Kualitas Perguruan Tinggi Kita
Edy Priyono ;
Direktur Pusat Kajian Kebijakan
Publik Akademika
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Untuk pertama kali
pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
menilai dan memperingkatkan perguruan tinggi. Penilaian pada 2015 itu
mencakup sumber daya manusia, manajemen, kegiatan kemahasiswaan, serta
penelitian dan publikasi.
Hasil penilaian itu
kemudian dipublikasikan sehingga semua pihak dapat melihat posisi perguruan
tinggi (PT) tertentu relatif terhadap PT lain. Beberapa pihak puas, beberapa
pihak lain terkejut, tak sedikit pula yang mempertanyakan validitas penilaian
itu.
Terlepas dari beda
respons itu, langkah Kemristek dan Dikti itu patut dihargai. Selain dapat
digunakan sebagai cermin bagi setiap PT, adanya penilaian itu memungkinkan
kita memperoleh gambaran tentang kualitas PT lebih obyektif, bukan atas dasar
klaim PT masing-masing.
Kesenjangan kualitas
Semua data terkait
indikator kualitas dan kuantitas dosen berasal dari pangkalan data pendidikan
tinggi (PDPT). Kelengkapan PDPT sendiri sangat bergantung pada data yang
diunggah setiap PT. Sementara itu, data untuk indikator lain berasal dari
berbagai sumber, termasuk Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT) dan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Hasil penilaian
pemerintah mengonfirmasikan adanya kesenjangan kualitas antara perguruan
tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS). Sebagai gambaran, tak satu pun PTS yang
masuk dalam peringkat 10 besar. Satu PTS, yaitu Universitas Petra, baru
muncul dalam daftar 20 PT terbaik. Secara tak langsung hal itu menunjukkan
bahwa Universitas Kristen Petra merupakan PTS terbaik di Tanah Air.
Jumlah PTS memang
kemudian bertambah apabila daftar tersebut diperluas menjadi 50 besar, 100
besar, 200 besar, dan seterusnya. Namun, itu tak menutupi fakta betapa rendah
kualitas PTS dibandingkan dengan mutu PTN. Secara keseluruhan rata-rata nilai
untuk PTN adalah 1,525, jauh di atas rata-rata nilai untuk PTS yang 0,623.
Kesenjangan kualitas
juga terlihat antara PT yang ada di Jawa dan di luar Jawa. Dalam kategori 10
besar, tak satu pun PT dari luar Jawa yang masuk kelompok tersebut. Tiga PTN
dari luar Jawa (Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, dan Universitas
Riau) baru muncul pada kelompok 20 besar. Sementara itu, PTS dari luar Jawa
(Universitas Mahasaraswati dan Universitas Muslim Indonesia) baru muncul
ketika daftar diperluas menjadi 50 besar.
Kesenjangan itu makin
jelas setelah dilakukan perbandingan nilai rata-rata antara PT di Jawa dan PT
di luar Jawa. Berdasarkan semua
indikator secara keseluruhan, rata-rata nilai untuk PT di Jawa adalah 0,762,
sedangkan PT di luar Jawa 0,559.
Perbedaan nilai
tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan perbedaan antara PTN dan PTS.
Hal itu merupakan indikasi bahwa pengaruh variabel status PT (negeri versus
swasta) terhadap kualitas PT jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh
variabel lokasi (Jawa versus luar Jawa).
Kesenjangan kualitas
antara PTN dan PTS dan antara PT di Jawa dan PT di luar Jawa terjadi di semua
aspek penilaian (SDM, manajemen, kegiatan mahasiswa, penelitian, dan
publikasi). Perlu dicatat bahwa di antara 10 PTS dengan peringkat tertinggi,
hanya ada satu PTS yang berasal dari luar Jawa (Universitas Muslim
Indonesia).
Terkait dengan
kualitas PT di luar Jawa, secara khusus patut dicermati rendahnya kualitas
pendidikan tinggi di Papua (termasuk Papua Barat). Dari 10 PT dengan
peringkat terendah, semua merupakan PT yang berada di Papua. Selain itu, ada dua PTN yang perlu mendapat
perhatian khusus karena memperoleh nilai minimal (nol) untuk semua aspek
penilaian, yaitu Institut Seni Budaya Tanah Papua dan Akademi Komunitas
Negeri Putra Sang Fajar Biak. Institut tersebut merupakan lembaga pendidikan
yang dikelola pemerintah. Namun, kenyataan tersebut mengundang pertanyaan
tersendiri.
Melihat empat aspek
yang digunakan pemerintah untuk menilai PT, banyak yang menduga bahwa
penelitian dan publikasi merupakan masalah utama. Kenyataannya tidak
demikian.
Hasil penilaian
menunjukkan bahwa rata-rata nilai terendah untuk keseluruhan PT ada pada
aspek kegiatan mahasiswa, yaitu 0,007. Meski juga tak menggembirakan,
rata-rata nilai untuk aspek penelitian dan publikasi sedikit lebih baik:
0,099.
Seriusnya masalah
kualitas kegiatan mahasiswa juga dapat dilihat dari fakta bahwa sebuah PTN
terkemuka, yaitu Universitas Hasanuddin, mendapatkan nilai nol untuk aspek
ini. Meski demikian, perlu juga dicatat bahwa sebuah PTN (Universitas Gadjah
Mada) mendapatkan nilai sempurna (4) untuk aspek yang sama.
Jika ditelusuri lebih
lanjut, salah satu persoalan terkait aspek kualitas kegiatan mahasiswa
terletak pada indikator yang digunakan, yaitu prestasi (emas, perak,
perunggu) pada Pekan Ilmiah Mahasiswa
Nasional dan prestasi dalam lomba berskala internasional. Dengan indikator
seperti itu, jelas tidak (akan) banyak PT yang mendapat nilai baik.
Sebagaimana disinggung
sebelumnya, meski tak seburuk kegiatan mahasiswa, aspek kualitas penelitian
dan publikasi juga lemah. Ada tiga indikator yang digunakan: kualitas
penelitian menurut Ditjen Dikti, serta jumlah dokumen dan artikel ilmiah yang
terindeks Scopus.
Dengan kriteria yang
cukup berat itu, Institut Teknologi Bandung (ITB) masih mampu mendapatkan
nilai sempurna (4) untuk aspek tersebut. PTN lain, seperti Institut Pertanian
Bogor, Universitas Indonesia, dan UGM juga mendapatkan nilai baik (3,0 atau
3,1), meski terpaut jarak cukup jauh dengan ITB.
Dari kalangan PTS,
meski tak ada yang mendapat nilai lebih dari dua, beberapa PT seperti
Universitas Kristen Petra, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Bina
Nusantara, dan Universitas Gunadarma mendapat nilai cukup baik.
Lemahnya aspek
kualitas kegiatan mahasiswa sangat terlihat di luar Jawa. Sebagai ilustrasi,
PTN di luar Jawa dengan nilai tertinggi untuk aspek tersebut (Universitas
Sumatera Utara) hanya mendapatkan nilai 0,4.
Aspek manajemen
sebenarnya juga tak terlalu baik. Untuk semua PT yang dinilai, rata-rata
nilainya hanya 0,609, jauh di bawah nilai maksimum (4). Meski demikian,
beberapa PT mendapatkan nilai sangat baik, seperti UGM dan Institut Teknologi
Sepuluh November Surabaya (keduanya dapat nilai 4), juga Unhas (3,8).
Sementara itu,
kualitas dan kuantitas SDM (dosen) yang sering diributkan banyak orang
ternyata malah jadi aspek dengan rata-rata nilai tertinggi dibandingkan
dengan tiga aspek lain. Untuk keseluruhan PT, nilai rata-ratanya adalah
1,477. PT dengan nilai tertinggi untuk aspek SDM adalah IPB (dengan nilai 4).
PT di luar Jawa pun ada yang mendapat nilai mendekati sempurna, yaitu Unhas
(3,8).
Segera terlihat
Satu masalah yang
segera terlihat dari hasil penilaian tersebut di atas adalah rendahnya
kualitas PTS, terutama PTS yang berada di luar Jawa. Di sini pemerintah
memang menghadapi dilema. Di satu sisi, kesempatan untuk menempuh pendidikan
tinggi memang perlu diperluas dengan melibatkan PTS, tetapi di sisi lain
pengawasan terhadap kualitas tetap harus dijaga. Dalam jangka pendek
pemerintah disarankan menempatkan pengawasan demi menjaga kualitas PTS
sebagai prioritas.
Atas meningkatnya luas
ruang lingkup kegiatan mahasiswa, disarankan agar Kemristek dan Dikti
memperluas ruang lingkup penilaian aspek kualitas kegiatan kemahasiswaan agar
mencakup hal-hal yang nonakademis. Akan tetapi, jika tidak ada perubahan
variabel penilaian, untuk memperoleh nilai tinggi PT sebaiknya mengarahkan
kegiatan mahasiswa lebih banyak pada kegiatan ilmiah, khususnya penelitian.
Perluasan variabel
penilaian juga disarankan untuk dilakukan pada aspek kualitas kegiatan
penelitian. Publikasi dalam skala nasional, juga penyebarluasan ilmu
pengetahuan kepada masyarakat, diharapkan mendapat porsi yang lebih besar
karena hal itu juga tak kalah penting dibandingkan dengan publikasi yang
berskala internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar