Menakar Keadilan bagi Yuyun
Agustin LH Hutabarat ;
Kepala Divisi Perdata, Tenaga
Kerja, dan TUN
Lembaga Bantuan Hukum Mawar
Saron, Jakarta
|
KOMPAS, 11 Mei 2016
Keberlangsungan suatu
bangsa ada di tangan anak-anak mudanya. Karena itu, sudah selayaknya anak
sebagai aset bangsa harus dijaga dari kerusakan mental, moral, dan tindak
kekerasan lainnya.
Dalam alinea kelima
Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, 20 November 1989, telah
disepakati, ”Menyadari bahwa anak, demi
pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannya, harus tumbuh
dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih, dan
pengertian.” Artinya, PBB sendiri menyadari bahwa anak harus mendapatkan
jaminan perlindungan terbaik dari pemerintah.
Kisah tragis yang
menimpa Yuyun, gadis belia berusia 13 tahun, sungguh mengiris hati. Siapa pun
yang punya hati nurani tak mungkin tak mengecam perbuatan 14 pelaku
pemerkosaan dan pembunuhan atas Yuyun.
Berkaca dari kisah
Yuyun, rasanya tak hanya Yuyun yang telah diperkosa dan dibunuh. Hati dan
nurani kemanusiaan kita juga telah turut diperkosa dan dibunuh. Mengapa?
Gambaran realitas masyarakat yang masih mampu dapat memberikan perlindungan
terhadap perempuan.
Kasus ini telah
mengundang simpati publik, bahkan sampai Presiden ikut angkat bicara. Para
aktivis hak-hak anak dan perempuan ada juga yang menyerukan agar para pelaku
dikenai hukuman mati atau setidak-tidaknya dilakukan pengebirian. Hal itu
merupakan bentuk kegeraman publik atas perlakuan tak manusiawi oleh para
pelaku atas si korban.
Dari berbagai
informasi yang penulis peroleh, Yuyun diperkosa oleh 14 pria mabuk, dua di
antaranya masih tergolong anak, yakni berusia 16 tahun, dan juga merupakan
kakak kelas Yuyun. Dalam kasus ini setidak-tidaknya terdapat dua tindak
pidana yang terjadi. Pertama adalah pemerkosaan dan kedua adalah pembunuhan,
sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 285 KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana) tentang pemerkosaan dan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Mengingat Yuyun adalah
anak di bawah umur, berdasarkan lex specialis derogat legi generali (hukum
yang khusus mengesampingkan hukum yang umum), maka tentunya yang dikenakan
adalah UU Nomor 35 Tahun 2014 juncto (jo) UU No 23/2002 tentang Perlindungan
Anak (UU Perlindungan Anak).
Perbuatan para pelaku
yang melakukan pemerkosaan yang berujung kematian pada korban dapat
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 76C jo Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan
Anak serta Pasal 76D jo Pasal 81 Ayat (1) UU Perlindungan Anak, yang
masing-masing ancaman pidananya 15 tahun penjara dengan pidana denda Rp 3
miliar untuk Pasal 76C jo Pasal 80 Ayat (3) serta pidana denda Rp 5 miliar
untuk Pasal 76D jo Pasal 81 Ayat (1).
Hukuman mati atau kebiri
Di tengah desakan
pengenaan pidana mati atau kebiri terhadap para pelaku, berdasarkan ketentuan
hukum positif yang berlaku saat ini, kedua bentuk hukuman tersebut belum
dapat dikenakan. Dasar pemikirannya, perbuatan yang dilakukan oleh para
pelaku adalah spontan, yang artinya tidak dilakukan melalui perencanaan
terlebih dahulu. Meski perbuatan biadab itu berujung pada hilangnya nyawa
Yuyun, bukan berarti mereka dapat dikategorikan telah melakukan pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 340 KUHP: ”Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama 20 tahun.”
Penulis
menggarisbawahi klausula ”dengan
direncanakan terlebih dahulu”, karena menurut kronologis yang dilansir
oleh berbagai media pemerkosaan itu terjadi saat para pelaku sedang pesta
minuman keras dan kebetulan korban lewat dari tempat tersebut. Menurut
penulis, unsur perencanaannya tidak ada. Kecuali dalam pengembangan
selanjutnya ternyata ditemukan fakta adanya perencanaan terlebih dahulu untuk
mengincar si korban, maka ketentuan Pasal 340 KUHP sangat mungkin diterapkan.
Perlu diingat pula,
dua di antara 14 pelaku masih berstatus sebagai anak. Maka, untuk hukum mati
jelas tak bisa dikenakan kepada mereka berdua. Sebab, dalam ketentuan UU No
11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) tidak mengenal
pengenaan pidana mati terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Demikian
juga untuk pidana penjara, terhadap kedua anak ini akan dikurangi setengah
dari ancaman pidana maksimal, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 79
Ayat (2) UU SPPA.
Demikian pula terhadap
penerapan hukuman kebiri terhadap para pelaku. Harus kita pahami, hukum
kebiri belum diakomodasi dalam sistem hukum kita. Jadi, bertolak pada asas
legalitas, maka hukuman ini tentu belum dapat dikenakan.
Asas legalitas
Keadilan dunia tentu
tak bisa diukur, bahkan oleh hakim sekalipun. Hukum positif lebih bersifat
mengakomodasi rasa keadilan yang terbatas (atau sebagian) dan kepastian hukum
semata. Sebab, keadilan setiap orang jelas-jelas berbeda. Contohnya, keadilan
bagi korban tindak pidana tentu tidak dapat disamakan dengan keadilan bagi
pelaku.
Jika dibandingkan
dengan nyawa korban, penjara 15 tahun atau denda miliaran rupiah tentu tidak
sebanding karena nyawa tidak bisa diukur dengan uang ataupun tindakan
lainnya. Namun, hukum mencoba mengakomodasi berbagai bentuk pembalasan,
berupa pemidanaan terhadap setiap perbuatan pidana yang terjadi.
Sering kali kita
mendengar masyarakat mengatakan, ”Coba bayangkan jika itu terjadi kepada
diri-mu atau keluarga-mu.” Tentu saja kita tidak pernah berharap ataupun
bermimpi menjadi korban tindak pidana. Namun, kita tidak boleh mengukur
keadilan itu berdasarkan logika dan perasaan kita sendiri. Atas kasus yang
menimpa Yuyun, berdasarkan ketentuan hukum, besaran pidana yang dapat
dijatuhkan paling lama 15 tahun penjara, atau mungkin sampai 20 tahun penjara
jika di-concursus-kan dengan ditambahkan sepertiga dari ancaman tertinggi.
Penulis pribadi sangat
prihatin atas tragedi yang menimpa Yuyun dan berharap kejadian serupa tak
terulang kembali. Namun, jika desakan untuk pengenaan pidana mati ataupun
hukuman kebiri harus dilakukan kepada para pelaku, hal tersebut akan menjadi
penyerobotan terhadap asas legalitas dan hukum positif di Indonesia meskipun
rasa keadilan kita memaksa agar kedua jenis hukuman ini diterapkan kepada
para pelaku. Jadi, sejauh ini, menurut hemat penulis, masyarakat hanya dapat
meminta agar pengawalan terhadap proses hukum kasus ini dilakukan dengan
konsekuen sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar