Mengapa Harus Tax Amnesty?
Candra Fajri Ananda ;
Dekan dan Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN SINDO, 02 Mei
2016
Kegaduhan skandal
internasional bernama Panama Papers semakin menghidupkan inisiatif pemerintah
untuk melegalkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Dari 214.000 nama pengusaha/perusahaan yang
diperkirakan terekam dalam dokumen kontroversial itu, tercatat sekitar 2.961
nama dari Indonesia yang turut mendirikan perusahaan offshore di Panama.
Pemerintah yang telanjur terjebak dengan target tinggi untuk penerimaan pajak
2016 gerah mengetahui banyaknya potensi pajak yang terabaikan sehingga
semakin masif mendorong agar RUU Pengampunan Pajak lekas mendapat legitimasi
dari DPR.
Meski sempat timbul
tenggelam, isu tax amnesty masih tergolong topik yang sering kali mengundang
perdebatan panjang. Berbagai spekulasi terus mencuat untuk menebak bagaimana
hasil akhir yang diterima jika tax amnesty betul-betul diterapkan. Hingga
catatan ini tertulis, kubuyangpromaupunkontra terus menjustifikasi argumennya
sehingga diskusi mengenai tax amnesty terus menghangat.
Menteri Keuangan
Bambang PS Brodjonegoro meyakini Panama Papers sudah mengindikasikan secara
kuat pentingnya tax amnesty sebagai langkah repatriasi gelembung kekayaan
penduduk Indonesia yang tersebar di mancanegara. Di pihak seberang, masih
berembus suara-suara penolakan meski perlahan mulai sayup-sayup. Pihak yang
belum bersepakat pada umumnya menganggap tendensi politik lebih tampak daripada
kemurnian kepentingan ekonomi. Apalagi tarif untuk memperoleh amnesti
terbilang lebih ”murah” jika dibandingkan nominal pajak yang dibayarkan
secara normal.
Tax amnesty sudah
pernah dilakukan di Indonesia pada medio 1980-an, tetapi realisasinya gagal
mencapai target karena lemahnya mekanisme dan sosialisasi pengantarnya.
Indonesia perlu belajar dari negara yang berpengalaman mengelola mekanisme
yang tepat agar pengelolaan pengampunan pajak tidak salah kaprah.
Pengamat perpajakan
Yustinus Prastowo mengingatkan agar Indonesia belajar dari 40 negara yang
sudah menerapkan, tetapi rata-rata gagal dalam melaksanakan tax amnesty.
Bahkan International Monetary Fund (IMF) pada 2008 secara terang-terangan
berargumen, kesuksesan tax amnesty bagaikan anomali, karena sebuah kesuksesan
akan dinilai tidak normal dan kegagalan sesuatu yang normal. Contoh terdekat
adalah kegagalan Filipina karena mekanisme lanjutan pascapemberlakukan tax
amnesty tidak diikuti reformasi sistem perpajakan.
Meski demikian,
Yustinus Prastowo berharap pemerintah tidak menganulir niatnya untuk
menerapkan target repatriasi karena di antara 40 negara yang sudah
menerapkan, terselip cerita negara yang sukses menjalankan, di antaranya
Afrika Selatan (Afsel) dan India. Afsel pada 2003 tercatat sukses
mengumpulkan dana repatriasi sebesar USD0,36 miliar dari pengampunan pajak
yang berlaku enam bulan. Dana hasil repatriasi di India pada 1981 bahkan
mampu dicapai dengan jumlah yang lebih besar, yakni senilai USD1 miliar
selama tiga bulan.
Baik Afsel maupun
India sepakat untuk ”melepaskan” pengemplang pajak dari sanksi administrasi
lainnya selama hak amnesti belum kedaluwarsa. Jika pemerintah masih tetap
bersikukuh hendak menerapkan tax amnesty, mekanisme pengelolaan akan menjadi
persoalan penting. Pemerintah bisa meniru langkah mantan Pemimpin Afsel
Nelson Mandela yang melakukan intelijen ekonomi dan rekonsiliasi politik
sebelum penerapan serta memberikan garansi revenue tax reform.
Italia yang sama
halnya dengan Indonesia dalam ukuran banyaknya sektor ekonomi informal tengah
melakukan voluntary disclosure sebelum kembali mengadakan tax amnesty. Ketiga
negara ini bisa menjadi patokan karena berbagai kesamaan dalam struktur
politik dan ekonomi. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, ada
lima kunci kebijakan untuk menyukseskan tujuan tax amnesty.
Pertama, tax amnesty
harus dirancang sebagai titik tolak dari sistem perpajakan yang baru melalui
rekonsiliasi data atau tax reform. Kedua, Direktorat Jenderal Pajak harus
memiliki data akurat dan membangun administrasi perpajakan yang kuat dan
efektif. Wajib pajak yang mendapat amnesti harus dipantau secara ketat.
Bahkan harus dipersiapkan peningkatan audit dan pengenaan sanksi yang lebih
berat bagi wajib pajak yang mengabaikan kesempatan untuk diamnesti.
Ketiga, kebijakan ini
harus bersifat mengikat bagi semua pengaju pengampunan pajak dengan
pelaksanaan yang jelas. Keempat, pengampunan pajak seharusnya dilakukan
secara mendadak dengan durasi yang sangat singkat, yakni maksimal setahun.
Dan kelima, kebijakan ini harus diikuti dengan penindakan hukum yang tegas
untuk menjamin efektivitas pengampunan yang akan diberikan.
Pertanyaannya
sekarang, seberapa banyak proyeksi pendapatan negara dari hasil repatriasi
melalui tax amnesty? Informasi yang
bersumber dari hasil kajian BI, kantong penerimaan pajak diperkirakan akan
bertambah Rp45,7 triliun dari repatriasi hasil tax amnesty. Adapun potensi total dana yang akan dipulangkan dari
luar negeri diperkirakan bisa mencapai Rp560 triliun. Di balik hitung-hitungan
tersebut, juga terdapat beberapa risiko yang berpotensi mengancam
perekonomian Indonesia seperti dampak terhadap kondisi psikologis wajib pajak
dan kondisi likuiditas dalam negeri.
Dengan begitu
pemerintah perlu untuk menghitung seberapa besar rasio biaya dan manfaat agar
kebijakan ini semakin komprehensif. Salah satu hal penting untuk diperhatikan
adalah bagaimana mengelola sisi psikologis dari wajib pajak yang selama ini
sudah cukup patuh terhadap aturan perpajakan. Jangan sampai tax amnesty tampak ”menyakitkan” bagi
para wajib pajak tersebut. Publik juga mulai menanyakan, akan dibawa
kemanakah dana-dana hasil repatriasi tersebut?
BI mulai mewanti-wanti
bahwa kita masih memiliki keterbatasan pada instrumen keuangan untuk
menangani capital inflow yang
mengalir cukup deras seperti halnya repatriasi dana tax amnesty. Apalagi aliran dana dari investor asing belakangan
ini juga semakin meningkat seiring perbaikan kondisi ekonomi Indonesia. Jika
tidak diantisipasi dengan baik, hal ini berpotensi mengganggu stabilitas
makro ekonomi dan pasar keuangan domestik.
Sembari menunggu agar
institusi perbankan menjadi lebih sehat, beberapa alternatif kebijakan juga
sudah banyak dipaparkan, misalnya dengan mengalirkan dana-dana tersebut untuk
perbaikan kredit modal sektor riil serta pengembangan iklim investasi dan
infrastruktur. Pengelola reksa dana juga mulai menawarkan produk dan bersedia
membantu pemerintah mengelola dana repatriasi.
Mempersempit Tax
Avoidance
Jika tax amnesty
nantinya tidak mampu mencukupi perkiraan defisit penerimaan dari pajak,
pemerintah sudah sewajarnya mulai menggeser titik fokusnya agar realisasi
APBN 2016 tidak semakin terombang- ambing.
Sudah banyak versi
pemberitaan yang mengabarkan keraguan target penerimaan negara dari pajak
agregat akan mampu tercapai. Sebab, kondisi perekonomian internal dan
internasional yang masih fluktuatif serta pertimbangan berbagai instrumen
penerimaan pajak yang belum banyak mendukung upaya intensifikasi.
Perkembangan proses intensifikasi yang ditandai dengan reformasi
besar-besaran pengelolaan pajak seperti proses audit yang lebih baik,
pengembangan teknologi informasi (TI), penguatan pengendalian internal,
hingga meningkatkan insentif bagi SDM perpajakan ternyata tidak cukup cepat
merangsang agar ruang tax avoidance (penghindaran pajak) semakin dipersempit.
Berikut ini terdapat
empat opini sebagai langkah solusi. Opini pertama, perlu ada rekonsiliasi
politik untuk memperkuat modal sosial antara pemerintah dengan masyarakat
selaku pemegang wajib pajak. Dampak dari Panama Papers seharusnya menjadi
tonggak reformasi lanjutan untuk mempromosikan tata kelola pemerintahan yang
semakin prima dan memperkuat kepercayaan publik (terutama berkaitan dengan
tujuan investasi dan perluasan lapangan pekerjaan).
Berikutnya, reformasi
pengelolaan sistem perpajakan harus diimbangi dengan pembangunan persepsi
masyarakat bahwa setiap rupiah yang dibayarkan melalui berbagai jenis pajak
akan menjadi benefit yang mendukung perbaikan aspek-aspek kehidupan bermasyarakat.
Kedua, targetpenerimaanpajak perlu direvisi untuk menghindari jebakan
psikologis.
Dengan target kenaikan
penerimaan pajak di era Presiden Jokowi yang terkesan ambisius,tanpa adanya
berbagai gebrakan-gebrakan konstruktif melalui reformasi perpajakan dan
pertimbangan kondisi pertumbuhan ekonomi yang alamiah, kinerja perpajakan
kita akan selalu dianggap pepesan kosong.
Ketiga, jika target
penerimaan pajak tahun ini sudah diperkirakan tidak memenuhi target, demi
menjaga keseimbangan kapasitas fiskal APBN, pemerintah harus berani melakukan
efisiensi alokasi belanja. Caranya, bisa dengan mengoreksi ulang mana saja
pos belanja yang bersifat tumpangtindih, atau menekan jumlah program dan
kegiatan yang sekiranya tidak banyak menunjang visi-misi pembangunan
pemerintah.
Terakhir, instrumen Public-Private Partnership (PPP) dan
obligasi seharusnya menjadi alternatif utama untuk menutupi defisit
pembiayaan. Apalagi peraturan perundang-undangan kita dalam UU Nomor 17/2013
tentang Keuangan Negara juga membatasi defisit pembiayaan sebesar 3%. Mudah-
mudahan pemerintah bisa lebih menahan diri untuk kembali menghimpun dana
pinjaman luar negeri yang hingga saat ini terus bertambah.
Jika pemerintah memang
masih yakin dengan sisi positif prospek perekonomian Indonesia di masa
mendatang, alangkah lebih baiknya jika posisi ini lebih dimanfaatkan untuk
mempromosikan komponen PPP dan obligasi, yang lebih menjanjikan dari sekadar
”jalan pintas” melalui utang luar negeri yang belum terbukti bebas dari
tendensi kepentingan luar negeri terhadap kebijakan-kebijakan politik di
Indonesia. Dengan berbagai alasan itu, sangat dimungkinkan pemerintah
merumuskan langkah-langkah yang lebih strategis dan terukur. Proses yang
transparan dan bisa dipertanggungjawabkan akan membantu pemerintah mengurangi
riak-riak yang muncul menemani kemunculan kebijakan tax amnesty ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar