Korupsi Audit
Dedi Haryadi ;
Deputi Sekjen Transparansi
Internasional Indonesia
|
KOMPAS, 11 Mei 2016
Pada saat hampir
bersamaan, minggu ketiga April 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan senada: memercayai hasil audit
Badan Pemeriksa Keuangan. Apa konteks dan makna simbolik pernyataan itu?
Pernyataan itu memang
harus segera keluar dari kedua institusi itu. Kalau tidak, integritas Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) akan roboh, meluncur pada titik nadir. Efek
dominonya akan ambruk jugalah lansekap dan ”bangunan” pemberantasan korupsi
kita. Kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak percaya dengan hasil
audit BPK, bagaimana mungkin bisa menangani berbagai kasus korupsi? Hasil
audit siapa yang mau dirujuk?
Tanpa disadari BPK itu
sebenarnya tulang punggung pemberantasan korupsi. Hasil audit (opini) BPK itu
menjadi rujukan institusi penegak hukum dalam menilai ada tidaknya
penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, khususnya ada tidaknya kerugian
keuangan negara. Itu elemen penting dalam dakwaan terjadinya korupsi.
Kita harus
mengapresiasi keluarnya pernyataan itu sebagai sebuah kearifan. Namun, jangan
sampai kearifan itu mengaburkan apalagi mengubur dalam-dalam persistennya
bahaya korupsi audit (auditing
corruption). Selama ini kita difokuskan dan disibukkan oleh korupsi
peradilan dan korupsi politik, nyaris abai dengan korupsi audit. Kalau
korupsi yudisial terjadi pada proses penegakan hukum dengan aktor
utamanyapenegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), sementara korupsi politik
terjadi proses politik dengan aktor utamanya para politisi, korupsi audit
terjadi pada proses audit dengan aktor utamanya auditor.
Menginspirasi
Terlepas suka atau
tidak suka terhadap gaya bicara dan kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok), kita harus berterima kasih kepadanya yang membawa
bangsa ini pada pengalaman baru. Pertama, pembelajaran bersama tentang proses
dan hasil audit. Kedua, bagaimana menyelesaikan perselisihan tentang hasil audit.
Ketiga, menyadarkan betapa besarnya bahaya korupsi audit.
Mungkin tidak sengaja
Ahok menjadi auditee, pihak yang
diaudit, yang memelopori perselisihan terbuka dengan BPK. Selama ini tidak
ada kepala daerah atau kepala lembaga/kementerian yang secara terbuka tak
hanya mempertanyakan, tetapi justru menilai hasil audit BPK keliru.
Ahok sangatpercaya
diri. Baginya BPK telah melakukan kekeliruan elementer. Pertama, keliru
menentukan lokasi obyek yang diaudit, yang berakibat pada perbedaan dalam
menentukan nilai jual obyek pajak, yang berujung pada klaim adanya kerugian
keuangan negara. Kedua, keliru menerapkan kerangka peraturan yang dipakai
dalam pengadaan tanah. Ketiga, ditengarai proses audit ini padat konflik kepentingan,
di antaranya auditor pernah menawarkan lahannya untuk dibeli Pemprov DKI.
Beberapa auditor
senior yang diminta komentarnya mengenai perselisihan ini menganggap posisi
Ahok mengandung kebenaran. Mudahan-mudahan sikap kritis Ahok menjadi
inspirasi bagi kepala daerah lain dalam menghadapi dan menyikapi proses dan
hasil audit.
Belum lagi kasus
sengketa hasil audit dengan Ahokusai, BPK juga terkena bencana integritas
yang lain, yaitu tersangkutnya Ketua BPK dalam Dokumen Panama. Belum tentu
bermasalah memang, tetapi ada problem etik serius di sana, yang mendorong
publik mempertanyakan integritas Ketua BPK.Mungkin tidak apple to apple membandingkan sikap Ketua BPK dengan Sigmundur
David Gunnlaugsson yang mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri
Eslandia, yang juga namanya tercantum dalam Dokumen Panama. Di sana pejabat
publik/negara itu beradab tinggi, di sini sebaliknya.
Sebelum kedua kasus
ini muncul, publik sudah dibingungkan oleh kerja BPK dalam memberikan
predikat (opini).Banyak pemerintah daerah/ kementerian yang mendapatkan predikat
wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi belakangan diketahui gubernur/wali
kota/menteri/pemda tersebut koruptif. Contoh, Provinsi Sumatera Utara, Riau, Palembang,
Bangkalan, Kementerian Agama, Kemenpora, dan Kementerian ESDM.
Kalau predikat WTP tak
memberikan jaminan daerah itu bersih dari korupsi, lalu apa makna substansial
yang paling dalam dari predikat WTP? Inilah yang membuat Ahok secara terbuka
tidak berminat meraih predikat WTP. Mungkin keengganan Ahok ini juga
menginsipirasi kepala daerah lain untuk tak antusias meraih predikat WTP. Di
Jawa Barat, WTP itu dipelesetkan jadi wajar teu puguh (wajar tak jelas).
Apakah ini terkait
praktik jual- beli opini hasil audit? Mungkin! Presedennya ada. Sudah
beberapa kali KPK menangkap basah beberapa auditor BPK yang kedapatan
melakukan transaksi jual-beli predikat laporan keuangan. Misalnya, pada 2010,
KPK mencokok EH, auditor BPK Jawa Barat, saat jual-beli kualitas laporan
keuangan dengan Pemkot Bekasi. Aparat Pemkot Bekasi menyuap auditor itu untuk
mendapatkan predikat WTP.
Deretan kasus itu
jelas mencerminkan ada masalah dalam tubuh BPK. Sebagian bisa dijelaskan
dengan ”teori” oknum yang berlaku umum itu. ”Teori” oknum menjelaskan
kesalahan, penyimpangan, malapraktik profesi sebagai gejala individu, kesalahan
ada pada orang itu an sich. Bukan
pada sistem dan kelembagaan. Kalau demikian halnya, tak perlu khawatir sebab
penyimpangan dan malapraktik itu milik semua profesi.
Namun, peer review yang dilakukan BPK
Polandia (2014) terhadap BPK kita memperlihatkan temuan menarik.BPK dinilai
belum patuh pada kode etik yang mengharuskannya independen dari pengaruh
politik lembaga- lembaga yang diauditnya (yang dikuasai berbagai parpol). Lima
dari sembilan anggota BPK saat ini punya afiliasi dan relasi politik dengan
parpol. Komposisi seperti itumembuat BPK padat konflik kepentingan. Kurang
independen dan padat konflik kepentingan inilah yang menyebabkan terjadi
penyimpangan dan distorsi dalam proses dan hasil audit. Peer review ini mekanisme yang dikembangkan The International Organization of Supreme Audit Institutions
(komunitas organisasi audit sedunia) untuk memastikan anggotanya patuh pada
kode etik dan standar audit.
Mengajekkan politik audit
Bagaimana memperbaiki
integritas dan indepedensi BPK ke depan? Ada beberapa inisiatif yang bisa
dikembangkan. Pertama dan yang utama adalah harus diperbaiki dulu politik
auditnya. Selama ini independensi BPK ada di antara dua pendulum: eksekutif
dan legislatif. Dulu berat ke eksekutif; diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden (Soeharto). Sekarang berat ke legislatif: DPR berwenang penuh
merekrut anggota BPK.
Sekarang dan ke depan,
pemerintah dan DPR harus ikhlas membiarkan BPK berdiri dan bekerja secara
independen sepenuhnya. Tempatkanlah kepentingan membangun BPK yang bebas dan
mandiri di atas kepentingan pribadi atau golongan (parpol). Untuk itu
pemerintah dan DPR harus merevisi UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Revisi
difokuskan pada proses perekrutan anggota BPK yang steril dari koneksi
politik.
Kedua, melembagakan
partisipasi publik dalam proses audit. Keterlibatan publik masih dalam proses
audit masih terbatas. Tak ada lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan
diri terlibat dan memantau kerja BPK, padahal sangat strategis dan penting.
Kalaupun ada masih sporadis sifatnya. Keterlibatan itu, misalnya,dalam bentuk
melakukan analisis kritis terhadap hasil audit BPK. Hasil analisis itu
disampaikan kepada kalangan yang lebih luas. Persis seperti yang dilakukan
Indonesian Corruption Watch dalam sengketa Ahok versus BPK. Mungkin ke depan
kita bisa juga mengembangkan mekanisme eksaminasi publik terhadap hasil audit
yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Ketiga, membangun
mekanisme penyelesaian alternative sengketa hasil audit. Apakah perselisihan
Ahok vs BPK akan dibiarkan menggantung? Mana yang benar? Kita tak akan tumbuh
maju kalau kasus itu dibiarkan menggantung. Perselisihan itu harus selesai,
konklusif, supaya kita bisa mendapat pelajaran dan hikmah sehingga kasus yang
sama tidak terulang. Kalau kepala daerah seperti Ahok nanti makin banyak
bermunculan, kebutuhan membangun mekanisme penyelesaian sengketahasil audit
jadi nyata dan mendesak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar