Risiko Program Jaminan Pensiun
Taufik Hidayat ;
Anggota DJSN dan Dosen UAD
Yogyakarta
|
KOMPAS, 12 Mei 2016
Sebagaimana halnya
pada program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN, potensi risiko terjadinya
kekurangan pendanaan (unfunded liability)
yang bisa mengancam kelangsungan program juga terjadi pada Program Jaminan
Pensiun. Penyebabnya, ketidaksesuaian (mismatch)
antara skema iuran dan skema manfaatnya.
Pada awalnya, program
pensiun sudah lama dikenal oleh sebagian besar penduduk Indonesia melalui
para pegawai pemerintah, baik pegawai sipil maupun anggota TNI dan Polri,
serta para pejabat negara. Mereka ini, pada saat memasuki masa pensiun,
memperoleh jaminan uang pensiun setiap bulannya dari negara dan sampai saat
ini pendanaannya masih dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Dalam perkembangannya,
sejak 1992 telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun yang mengatur pelaksanaan program dana pensiun untuk para pegawai
swasta, pekerja mandiri, ataupun badan usaha milik negara. Daya tarik program
pensiun sangat besar sehingga setiap orang mempunyai keinginan yang sangat
kuat agar pada masa tuanya juga dapat memperoleh uang pensiun sebagaimana
kelompok pekerja di atas.
Dengan telah diberlakukannya
Peraturan Pemerintah (PP) No 45/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Pensiun (JP) sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan UU No 40/2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), khususnya yang mengatur mengenai
program-program SJSN yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka sejak 2015
telah diselenggarakan program jaminan pensiun.
Perkembangan
kepesertaan terhadap program JP menunjukkan peningkatan yang sangat luar
biasa. Sampai Maret 2016, jumlah peserta yang telah terdaftar dalam program
JP telah mencapai 7,4 juta orang. Pencapaian kepesertaan ini jauh melampaui
target yang telah ditetapkan. Pada dasarnya sangat besarnya animo untuk
menjadi peserta program JP tidak mengherankan karena terminologi program
pensiun sudah menjadi semacam ”magic
words” atau daya tarik yang luar biasa dan menjadi suatu program
kesejahteraan hari tua yang sangat diidam-idamkan oleh semua orang. Atas
dasar alasan ini pula, sebagian besar penduduk Indonesia sangat mendambakan
untuk menjadi PNS ataupun anggota TNI/Polri.
Potensi permasalahan
yang sangat mendasar dan sangat signifikan pengaruhnya terhadap kelangsungan
program JP adalah adanya potensi risiko terjadinya kekurangan pendanaan (unfunded liability). Potensi risiko
kekurangan pendanaan ini sangat besar untuk terjadi mengingat adanya
ketidaksesuaian antara skema iuran dan skema manfaatnya.
Pada satu sisi,
besaran iuran telah ditetapkan sebesar 3 (tiga) persen sesuai dengan skema
iuran pasti (defined contribution),
tetapi pada sisi lain skema manfaat pensiun yang diterapkan didasarkan pada
konsep manfaat pasti (defined benefit).
Oleh karena itu, agar potensi risiko kekurangan pendanaan tersebut dapat
teridentifikasi sejak dini dan tidak menjadi efek bola salju (snow-ball effect), perlu dilakukan
pencermatan terhadap permasalahan ini.
Evolusi skema program pensiun
Perkembangan dan
pengembangan skema program pensiun telah mengalami evolusi yang sangat
drastis. Dalam tahap awal, sejak 1935-an telah dikembangkan dan diberlakukan
program pensiun yang berbasiskan pada skema manfaat pasti (defined benefit) atau yang sering juga
dikenal dengan istilah DB Scheme. Puncak perkembangan DB Scheme terjadi pada
1975 di mana sebagian besar negara telah menerapkan sistem ini. Titik balik
perubahan terjadi sejak 1980, yaitu mengalami evolusi secara sistematis
menuju ke arah skema iuran pasti (defined
contribution) atau yang sering juga dikenal dengan istilah DC Scheme.
Evolusi ini terutama
dipicu oleh adanya kondisi kekurangan pendanaan (unfunded) dalam jumlah yang sangat signifikan yang harus
ditanggung pemberi kerja (employer).
Kekurangan dana ini terjadi sebagai akibat siklus hasil investasi yang tak
sesuai dengan harapan, di mana telah terjadi penurunan hasil investasi secara
signifikan dan bahkan diperoleh hasil investasi negatif (negative rate of return).
Selain itu, juga
terjadi penurunan yang sangat signifikan pada angka kematian (mortality rate) peserta program
pensiun sebagai akibat dari tingkat harapan hidup (life expectancy) yang semakin meningkat. Dari studi yang
dilakukan oleh tim Bank Dunia yang dipimpin Robert Palacios (2015), telah
berhasil diverifikasi bahwa pada 2012 ada 28 negara yang beralih dari DB
Scheme menjadi DC Scheme.
Dalam UU No 11/1992
telah diatur mengenai program pensiun yang didasarkan pada skema iuran pasti
ataupun manfaat pasti. Sesuai dengan istilahnya, skema iuran pasti berarti
dana pensiun dikelola berdasarkan hasil akumulasi iuran yang telah disetorkan
oleh para peserta, baik karyawan (employees)
maupun perusahaan selaku pemberi kerja (employers)
atau kombinasi dari keduanya, beserta hasil pengembangannya. Dengan demikian,
para peserta program pensiun dengan skema iuran pasti mempunyai risiko untuk
memperoleh manfaat pensiun yang lebih kecil apabila terjadi penurunan hasil
investasi.
Sementara itu, melalui
skema manfaat pasti, peserta telah memperoleh jaminan untuk memperoleh
manfaat pensiun sebagaimana yang telah diperjanjikan. Dalam hal ini, apabila
terjadi risiko penurunan hasil investasi, peningkatan usia kematian, dan
faktor-faktor lainnya, munculnya kekurangan pendanaan akibat hal-hal tersebut
menjadi tanggung jawab pemberi kerja.
Sebagaimana telah
diatur dalam PP No 45/2015, penyelenggaraan program JP dilakukan atas dasar
besaran iuran sebesar 3 (tiga) persen dari penghasilan pegawai sebulan di
mana sebesar 1 (satu) persen menjadi kewajiban pekerja dan sisanya sebesar 2
(dua) persen menjadi beban pemberi kerja, dengan batas penghasilan tertinggi
adalah sebesar Rp 7 juta.
Pada sisi lain, nilai
manfaat yang akan diberikan kepada para peserta sangat mirip dengan yang
diberlakukan kepada para PNS dan anggota TNI/Polri. Selain mendapatkan
manfaat pensiun yang akan diterima pada saat memasuki usia pensiun sampai meninggal,
peserta juga akan memperoleh manfaat pensiun cacat, pensiun janda/duda,
pensiun anak, dan pensiun orang tua.
Risiko defisit pendanaan
Dengan skema iuran dan
manfaat program jaminan pensiun sebagaimana gambaran di atas, maka terdapat
potensi yang sangat besar terjadinya risiko kekurangan pendanaan dalam
penyelenggaraan program JP. Mengingat cakupan kepesertaan yang sangat besar,
maka perlu segera dilakukan mitigasi dan perhitungan terhadap besarnya risiko
unfunded tersebut.
Walaupun dalam PP No
45/2015 telah diatur mengenai evaluasi terhadap besaran iuran yang baru akan
dilakukan paling singkat 3 (tiga) tahun, semakin awal dilakukan mitigasi dan
perhitungan risiko tersebut maka akan semakin mudah untuk dicarikan jalan
keluar penyelesaiannya. Sebaliknya, semakin lambat untuk dilakukan mitigasi
dan perhitungan risiko tersebut, potensi untuk mengalami akumulasi kekurangan
pendanaan akan semakin besar dan pada waktunya akan sangat sulit untuk
dilakukan penyesuaian (adjustment)
terhadap skema program JP.
Potensi permasalahan
mendasar lainnya yang akan mengikuti adalah siapa pihak yang akan menanggung
terjadinya kekurangan pendanaan tersebut. Dengan mengacu kepada pelaksanaan
program JKN, maka banyak pihak yang berpendapat bahwa negara harus hadir
untuk menutupi terjadinya kekurangan pendanaan tersebut. Perbandingan ini
tentunya agak sulit untuk dicarikan justifikasinya karena menyangkut dua
permasalahan yang sangat berbeda.
Kehadiran negara
(baca: pemerintah) untuk membayar iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI)
dan menutupi terjadinya kekurangan pendanaan pada program JKN karena adanya
tanggung jawab negara untuk memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh
warganya. Pada sisi lain, untuk program JP—seperti halnya program Jaminan
Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian
(JKM)—lebih cenderung termasuk dalam kategori manfaat kesejahteraan yang
harus disediakan oleh perusahaan-perusahaan selaku pemberi kerja kepada para
pegawainya (employee benefits).
Kehadiran negara lebih tepat untuk dimaksudkan pada saat terjadi kondisi yang
bersifat force majeure sebagai
akibat adanya kejadian-kejadian yang sifatnya katastropis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar