Isra Mikraj dan Salat Transformatif
Muhbib Abdul Wahab ;
Dosen Pascasarjana FITK UIN
Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 04 Mei
2016
Salah satu buah
audiensi langsung dengan Allah SWTdalam perjalanan Isra dan Mikraj Rasulullah
SAW adalah perintah salat lima waktu. Dalam Islam satu-satunya ibadah yang
kewajibannya dengan cara ”mengundang langsung Nabi-Nya” ke Sidratil Muntaha
adalah salat.
Nabi SAW pernah
bersabda: ”Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah salat.” (HR
Ahmad). Jadi, salat merupakan ibadah terbaik (ibadah paling banyak mengandung
hikmah, kebaikan, dan energi positif) bagi kehidupan muslim. Jika salat
merupakan ibadah terbaik, sudahkah kita melakukannya dengan sebaik-baiknya
(ikhlas, khusyuk, penuh konsentrasi, dan menginspirasi) sehingga memperoleh
kebaikannya bagi kehidupan kita?
Mengapa banyak
mushalli (pelaku salat) sekaligus pelaku kejahatan seperti korupsi dan aneka
kemaksiatan lain? Mengapa salat yang sudah dilakukan sejak kecil (minimal
sejak akil balig) seolah tidak membekas dalam diri pelakunya sehingga salat
yang dilakukan berjamaah lalu dibarengi korupsi berjamaah seakan-akan menjadi
lumrah? Mengapa salat belum efektif membentengi mushalli dari perbuatan keji
dan mungkar?
Gagal Paham Tujuan Salat
Salah satu sebab salat
tidak membuahkan akhlak mulia, integritas moral, dan perilaku sosial yang
terpuji adalah sang mushalli ”gagal paham” terhadap tujuan salat. Idealnya
setiap mushalli menyadari dan memahami sepenuh hati bahwa zikir terbesar
adalah melalui salat dan tujuan salat adalah untuk mengingat-Nya.
”Sungguh, Aku ini
Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat
hanya untuk mengingat-Ku.” (QS Thaha/20:14). Bagi sebagian orang, salat boleh
jadi dimaknai sebatas ibadah ritual (rutin dan hampa makna). Salat dikerjakan
sekadar untuk menggugurkan kewajiban, bukan sebagai sebuah panggilan keimanan
untuk mendekatkan ”keintiman spiritual” dengan Sang Kekasih, Allah.
Dengan kata lain,
salat ditunaikan masih dalam rangka memenuhi ”syarat dan rukunnya” sesuai
tagihan fikih ibadah, belum menjadi kebutuhan, kebiasaan batin dan kenikmatan
rohani untuk menajamkan kepekaan hati dan mencerdaskan pikiran. Jadi,
formalitas salat itu tidak lebih dari sekadar ”menyalatkan anggota badan”,
belum sampai ”menyalatkan hati, pikiran, dan kehidupan”.
Karena itu, gagal
paham tujuan salat merupakan awal ketidakbermaknaan salat itu sendiri. Sangat
tidak mengherankan jika kemudian Allah SWT mengkritik orang-orang yang salat
(mushallin). Mereka dikategorikan
sebagai orang-orang yang celaka karena mereka lalai dari pesan-pesan
spiritual dan moral dari salat (QS Al-Maun/107: 4-5).
Secara tegas Nabi SAW
juga menyatakan: ”Tidak dianggap salat, orang yang salatnya tidak dapat
mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar,” (HR. Ahmad). Jadi,
mushalli yang tetap korupsi dan melakukan aneka kemaksiatan itu sejatinya
termasuk orang yang salatnya gagal, tidak ngefek dalam pembentukan
kepribadian dan integritas moralnya.
Kegagalan tersebut
antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan mushalli untuk salat dengan
khusyuk atau gagal menundukkan hati dan memfokuskan pikiran pada pesan moral
salat. Gerakan dan bacaan salat boleh jadi sudah dipraktikkan dengan baik,
namun hati dan pikiran mushalli belumbisa fokus dan hadir dalam substansi dan
spiritualitas salat.
Tidak jarang, yang
diingat dan hadir dalam salat adalah ihwal lain di luar salat. Hati dan
pikiran dipenuhi aneka memori dan aktivitas dialogis di luar zikrullah.
Karena itu, salat bermakna harus dimulai dengan tazkiyatun nafsi (penyucian
diri): badan, pakaian, tempat, dan hati secara terpadu, dan dilandasi spirit
ikhlas yang kuat untuk menyalatkan hati dan pikiran sebelum, selama, dan
sesudah salat. Jadi, salat itu harus membuahkan kesalehan multidimensional:
personal, sosial, intelektual, politik, kultural, dan sebagainya.
Sinergi Hati dan Pikiran
Sinergi hati dan
pikiran yang ”disalatkan” (dilibatkan secara penuh dalam salat) akan lebih
bermakna jika setelah salat kehidupan mushalli juga ”disalatkan” (diwarnai
dan dihiasi dengan spiritualitas salat). Jika salat dimulai dengan takbiratul
ihram sebagai simbol sinergi hati dan pikiran dalam sistem tauhid dengan
penuh ketundukan, tanpa kesombongan, karena yang Maha Besar dan Maha
Segala-galanya adalah Allah, salat diakhiri dengan salam sebagai simbol
integrasi hati dan pikiran dengan kehidupan sosial yang penuh kedamaian.
Jadi, kekhusyukan hati
dan pikiran dalam salat harus ditindaklanjuti dengan ”menyalatkan kehidupan”,
menindaklanjuti nilai-nilai spiritual dan moral salat itu dalam kehidupan
nyata. Sebagai contoh, jika dalam salat secara fisik kita diwajibkan menutup
aurat, menutup aurat kehidupan setelah salat juga harus dilanjutkan. Jika
dalam salat, hati dan pikiran kita sudah rukuk dan sujud (tunduk dan
menghamba hanya kepada Allah), di luar salat sang mushalli juga harus terus
menjaga kesetiaan dan ketaatannya kepada Allah.
Jika dalam salat
mushalli telah berkomitmen untuk ”iyyaka nabudu wa iyyaka nastain ” (Hanya
kepada Engkau kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan),
kehidupannya harus ”disalatkan” dengan tidak lagi menyembah ”berhalaberhala
modern”, tidak menyembah kekuasaan dan kekayaan, dan tidak pula meminta
pertolongan kepada dukun dan paranormal untuk mengubah nasib dan kesuksesan
hidupnya.
Jika dalam salat
mushalli selalu berdoa ”ihdina as-shirath almustaqim ” (Tunjuki kami jalan
yang benar), jalan kehidupan di luar salat yang harus ditempuh adalah jalan
kebenaran, yaitu jalan yang diridai Allah, bukan jalan setan, bukan pula
jalan orang-orang yang dimurkai Allah, maupun jalan orangorang yang sesat.
Menyalatkan kehidupan sama artinya dengan mengaktualisasikan nilai-nilai
spiritual dan moral yang ”disimulasikan” dalam salat menjadi nilai-nilai
aktual dalam kehidupan nyata.
Jadi, salat yang
bermakna dan membawa keberuntungan mushalli adalah salat transformatif, yaitu
salat yang benar-benar membawa perubahan dan perbaikan kualitas hidup menuju
kebaikan dan kemaslahatan. Salat transformatif pada hakikatnya adalah ”salat
kehidupan” itu sendiri, salat yang memotivasi dan menginspirasi sang mushalli
untuk mengawal kebaikan dan kebenaran dengan penuh istikamah, tanpa mudah
tergoda dan larut dalam pusaran kenikmatan dunia.
Salat transformatif
merupakan salat integratif (anggota badan, hati, dan pikiran) dengan penuh
kenikmatan spiritual karena sang mushalli hadir dan berpartisipasi aktif
dalam menikmati ”menu spesial dialogis” dengan Allah. Sesuai dengan arti
generiknya, yaitu doa, salat transformatif sejatinya memberikan harapan
kebaikan bagi kehidupan sang mushalli pada masa depan.
Salat transformatif
juga merupakan salat yang dapat member solusi bagi permasalahan kehidupan
sang mushalli. Karena itu, salat transformatif pasti membuat sang mushalli
tidak merasa galau, kecil hati, pesimistis, dan kehilangan orientasi dalam
kehidupannya. Dengan demikian, ”Jadikanlah sabar dan salat itu sebagai
penolongmu (solusi dan terapi kehidupanmu). Dan, sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS al-Baqarah/2:
45)
Menurut Abduddaim al-
Kaheel, dalam Asrar as-Syifa bi as-Shalah, salat yang dilakukan dengan benar
dan kontinu secara psikologis dapat membuat hati dalam suasana penuh
relaksasi, mental spiritual berada dalam kondisi fresh (segar bugar),
sehingga persoalan kehidupan yang dihadapi dapat dipecahkan dengan hati yang
bersih dan pikiran yang cerah.
Salat khusyuk dan
intensif (tidak sekadar menjalankan salat wajib yang lima waktu, tetapi juga
dilengkapi yang sunah) juga dapat mendinamisasikan sistem kekebalan tubuh
sehingga sang mushalli tidak mudah terkena penyakit; sebaliknya, mampu melawan
dan mengatasi penyakit yang akan menyerang dirinya.
Di atas semua itu
salat memang menjanjikan kestabilan jiwa (istiqrar nafsi) dan kedamaian hati
sehingga mushalli mestinya tidak mudah marah, tidak emosional, namun memiliki
kematangan jiwa dan pikiran yang tenang dalam mengambil keputusan dan
menyelesaikan persoalan.
Dan, salah satu hikmah
pengaturan waktu-waktu salat fardu (lima waktu) adalah bahwa salat yang
khusyuk itu dapat mengedukasi mushalli menjadi orang yang disiplin,
menghargai, serta memanaj waktu secara efisien dan efektif. Salat juga harus
dimaknai sebagai riyadhah (latihan spiritual) dalam rangka pendakian
spiritual (Mikraj ruhani) menuju kedekatan hamba dengan Sang Khaliq di satu
sisi, dan di sisi lain salat menjadikan hamba meraih derajat mulia di mata
Allah.
Karena itu,
kekhusyukan dan kenikmatan salat itu harus ditransformasi dalam kehidupan nyata
dengan integritas moral yang penuh kemuliaan dan kebajikan bagi umat manusia.
Bukankah salat itu amalan pertama yang akan dihisab (dinilai) oleh Allah SWT
di akhirat kelak?
Jadi, kita perlu
”menyalatkan hati, pikiran, dan kehidupan” agar kita bisa meraih kebahagiaan
hakiki, dunia dan akhirat, sekaligus mampu menjaga diri dari korupsi dan
aneka kemaksiatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar