Menghargai Perbedaan, Bukan Memaksakan Persamaan
Mun’im Sirry ; Profesor
Teologi di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Ada asumsi salah kaprah di kalangan aktivis dialog lintas
agama dan para penolaknya. Bagi yang pertama, perbincangan konstruktif hanya
mungkin dilakukan di atas dasar kesamaan-kesamaan. Karena itu, mereka
menekankan persamaan dalam berbagai agama dan menghindari
perbedaan-perbedaan.
Para penolak inisiatif dialog menuduh kalangan aktivis
menyamakan agama-agama. Kesalahpahaman ini bahkan menjangkiti lembaga yang
berisikan tokoh-tokoh agama. Misalnya, dalam fatwa yang menolak paham
pluralisme agama, jelas-jelas mereka memahami pluralisme sebagai sebuah
gagasan yang menyamakan semua agama. Padahal, arti dasar kata
"pluralisme" sendiri mengandaikan keragaman dan perbedaan.
Barangkali kalangan
aktivis juga turut berkontribusi terhadap kesalahpahaman itu. Sebab, mereka
kerap memaksakan kesamaan-kesamaan, bukan membangun pemahaman memadai tentang
perbedaan fundamental antarberbagai tradisi keagamaan.
Tentu saja menemukan
kesamaan-kesamaan itu penting. Namun, dalam banyak kasus, persamaan itu hanya
ada di level permukaan. Semakin dalam diselami, yang kita temukan justru
perbedaan yang subtil. Kalangan aktivis dialog antaragama sering kali gagal
memahami perbedaan substansif tersebut.
Dialog dan perbedaan
Sebagai titik
berangkat, misalnya, dalam dialog Muslim-Kristen, mereka menelusuri kesamaan
asal-usul pada figur Ibrahim. Karena itu, lahirlah istilah "agama-agama
Ibrahim" sebagai sebutan bagi Yahudi, Kristen, dan Islam. Mereka tidak menyadari bahwa figur Ibrahim
digambarkan begitu berbeda oleh ketiga agama tersebut. Tidak berlebihan jika
dikatakan, Yahudi, Kristen, dan Islam seolah tidak berbicara figur yang sama.
Lebih dari itu, masing-masing mengklaim Ibrahim bagi dirinya sendiri, dan
mengeksklusi yang lain.
Demikian juga dengan
figur-figur lain, seperti Isa atau Yesus. Saya
sering kali mendengar orang-orang mengatakan bahwa baik Kristen maupun Islam
sama-sama menempatkan Isa/Yesus sebagai figur yang agung. Namun, semakin saya
mendalami Isa-nya Al Quran dan Yesus-nya Perjanjian Baru, semakin saya tidak
yakin kedua Kitab Suci itu berbicara figur yang sama.
Perbedaan narasi
keduanya terlalu subtil untuk dikatakan bahwa Isa-nya Al Quran adalah
Yesus-nya Perjanjian Baru. Kitab Suci kaum Muslim memang menempatkan Isa
sebagai salah satu nabi yang agung, dan mengakui berbagai mukjizat yang
sangat khas. Misalnya, kelahirannya yang bersifat luar biasa karena tanpa
bapak. Namun, Perjanjian Baru melihat Yesus lebih dari sekadar nabi. Dia
adalah inkarnasi Tuhan, logos yang bersifat azali. Kelahiran dan kematian
Yesus dimaknai secara redemtif untuk menebus dosa dan menyelamatkan umat
manusia.
Islam tidak mengenal
gagasan redemsi, penebusan dosa, atau ide tentang inkarnasi Ilahi. Kenabian
juga tak bersifat mesianik. Nabi Muhammad bukanlah seorang penebus dosa
karena Islam tidak mengakui "dosa keturunan", seperti diimani
Kristen.
Perbedaan-perbedaan
tersebut begitu mendasar sehingga mendorong Mona Siddiqui dalam bukunya, Christians, Muslims and Jesus (2013),
menolak untuk membanding-bandingkan. "At
some level," kata guru besar studi Islam dan Lintas Agama di
Universitas Edinburgh itu.
Siddiqui mungkin
berlebihan menyebut setiap upaya membandingkan berbagai ajaran dalam Kristen
dan Islam itu pasti salah. Dalam ulasan atas buku itu yang diminta oleh Syndicate Theology, saya katakan bahwa
persoalannya bukan apakah perbandingan itu absah dilakukan atau tidak, tetapi
untuk apa dilakukan. Sebab, studi perbandingan bukan hanya dimaksudkan
menemukan persamaan, melainkan juga mengidentifikasi perbedaan.
Hemat saya, dialog antaragama sejatinya diarahkan untuk
memberikan pemahaman tentang perbedaan-perbedaan tersebut. Sering kali kita
memusuhi hal-hal yang kita tidak ketahui dan pahami. Minimnya pemahaman
tentang ajaran inti agama lain kerap menjadi kendala untuk menjalin hubungan
saling pengertian antarkomunitas keagamaan yang beragam.
Koeksistensi
Sebagai masyarakat plural,
Indonesia menghadapi masalah serius dalam mewujudkan koeksistensi harmonis.
Seperti halnya di belahan dunia lain, masyarakat Indonesia dipastikan makin
heterogen. Dunia memang tak pernah homogen. Namun, akibat perkembangan
teknologi komunikasi dan transportasi, tingkat migrasi dan mobilitas manusia
makin tinggi menyebabkan keragaman lebih dekat dengan kita.
Yang sangat dibutuhkan ialah bagaimana agar berbagai
komunitas agama yang berbeda lebih informed bukan hanya tentang hal-hal
praktis terkait kehidupan kelompok lain, tetapi juga apa yang mereka pikirkan
dan yakini terkait urusan agama, sosial, dan politik. Terutama dalam urusan
agama, jangan sampai mereka disuguhi persamaan-persamaan semu yang tidak
dapat dijadikan basis penerimaan "yang lain."
Tentu saja masalah
koeksistensi juga menyentuh persoalan-persoalan yang secara langsung terkait
ajaran teologis masing-masing agama. Sebagian kalangan menganggap persoalan
teologis kendala dan hambatan bagi koeksistensi pluralis dan karena itu harus
dihindari dari perbincangan lintas agama. Mereka memilih lebih menekankan
aspek- aspek lain, seperti soal ketakadilan dan kemiskinan yang jadi
keprihatinan bersama. Jika pun masalah
teologi masuk agenda, mereka hanya memfokuskan pada persamaan-persamaan
sebagai bahan pertukaran pemikiran. Nilai-nilai bersama itulah yang diyakini
akan menyatukan beragam komunitas agama.
Seperti telah
ditunjukkan di atas, persamaan-persamaan tersebut sebenarnya bersifat
kamuflase di permukaan saja. Pada level
nilai-nilai dan standar umum, kita akan temukan kesamaan signifikan. Namun,
pada level yang lebih dalam, baik dalam aspek teologi maupun praktis,
perbedaan keyakinan menjadi tak terelakkan. Karena itu, untuk menumbuhkan
sikap respek sejati atas keyakinan keagamaan yang lain, perlu pemahaman
tentang keunikan dan perbedaan esensial konten agama lain.
Dari beberapa contoh
yang disebutkan di atas kiranya jelas betapa pada level yang lebih dalam
terdapat perbedaan asasi. Agar inisiatif dialog berhasil menata basis kuat
bagi koeksistensi harmonis dalam jangka panjang, penerimaan terhadap
perbedaan tersebut jadi persyaratan mutlak. Memberikan pemahaman tentang
perbedaan teologis memang bukan perkara mudah. Diperlukan pendekatan kreatif
untuk menjadikan isu rumit itu sebagai katalis perbincangan yang menyejukkan
dan mendamaikan.
Dengan cara itu pula
kalangan aktivis dialog lintas agama dan para pengkritiknya dapat duduk
bersama untuk saling memahami perbedaan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar