Inspirasi dan Solusi Islam Nusantara
A Helmy Faishal Zaini ;
Sekretaris Jenderal Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama
|
KORAN SINDO, 09 Mei
2016
Ibnu
Khordabeh, seorang sejarawan asal Persia, dalam kitabnya, Al-Masalik Wal Mamalik, mencatat
sekaligus memberikan gambaran rinci fakta masyarakat Indonesia/ Nusantara
zaman dulu. Ibnu Khordabeh menjelaskan masyarakat Nusantara adalah masyarakat
yang jujur, santun, terbuka, toleran, kosmopolit, juga beragam dan
multikultural. Menurut catatan Ar-Romahurmuzy dalam Ajayibul Hindi, Islam
datang ke Nusantara pada abad ke-7 M. Hari ini banyak kalangan sejarawan
mulai menemukan fakta baru bahwa di Barus, Tapanuli Selatan, sudah ada sebuah
komunitas muslim yang melakukan aktivitas perdagangan di sana, tapi skalanya
masih kecil. Komoditas yang diperdagangkan salah satunya yang paling
terkenal: komoditas kapur Barus.
Pada
abad ke-7 M tersebut Islam tampaknya kurang bisa berkembang di Nusantara.
Baru kemudian setelah era kedatangan Walisongo sekitar abad 13 M, Islam bisa
menyebar secara masif dalam waktu yang relatif sangat singkat, 50 tahun. Apa
rahasianya? Pertama, Walisongo sangat memahami esensi dakwah yang
sesungguhnya dan seharusnya.
Dakwah
yang dilakukan Walisongo adalah dakwah dengan jalan pendekatan kebudayaan dan
bersifat memberi wejangan. Dakwah yang mengedepankan laku-lampah dan
tindakan, bukan semata-mata pemulas bibir atau lips service semata. Kedua, dakwah yang dilakukan Walisongo
bersifat dakwah yang metodik. Walisongo sangat mengerti derajat, tahapan, dan
juga gradasi dalam berdakwah.
Ketika
terjun dan berdakwah ke masyarakat mulamula Walisongo menggunakan hikmah,
kemudian menggunakan nasihat-nasihat yang baik, dan yang terakhir—jika dua
cara tersebut masih gagal— yang ditempuh adalah jalur perdebatan. Itu pun
dengan catatan harus dilakukan dengan santun dan sopan.
Ketiga,
Islam diajarkan sebagai manifestasi dari pesan memberi rahmat kepada seluruh
alam (rahmatan lil alamin). Islam
bukan semata-mata hanya rahmat bagi manusia, namun lebih dari itu, Islam
adalah rahmat bagi seluruh alam raya seisinya. Kitab-kitab fikih mengajarkan
hal itu. Hari ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Dari
jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan tersebut, jumlah pemeluk agama Islam
hari ini mencapai lebih dari 205 juta jiwa.
Angka
yang sangat luar biasa. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang
laik dijadikan bahan renungan bersama: Andaikan Candi Borobudur ini dibangun
di negara-negara Teluk, apakah candi peninggalan agama hindu tersebut akan
bisa terus lestari sebagaimana yang bisa kita jumpai di Indonesia saat ini?
Tidak ada jaminan. Menjaga Candi Borobudur—meminjam Franz Magnis Suseno (2008)—
dibutuhkan kelapangan psikologis juga teologis serta toleransi yang tinggi.
Menjaga
Candi Borobudur bukan hanya membutuhkan toleransi, namun justru yang utama
dibutuhkan adalah sikap menghargai warisan-warisan kebudayaan peninggalan
para pendahulu meski itu dibuat dan diwariskan oleh mereka yang berbeda
keyakinan. Ini bukti bahwa dakwah Islam di Indonesia adalah dakwah yang
mengedepankan kompromi terhadap budaya dan kearifan lokal.
Maka
itu, miris dan sangat patut disayangkan sekali jika dengan nonmuslim yang
berbeda agama dan keyakinan saja, kita utamanya di Indonesia, bisa saling
hidup rukun berdampingan dan saling membantu, mengapa justru dengan sesama
muslim yang hanya berbeda mazhab, berbeda pandangan, justru kita perangi?
Sudah saatnya kita mengakhiri era Islam yang dipenuhi citra pertempuran,
permusuhan sebagaimana yang terjadi di negara-negara Teluk sampai saat ini.
Ulama-ulama
harus bekerja keras menjalankan—meminjam analisis Said Aqil Siroj
(2016)—fungsinya. Pertama, ulama harus menjadi penyebar ilmu dan kepahaman (yatafaqqohu fiddin). Fungsi pertama
ini harus dijalankan secara serius dan lebih nyata. Ulama harus memberi
pemahaman yang komprehensif kepada umatnya. Kedua, ulama harus ”memberi
arahan” (yunzira qoumahun) kepada
umat.
Fungsi
kedua ini pada kenyataannya kurang mendapatkan porsi dan perhatian. Utamanya
di negaranegara yang hingga saat ini masih terus berkonflik. Indonesia sekali
lagi bisa menjadi contoh. Ulama-ulama Indonesia adalah ulama-ulama yang
selalu berusaha untuk memerankan dua peran itu. Ulama-ulama Indonesia tidak
sebatas memberi pemahaman pada umatnya, namun di luar itu, mereka juga
memberi contoh langsung. Mereka menjadi suri tauladan bagi umatnya.
Maka
itu, tidak mengherankan jika banyak konflik di Indonesia bisa segera
teratasi, dan berhenti menjadi sebatas konflik lokal. Apa sebabnya? Karena,
kiai, ulama, dan pemuka agamanya turun tangan untuk berperan langsung melerai
dan meredam konflik tersebut. NU selama ini sudah membuktikan komitmennya
untuk menyebarkan Islam yang ramah, damai, dan toleran.
Laporan
Kompas yang dirilis 2015 mengatakan bahwa peran terbesar NU dalam bingkai
berbangsa bernegara adalah mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran di
Indonesia. Pada 17 Februari 2016, NU menginisiasi apel kebinekaan lintas iman
bela negara dengan menggandeng agama-agama dan kepercayaan lain yang ada di
Indonesia.
Apel
kebinekaan selain merespons isu bom Thamrin yang mencoba menyudutkan Islam,
juga sebagai ikhtiar untuk menjaga kebersamaan dalam keragaman keyakinan.
Dengan jumlah warga NU yang mencapai 91,2 juta jiwa, NU menjadi salah satu
kekuatan Indonesia dalam rangka menjaga kesatuan dan keutuhan berbangsa dan
bernegara.
Atas
dasar itu semua, upaya NU untuk menyebarkan pola dakwah yang ramah dengan
jalan menghelat International Summit of
the Moderate Islamic Leader (Isomil) di Jakarta 9-11 Mei mendatang harus
kita sambut dengan sukacita sekaligus kita maknai sebagai bagian dari upaya
”mengkloning” pola dakwah Islam yang ramah di pelbagai belahan dunia. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar