Munaslub dan Tantangan Partai Golkar
Bawono Kumoro ;
Co-founder Indo Riset Konsultan
|
MEDIA INDONESIA,
14 Mei 2016
BESOK
hingga 17 Mei, Partai Golkar akan menggelar musyawarah nasional luar biasa
(munaslub). Publik tentu berharap munaslub dapat menjadi momentum bagi Partai
Golkar untuk mengembalikan soliditas organisasi pascadualisme kepengurusan
yang telah berlangsung hampir dua tahun. Pengembalian soliditas organisasi
menjadi pekerjaan rumah paling mendesak saat ini untuk dilakukan Partai
Golkar mengingat kurang dari delapan bulang mendatang akan digelar pemilihan
kepala daerah (pilkada) serentak gelombang kedua. Harus diakui, konflik
politik akibat dualisme kepengurusan sebelumnya telah mengganggu kiprah
Partai Golkar dalam pilkada serentak gelombang pertama Desember lalu. Setelah
sekian lama tampil begitu perkasa di panggung politik nasional dan lokal,
dalam pilkada serentak gelombang pertama lalu partai ini babak belur
mengalami kekalahan di sejumlah daerah, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diajukan Partai Golkar dalam
pilkada serentak gelombang pertama tersebut cuma memenangi 57 daerah. Itu pun
tidak ada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusung
sendiri, tetapi berkolaborasi dengan partai politik lain.
Momentum pengembalian
Dengan
berkaca pada pengalaman pahit itu, pelaksanaan munaslub harus dijadikan
sebagai momentum bagi pengembalian soliditas partai demi memperoleh kembali
kejayaan di panggung politik lokal dan nasional.
Namun,
harapan publik agar munaslub dapat menjadi momentum pengembalian soliditas
organisasi agaknya masih jauh panggang dari api.
Sejak
beberapa bulan lalu hingga satu pekan menjelang pelaksanaan munaslub,
sebagian besar elite dan kader Partai Golkar terkesan masih menafsirkan
munaslub sebatas suksesi kepemimpinan partai saja.
Dominannya
pembicaraan di lingkaran elite partai mengenai besaran sumbangan sebesar Rp1
miliar dari para calon ketua umum dan penggalangan dukungan politik pengurus-pengurus
daerah seakan memperkuat kesan tersebut. Hampir tidak terdengar langkah
konkret apa akan dilakukan para calon ketua umum Partai Golkar untuk
mengembalikan soliditas organisasi sekaligus kemenangan partai di pilkada
serentak dan pemilu legislatif mendatang.
Sebagai
salah satu forum tertinggi organisasi, munaslub dapat menjadi forum strategis
untuk melakukan evaluasi terhadap perjalanan partai selama dua tahun terakhir
ketika partai tengah dilanda konflik hebat akibat dualisme kepengurusan. Munaslub
harus dimaknai lebih dari sekadar kompetisi meraih jabatan ketua umum.
Untuk
itu, hemat penulis, ada beberapa hal harus dicermati menjelang munaslub kali
ini. Pertama, tantangan besar lain Partai Golkar selain mengembalikan
soliditas organisasi ialah mengelola faksi-faksi internal.
Sejarah
mencatat Partai Golkar telah teruji dan terbukti cakap dalam merespons
tantangan-tantangan dari lingkungan eksternal. Namun, mereka belum terlalu
cakap dalam merespons tantangan-tantangan datang dari lingkungan internal
partai, terutama dinamika politik faksi-faksi.
Dengan
belajar dari dualisme kepengurusan selama hampir dua tahun terakhir, ke depan
Partai Golkar dituntut untuk dapat mengelola faksi-faksi secara bijak dan
elegan agar tidak muncul konflik internal yang berujung pada keruntuhan
soliditas organisasi dan kemunduran pencapaian elektoral partai dalam pemilu.
Sebagai partai politik tertua dan memiliki pengalaman panjang di
pemerintahan, Partai Golkar harus dapat role model bagi partai-partai politik
dalam mengelola faksi-faksi. Di satu sisi, keberadaan faksi-faksi dalam
sebuah partai politik tidak dapat dihindarkan.
Namun,
di sisi lain, keberadaan faksi-faksi sekaligus juga menunjukkan bagaimana
sebuah partai poitik dapat mengelola potensi konflik secara elegan.
Tantangan perpecahan
Dua
momen paling berpotensi melahirkan konflik internal sebuah partai politik
ialah pemilihan ketua umum baru dan pentapan calon presiden.
Kedua
momen tersebut rawan mengakibatkan perpecahan. Itu bahkan tidak jarang
diikuti kelahiran partai politik baru. Pertama, masih segar dalam ingatan
publik, tidak sedikit elite Partai Golkar kalah dalam kontestasi perebutan
kursi ketua umum memilih untuk memisahkan diri dan membentuk partai politik
baru. Di awal reformasi, lahir Partai Keadilan dan Persatuan sebagai bentuk
kekecewaan politik Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat setelah kalah dari Akbar
Tandjung dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar. Setelah itu, muncul secara
berturut-turut Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai NasDem sebagai
bentuk ketidakpuasan politik dari Prabowo Subianto, Wiranto, dan Surya Paloh.
Padahal, di masa lalu, mereka merupakan tokoh-tokoh utama Partai Golkar.
Kedua,
menghadirkan kepemimpinan berintegritas juga menjadi tantangan lain Partai
Golkar. Di tengah apatisme tinggi publik terhadap partai politik saat ini,
Partai Golkar dituntut mampu berperan aktif mengembalikan kepercayaan publik
terhadap partai politik sebagai pilar utama demokrasi modern.
Partai
politik di Indonesia saat ini memang tengah dihadapkan pada situasi kurang
menguntungkan terkait dengan pandangan umum kritis publik.
Persepsi
mengenai partai politik sebagai sarang koruptor cukup kuat melekat di pikiran
dan benak publik. Persepsi itu muncul lantaran selama beberapa tahun terakhir
kian besar jumlah kader partai politik terjerat kasus korupsi dan menjadi
'pasien' KPK.
Kepercayaan
Tanpa
ada pembenahan serius di tubuh partai politik, gerakan emoh partai politik
akan semakin massif. Bila gerakan emoh partai politik kian masif, tingkat
partisipasi politik publik dalam pemilu pun terancam menurun tajam. Karena
itu, menghadirkan kepemimpinan berintegritas menjadi penting untuk dilakukan
Partai Golkar.
Salah
satu cara menghadirkan kepemimpinan berintegritas ialah dengan tidak memilih
calon ketua umum yang memiliki beban kasus pelanggaran etika dan hukum. Dengan
menghadirkan kepemimpinan seperti itu, Partai Golkar akan dapat menjadi
pelopor bagi pengembalian trust publik terhadap partai politik. Perlahan-lahan
persepsi publik terhadap partai politik sebagai sarang koruptor juga akan
menghilang.
Ketiga,
memperluas basis massa juga menjadi tantangan lain Partai Golkar. Selama ini
Partai Golkar identik sebagai partai orang tua lantaran rekam jejaknya
sebagai partai politik paling tua dan berpengalaman sepanjang sejarah politik
ketatanegaraan di Indonesia.
Salah
satu cara yang dapat dilakukan Partai Golkar untuk memperluas basis massa
ialah dengan mendekati para pemilih pemula. Jumlah pemilih kelompok pemula di
Indonesia dari pemilu ke pemilu terus bertambah.
Berdasarkan
catatan Komisi Pemilihan Umum, jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014
mencapai 11% dari total 186 juta jiwa pemilih.
Jumlah
itu meningkat bila dibandingkan dengan dua pemilu terdahulu.
Pada
Pemilu 2004, jumlah pemilih pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih
(18,4%). Sementara itu, pada pemilu lima tahun kemudian, jumlah pemilih
pemula sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta pemilih (21%). Kelompok pemilih
pemula ialah mereka yang berusia 17-22 tahun, untuk pertama kali berpartisipasi
dalam pemilu. Status mereka ialah pelajar, mahasiswa, dan fresh graduate.
Dengan
tingkat pendidikan dan akses informasi sangat baik, pemilih pemula cenderung
paham perkembangan politik di Indonesia terkini serta merupakan pengambil
keputusan rasional. Oleh karena mereka melek politik dan teknologi,
memanfaatkan media sosial sebagai sarana komunikasi politik merupakan jalan
terbaik yang dapat ditempuh Partai Golkar untuk merangkul para pemilih
pemula.
Itulah
sejumlah hal yang harus dicermati Partai Golkar jelang pelaksanaan munaslub
pekan depan. Harapan publik agar munaslub menjadi momentum bagi Partai Golkar
untuk mengembalikan soliditas organisasi harus mampu diwujudkan sepenuh hati
oleh seluruh elite dan kader partai berlambang pohon beringin tersebut. Selamat munaslub. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar