melakukan penggelapanataupenghindaran pajak karena
berasumsi bahwa pada suatu saat nanti negara pasti akan memberikan lagi
kebijakan pengampunan pajak itu.
Karena itu, risiko
penurunan kepatuhan WP pascapemberlakuan kebijakan pengampunan pajak harus
diperhitungkan dengan bijak dan cermat oleh pemerintah. Bukan tidak mungkin
bahwa upaya meningkatkan jumlah WP pada tahun-tahun mendatang akan semakin
sulit sebabmasyarakat berasumsipemerintah akan selalu memberikan pengampunan
pajak.
Bukan rahasia lagi
bahwa negara selalu mengalami kesulitan menjaring dan meningkatkan jumlah WP.
Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 250 juta jiwa lebih. Tetapi, jumlah WP
masih sangat kecil. Rasio pajak (tax ratio) Indonesia pada 2015 masih di
bawah 11%. Untuk negara besar seperti Indonesia, angka itu sangat kecil. Bagi
profil negara sebesar Indonesia, tax ratio seharusnya mencapai 13-14%.
Antisipasi Pembangkangan
Sementara DPR membahas
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak itu, pemerintah pun telah
melakukan berbagai persiapan yang diperlukan. Untuk menyamakan persepsi para
penegak hukum, Presiden Joko Widodo sempat memanggil semua pimpinan lembaga
penegak hukum ke Istana Merdeka.
Pertemuan itu dihadiri
Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dan
tiga orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yakni Agus Rahardjo, Saut
Situmorang, dan Laode Muhammad Syarif. Presiden minta beberapa poin dalam RUU
Pengampunan Pajak perlu dipahami penegak hukum. Pertama, RUU itu menjamin
kerahasiaan proses pemulangan uang ke Tanah Air.
Penegak hukum tidak
boleh menjadikannya sebagai alat bukti penyelidikan dan penyidikan, kecuali
uang itu berasal dari tindak pidana terorisme, perdagangan orang, dan
narkoba. Kedua, siapa pun yang membocorkan data-data peserta tax amnesty
diancam pelanggaran pidana. Kemudian, jika seorang peserta tax amnesty sudah
terlebih dulu terkena masalah hukum, baik di kejaksaan, Polri, atau KPK, dia
tidak dikategorikan ke dalam penerima pengampunan pajak itu.
Sebelumnya Presiden
juga membentuk Satuan Tugas Tax Amnesty dengan tujuan memberi kepastian hukum
bagi WNI yang akan membawa uangnya pulang ke Tanah Air. Satgas itu
beranggotakan ketua OJK, kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan
Keuangan (PPATK), gubernur Bank Indonesia (BI), jaksa agung, kepala Polri,
serta menteri hukum dan HAM.
Satgas mulai aktif
bekerja setelah RUU Pengampunan Pajak disahkan DPR. Pemerintah juga sedang
mempersiapkan instrumen investasi untuk mengoptimalkan rencana kebijakan
pengampunan pajak. Presiden mendorong pimpinan BI, OJK, dan Kemenkeu,
Bappenas, BKPM, dan Kementerian BUMN untuk mempersiapkan penawaran investasi
apa saja yang dapat dimasuki oleh dana hasil repatriasi itu.
Faktor ini sangat
strategis karena masuknya dana repatriasi itu jangan sampai hanya menumpuk
dalam sistem perbankan. Dengan tetap berhatihati, sektor keuangan harus
kreatif agar dana-dana itu bisa digunakan untuk membiayai kegiatan produktif.
Sampai di situ, publik melihat bahwa pemerintah, khususnya Presiden Joko
Widodo, terus bekerja melakukan persiapan mengantisipasi diundangkannya
kebijakan pengampunan pajak.
Semua kementerian/
lembaga diupayakan punya pemahaman yang sama agar rencana kebijakan yang satu
ini bisa membuahkan hasil maksimal. Namun, upaya itu belum cukup karena
pemerintah belum mengantisipasi reaksi atau penyikapan komunitas WP terhadap
kebijakan itu. Sudah barang tentu bahwa urgensi dan manfaat kebijakan
pengampunan pajak itu harus dipahami juga oleh rakyat, khususnya komunitas
WP.
Karena itu, setelah
melakukan sosialisasi di lingkungan kementerian dan lembaga, Presiden pun
harus segera mengambil inisiatif tentang langkahlangkah pemerintah
menyosialisasikan rencana kebijakan itu kepada berbagai elemen masyarakat.
Komunitas WP di seluruh pelosok Tanah Air harus diberi pemahaman mengenai
alasan pemerintah dan DPR menerapkan kebijakan pengampunan pajak itu, serta
apa manfaatnya bagi negara dan rakyat.
Sosialisasi kepada
seluruh elemen rakyat itu perlu agar tidak terjadi salah tafsir atas
kebijakan pengampunan pajak itu. Kalau terjadi salah tafsir, WP bisa
melakukan pembangkangan. Mereka menolak atau menunda- nunda kewajibannya
membayar pajak karena berasumsi akan ada pengampunan pajak dari pemerintah di
kemudian hari.
Kebijakan pengampunan
pajak itu pun bisa menimbulkan kemarahan bagi WP yang sedang berurusan dengan
juru tagih atau juru sita pajak. Sebaliknya, kebijakan pengampunan pajak itu
juga bisa menimbulkan risiko bagi juru tagih atau juru sita pajak saat mereka
menjalankan tugas di lapangan, terutama ketika menghadapi WP yang sedang
bermasalah.
Pemerintah harus
belajar dari kasus pembunuhan dua petugas pajak KPP Sibolga Parada Toga
Fransriano Siahaan dan pegawai honorer Kantor Pelayanan Pajak Gunung Sitoli
Soza Nolo Lase. Keduanya dibunuh oleh pengusaha Agusman Lahagu pada Selasa
(12/4). Agusman gelap mata karena disodori tagihan pajak Rp14 miliar.
Saat ini jumlah
pengusaha dengan masalah seperti yang dihadapi Agunan sangat banyak. Kelesuan
pasar menyebabkan bisnis tidak berjalan sesuai harapan. Mereka tentu juga
mengharapkan pengampunan pajak. Namun, mereka tidak masuk dalam kriteria
penerima pengampunan pajak.
Wajar jika mereka
cemburu atau emosional. Itulah urgensinya bagi pemerintah untuk segera menyosialisasikan
rencana kebijakan pengampunan pajak itu. Kesan ketidakadilan dari kebijakan
itu sulit untuk dihapuskan begitu saja. Maka itu, sosialisasi itu harus
mengedepankan aspek manfaat pengampunan pajak bagi negara dan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar