Bisakah Jadi Produsen Bahan Bakar Nabati Terbesar?
Memed Wiramihardja ;
Ketua Komunitas Agroindustri,
Badan Kejuruan Kimia Persatuan
Insinyur Indonesia (BKK-PII)
|
MEDIA INDONESIA,
14 Mei 2016
KITA
seharusnya mulai mengubah paradigma dari Indonesia sebagai produsen bahan
bakar minyak bumi (BBM) menjadi produsen bahan bakar minyak nabati (BBN). Diprediksi,
paling lama pada 2050, cadangan minyak bumi Indonesia akan habis bila tidak
ditemukan sumur baru. Indonesia tidak akan mampu memproduksi minyak mentah
dan seluruh kebutuhan BBM harus dipenuhi dari impor.(Energy Outlook Indonesia
2015). Di sisi lain, Indonesia punya sumber bahan baku sangat besar untuk
memproduksi BBN, yaitu minyak sawit (crude palm oil atau CPO) dan minyak
nabati lainnya. Pada 2015, produksi CPO Indonesia mencapai 33 juta ton dari
kebun kelapa sawit sekira 10 juta hektare (ha).
Produksi
ini akan meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan terus meningkatnya luas
area perkebunan sawit dan berkembangnya teknologi budi daya sawit yang mampu
meningkatkan produktivitas CPO. Pada 2040-2045, produksi CPO Indonesia
diperkirakan mencapai 65 juta ton per tahun. Dengan volume produksi CPO
sebesar ini, Indonesia sudah bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar energi
sendiri jika Mandatori B-30 berjalan efektif.
Pengembangan biofuel
Merujuk
pada Energy Outlook Indonesia 2015,
kebutuhan BBM bidang transportasi pada 2030 sekitar 600 juta setara barel
minyak (SBM). Jadi, proyeksi kebutuhan BBN setelah penerapan B-30 ialah 180
juta SBM.
Ini
membutuhkan setidaknya 29,3 juta ton bahan baku CPO dan/atau minyak nabati
lain dalam setahun.
Pemerintah
punya terobosan baru dengan memberlakukan formula harga biofuel (FAME) =
harga pasar CPO + biaya konversi + biaya transpor ke depo Pertamina. Sebelumnya,
harga biofuel selalu dikaitkan dengan harga MOPS + alfa. Berkaitan dengan
subsidi, sudah saatnya ada perubahan kebijakan yang semula berbasis harga
keekonomian BBM menjadi berbasis harga keekonomian BBN, dan subsidi harus
berdasarkan daya beli masyarakat terhadap BBN.
Pada
dasarnya, pembentukan harga CPO tidak terlepas dari kaidah supply and demand. Dari produksi 33
juta ton pada 2015, sebanyak 26 juta ton atau 78% diekspor. Ini artinya harga
CPO sangat bergantung pada pasar luar negeri, selain terpengaruh oleh harga
minyak bumi dunia. Yang perlu dilakukan ialah mengalihkan CPO yang diekspor
menjadi BBN dalam negeri.
Pemerintah
perlu menjaga kestabilan harga CPO pada tingkat keseimbangan antara
kesejahteraan petani sawit dan margin industri hilir CPO. Sebagai ilustrasi,
tingkat harga Rp7.000/kg CPO atau setara Rp1.350/kg tandan buah segar (TBS)
di kebun sudah bisa memberikan kesejahteraan memadai kepada petani dan margin
yang wajar untuk industri hilir CPO. Karena itu, harga Rp7.000/kg dapat
ditetapkan sebagai batas terendah, sedangkan harga tertinggi 10% dari harga
terendah. Jadi, harga CPO dapat dikendalikan pada kisaran Rp7.000-Rp7.700/kg.
Dengan
menggunakan ilustrasi harga CPO Rp7.000-Rp7.700/Kg, biaya konversi CPO ke
biodiesel (FAME) sebesar US$134/ton (sesuai keekonomian), dan rujukan Kepmen
ESDM Nomor 3239 K/12/MEM/2015, ongkos angkut biodiesel pada titik serah
sebesar Rp0-Rp988/liter, harga BBN pada kurs Rp13.500/USD berkisar
Rp8.813-Rp10.501/liter. Itulah harga BBN 100% di SPBU tanpa subsidi.
Bagaimana
jika dicampur dengan solar? Menurut Menteri ESDM Sudirman Said dalam rapat
kerja dengan Komisi VII DPR pada Senin (30/3), dan sesuai dengan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014, penghitungan harga minyak solar terdiri
atas harga dasar dan pajak.
Harga
dasar terdiri atas harga indeks pasar (HIP) ditambah alfa. Alfa terdiri atas
biaya perolehan kilang/impor, biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan
margin. HIP minyak solar menurut Kepmen No 3783 K/12/MEM/2014 ialah harga
MOPS jenis gas oil 0,25% sulfur rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya
dengan formula 99,65% dikalikan MOPS gas oil 0,25% sulfur. Rumus menghitung
alfa ialah 2,38% x HIP + Rp1.037,37/liter (ditetapkan pemerintah yang akan
selalu diperbarui). Selanjutnya, harga dasar ditambah PPN 10% dan PBBKB 5% x
harga dasar.
Sebagai
contoh, harga MOPS gas oil 0,25% sulfur September-Desember 2015 sebesar
US$54,80 per barel. Menurut penghitungan pemerintah, jika diperoleh harga
jual minyak solar Rp5.650/liter (sebagaimana ditetapkan berlaku mulai 5
Januari 2016) dan harga dasarnya sebesar Rp5.650/1,15 = Rp4.913/liter (di
luar PPN dan PBBKB), harga dasar B-20 ialah 0,8 x Rp4.913 + 0,2 x Rp8.813 =
Rp5.693/liter dan harga maksimum Rp6.030/liter (pada harga CPO Rp7.700/Kg)
sehingga harga pasar B-20 (setelah ditambah PPN dan PBBKB) berkisar
Rp6.550-Rp6.935/liter.
Jadi tantangan
Penerapan
program B-30 direkomendasikan untuk menggunakan Hidrotreated Vegetable Oil
(HVO) atau disebut juga green diesel yang kualitasnya setara bahkan lebih
baik daripada minyak solar. Dengan kualitas lebih baik, tentu biaya
konversinya akan lebih tinggi daripada biodiesel. Sesuai dengan hasil kajian,
didapatkan biaya konversi ialah US$180/ton CPO. Dengan menggunakan cara
penghitungan yang sama, diperoleh harga green diesel berkisar
Rp11.316-Rp12.156/liter sehingga harga biosolar B-30 di SPBU berkisar
Rp6.835-Rp7.090/liter.
Pemerintah
dapat memberikan subsidi bahan bakar berdasarkan daya beli masyarakat, bukan
berdasarkan harga pasar keekenomian minyak bumi.
Sebagai
contoh, apabila hasil penghitungan daya beli masyarakat terhadap bahan bakar
sebesar Rp6.000/liter, perlu subsidi Rp550/liter-Rp935/liter untuk B-20 dan
Rp835/liter-Rp1.090/liter untuk B-30.
Peran
insinyur Indonesia dalam pembangunan refinery dan bio-refinery tidak boleh
diabaikan. Dalam mengantisipasi penerapan kebijakan B-30, perlu langkah tepat
dari pemerintah untuk mendorong pembangunan refinery dan bio-refinery. Pembangunan
bio-refinery akan lebih baik menggunakan teknologi HVO yang kualitas produknya
lebih baik dan lokasinya dapat disebar ke seluruh wilayah Indonesia guna
meminimalkan biaya transportasi. Hal itu sangat dimungkinkan karena
tersedianya teknologi HVO dengan kapasitas 1.500 ton CPO per hari atau setara
dengan 10 ribu barrel per hari. Untuk jaminan pasokan bahan bakunya,
diperlukan luasan kebun sawit hingga 100 ribu ha.
Sebagaimana
disampaikan di awal, kebutuhan BBN pada 2030 bakal mencapai 180 juta SBM yang
membutuhkan 29,3 juta ton CPO. Dari data pada 2013, tersedia kapasitas pabrik
biodiesel (FAME) sebanyak 4,9 juta ton. Oleh karena itu, diperlukan tambahan
kapasitas 24-25 juta ton/tahun, setara dengan 48 unit bio-refinery/green
diesel berkapasitas 10 ribu barel per hari. Dibutuhkan investasi tidak kurang
dari US$12 miliar. Bio-refinery dapat menghasilkan green diesel, bio avtur,
dan bio gasoline.
Hal
itu merupakan tantangan bagi para insinyur Indonesia, bukan saja insinyur
kimia, melainkan juga insinyur multidisiplin ilmu, seperti mesin, sipil, dan
listrik. Peran mereka bukan hanya di bidang konstruksi, melainkan juga untuk
riset teknologi proses dan pengoperasian pabriknya, termasuk pengembangan
teknologi pendukung, seperti katalis, produksi, dan hidrogen.
Jika
skenario pengembangan biofuel tersebut dapat dimulai sekarang, dalam 20 tahun
ke depan, Indonesia akan membangun setidaknya dua bio-refinery setiap tahun. Ini
merupakan kesempatan bagi perusahaan yang bergerak di bidang EPC untuk lebih
menajamkan kemampuan.
Berkaitan
dengan penguasaan teknologi proses, dalam catatan saya, setidaknya ada tiga
lembaga yang sudah mulai mengembangkan hydro deoxigenated
process/hydrotreated vegetable oil, yaitu LIPI, ITB, dan Undip. Mereka perlu
mendapatkan dukungan dari pemerintah guna meningkatkannya ke skala komersial.
Syukur-syukur, dalam beberapa tahun ke depan, dapat dilahirkan setidaknya
satu teknologi proses HVO karya anak bangsa. Dengan demikian, ke depan
Indonesia harus menjadi 'Timur Tengah'-nya biofuel dan menjadi referensi
dalam pengembangan teknologi prosesnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar